Jowonews

Empat Weton Pria Penyabar dan Penuh Perhatian yang Cocok Dijadikan Pasangan

Empat Weton Pria Penyabar dan Penuh Perhatian yang Cocok Dijadikan Pasangan

Jowonews.com – Menurut Primbon Jawa terdapat Empat Weton Pria Penyabar dan perhatian terhadap pasangan. Sosok pria penyabar dan bertanggungjawab merupakan idaman bagi para kaum hawa. Pria dengan karakter ini dianggap dapat menjadi pemimpin keluarga yang baik dan jadi sosok yang dapat diandalkan. Sifat sabar pada seorang pria dinilai mampu menghadapi karakter dan sifat pasangan. Hal ini akan menjadikan hubungan jadi lebih berkualitas. Meskipun demkian, setiap orang tentu memiliki definisi yang berbeda dalam memaknai sabar dan perhatian. Tapi satu hal yang pasti, menjadi sosok penyabar akan menjadikan diri kita lebih matang dan dewasa untuk memahami situasi dan kondisi. Berikut ini adalah weton pria penyabar dan tanggung jawab sehingga jadi incaran para kaum wanita. Senin Kliwon Seorang pria yang terlahir pada Senin Kliwon dipercaya memiliki sifat penyabar dan perhatian terhadap pasangan. Aura pria dengan weton ini memiliki aura dan pembawaan sifat baik atau biasa disebut dengan muh limo. Orang tersebut akan diibaratkan memiliki watak seperti Rakam Macan Ketawan dan Aras kembang. Adapun ciri-ciri pria kelahiran Senin Kliwon yakni cerdas, cekatan dan handal dalam pekerjaan, kelihaian dalam komunikasi, periang dan memiliki jiwa penolong. Perihal hubungan asmara, pria yang lahir pada weton ini sangat hoki dalam pekerjaan dan rezeki. Hal ini karena sosoknya yang sangat bertanggungjawab, sehingga banyak dipercaya orang. Selasa Wage Pria dengan weton Selasa Wage juga dianggap sebagai sosok penyabar dan penuh perhatian terhadap pasangan. Hal ini karena orang yang lahir pada Weton Selasa Wage memiliki sifat Lakuning Bumi dan Mantri Sinaroja. Sifat itulah yang kemudian menjadikan orang dengan Weton ini dikenal sebagai seorang yang paling penyabar, paling perhatian, mau mengalah dan senantiasa melindungi pasangannya. Bisa dipastikan seseorang yang menemukan pria dengan karakter tersebut, maka ia adalah pasangan yang sangat beruntung. Jumat Legi Orang yang terlahir pada Weton Jumat Legi dinilai akan memiliki hati yang teduh. Sehingga orang ini akan sangat jarang menyakiti hati dan perasaan orang lain. Weton ini berada di bawah dua naungan segel yang sangat hebat, yakni segel Cakra Ajna Bumi Hari Jumat. Kelebihan lain dari Weton Jumat Legi adalah memiliki banyak teman, hatinya longgar, penyabar, dermawan, senantiasa tabah dan pandai menutupi kesulitan yang sedang dihadapinya. Sabtu Pon Selain tiga weton di atas, Weton yang lahir Sabtu Pon diprediksi sebagai sosok penyabar dan sangat bertanggungjawab. Tak hanya itu, pria yang lahir pada weton ini juga dikenal suka menolong dan sangat dermawan. Ia juga memiliki rasa tanggung jawab yang sangat tinggi. Terutama terhadap keluarganya. Karena orang dengan kelahiran Weton Sabtu Pon akan memiliki sifat dan karakter dermawan dan suka menolong. Kelebihan lain Weton ini adalah pandai bergaul sehingga banyak teman, pandai mengatur waktu, perkerja keris dan teliti terhadap hal-hal yang dilakukannya. Perihal pekerjan, Weton Sabtu Pon dianggap tidak akan memiliki kendala yang berarti. Dalam Primbon Jawa terdapat beberapa pekerjaan yang cocok untuk Weton ini, yakni peneliti, seniman, peternak, arsitek, wirausahawan dan petani.

Festival Jondang Kawak Jepara Berlangsung Meriah, Setelah Sempat Terhenti Karena Pandemi

Festival Jondang Kawak Jepara Berlangsung Meriah, Setelah Sempat Terhenti Karena Pandemi

JEPARA – Festival Jondang atau biasa disebut juga dengan Festival Jondang Kawak merupakan tradisi turun temurun di Desa Kawak, Kecamatan Pakis Aji, Kabupaten Jepara. Setelah sempat terhenti karena pandemi, akhirnya Festival Jondang dapat terselenggara kembali dan berlangsung meriah. Ribuan warga Desa Kawak mengarak total 40 jondang. Jumlah RT di Desa Kawak terdiri dari 20 RT, dan masing-masing RT membawa 2 jondang. Jondang Kawak yang berisi makanan, hasil bumi dan palawija itu kemudian diarak menuju makam sesepuh desa, pada Kamis (23/6/2022). Hal yang menjadi pembeda sedekah bumi Desa Kawak dengan desa lainnya adalah Jondang. Jondang merupakan benda berbentuk persegi panjang dengan ukuran 1×40 cm. Benda tersebut terbuat dari kayu dengan empat kaki di bagian bawah. Pada bagian ujungnya terdapat lubang untuk memasukkan bambu. Fungsi bambu yang dimasukkan tersebut digunakan sebagai pikulan yang dapat dipikul oleh dua orang. Sementara itu pada bagian tengah jondang kemudian diletakkan berbagai macam jening panganan hasil bumi. Jondang yang diarak terdiri dari dua jenis, yakni Jondang Lanang dan Jondang Wadon. Jondang lanang merupakan tempat yang bisa digunakan warga untuk menyimpan hasil bumi, bahan makanan dan gerabah. Jondang ini berbahan dasar kayu dengan bentuk lebih tinggi. Adapun Jondang wadon difungsikan sebagai tempat menaruh makanan jadi dan memiliki tempat lebih pendek. Konon jondang tak hanya digunakan sebagai tempat, melainkan juga digunakan sebagai alat angkut hasil bumi dan bahan lainnya. Bentuknya yang memanjang seperti halnya peti tanpa tutup, membuat jondang mampu menampung banyak barang untuk dipikul. Namun hadirnya moda transportasi modern, perlahan-lahan Jondang ini mulai ditinggalkan masyarakat. Untuk itulah kemudian festival ini diselenggarakan untuk nguri-uri budaya dan membangun kembali semangat gotong royong. “Untuk itu kami berusaha melestarikannya melalui festival ini,” kata Petinggi Desa Kawak, Eko Heri Purwanto, dikutip dari laman Suara Merdeka. Festival Jondang rutin diselenggarakan seiap tahun yang waktu pelaksanaannya berbarengan dengan momentum sedekah bumi di desa tersebut. Namun sempat terhenti selama dua tahun karena pandemi. Festival ini, lanjut Eko, juga sebagai bentuk ungkapan syukur warga Desa Kawak, atas hasil bumi yang merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sementara itu, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jepara, Amin Ayahudi, menjelaskan festival ini sebagai salah satu budaya masyarakat yang perlu terus dikembangkan. Menurutnya, tradisi ini bukan hanya nguri-nguri budaya, tetapi juga sebagai sarana silaturrahmi warga Desa, merekatkan kebersamaan dan kerukunan antara warga, meningkatkan perekonomian terutama usaha mikro, dam juga sebagai media hiburan bagi masyarakat. Foto: suarabaru.id

Seri Babad Tanah Jawi: Asal Muasal Penduduk Pulau Jawa

Seri Babad Tanah Jawi: Asal Muasal Penduduk Pulau Jawa

Berbicara tentang asal muasal penduduk Pulau Jawa ibarat mencari jarum dalam sekam. Betapa tidak, banyak sumber dan data sejarah yang menyatakan berbeda tentang asal mula penduduk Pulau Jawa atau orang Jawa pertama. Mengingat begitu banyak sumber sejarah yang berbeda pendapat itu, maka untuk bisa memastikan data sejarah yang betul-betul valid tentang siapa orang Jawa pertama menjadi polemik tersendiri. Namun setidaknya sumber-sumber dan data-data sejarah yang ada itu memiliki rasionalitas tersendiri sehingga kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berikut beberapa pendapat (teori) tentang asal mula penduduk pulau (tanah) Jawa dari beberapa sumber sejarah. Kisah Batara Wisnu dalam “Babad Tanah Jawi” Salah satu sumber sejarah yang bercerita tentang asal mula penduduk tanah Jawa atau orang Jawa pertama adalah buku sejarah Jawa yang sangat masyhur -meskipun timbul perdebatan mengenai benar-tidaknya karena sarat mitologi- adalah Babad Tanah Jawi dari Nabi Adam sampai tahun 1647. Di dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa orang pertama yang membabad (menempati/tinggal) tanah Jawa adalah Batara Wisnu. Nah, dari sumber sejarah tersebut, dapat diketahui bahwa Batara Wusnulah yang menjadi raja pertama di tanah Jawa. Meskipun di kemudian hari ia diusir dari kerajaannya karena mempersunting simpanan ayahandanya, Batara Guru. Tidak hanya itu, cerita dalam babad tersebut juga menegaskan bahwa orang atau raja pertama di Jawa adalah keturunan ke-7 Nabi Adam. Kisah Batara Wisnu dalam “Tantu Pagelaran” Selain Babad Tanah Jawi, sumber sejarah lain yang mengisahkan tentang Batara Wisnu sebagai orang pertama yang menjadi raja di tanah Jawa adalah Tantu Pagelaran. Tantu Pagelaran atau Tangtu Panggelaran adalah kitab Jawa kuni berbahasa kawi yang berasal dari masa Majapahit sekitar abad ke-15. Kitab ini berkisah tentang mitos asal mula Pulau Jawa. Legenda pemindah Meru ke Jawa dalam kitab ini dikisahkan Batara Guru (Shiwa) memerintahkan Dewa Brahma dan Wishnu untuk mengisi Pulau Jawa dengan manusia. Karena Pulau Jawa pada saat itu masih mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa bergoncang, maka para dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Semeru di India ke Pulau Jawa. Saat Sang Hyang Shiwa datang ke Pulau Jawa, dilihatnya banyak pohon jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa. Wisnu kemudian menjadi raja pertama yang berkuasa di Pulau Jawa dengan nama Kandiawan. Ia mengatur pemerintahan, masyarakat, dan keagamaan. Kisah Perpindahan Penduduk dalam “Serat Asal Keraton Malang” Berbeda dari dua kisah “mitologi” dalam Babad Tanah Jawi dan Tantu Pangelaran, asal mula penduduk tanah Jawa diceritakan dalam sumber surat kuno yang tidak beradar, yaitu Serat Asal Keraton Malang. Adapun para penghuni Pulau Jawa, seperti diceritakan dari sumber serat kuno tersebut, berasal dari daerah Turki, tetapi ada yang menyebut daerah Dekhan (India). Sumber lain menyebutkan bahwa penduduk Jawa berasal dari daratan Cina Selatan yang membanjiri pulau ini sejak tiga ribu tahun SM. Selama dua ribu tahun kemudian, terjadi perpindahan penduduk dari tempat yang sama. Penduduk Jawa menurut sumber ini, berasal dari gelombang-gelombang perpindahan tersebut. Kisah Aji Saka Menurut berbagai tulisan kuno mengenai Jawa, asal-usul Pulau Jawa baru diketahui agak jelas dari cerita mengenai kedatangan Aji Saka. Bahwa pada tahun 78 Sesudah Masehi ada seorang utusan dari kerajaan Astina, namanya Aji Saka. Astina adalah nama lain dari Gujarat. Nama Astina juga masuk dalam cerita pewayangan yang beredar di masyarakat Jawa. Setelah pulang dari Pulau Jawa, pada tahun 125 M, Aji Saka datang kembali bersama gelombang perpindahan orang-orang Buddha. Keterangan dalam “Kitab Djojobojo” Menurut keterangan yang didapat dalam Kitab Djojobojo. sebagian tanah Jawa tadinya adalah sebuah pulau kosong yang angker dan sangar, yang sama sekali belum ada penduduk manusianya. Sementara, menurut sejarah yang berdasarkan atas pendidikan, bahwa antara 2000 tahun yang telah lampau di pulau ini sudah ada penduduk aslinya, hanya pikiran mereka belum terbuka, atau bisa dianggap sebagai orang purba yang belum mengerti tata susila, belum mengerti caranya membuat rumah, dan belum memiliki tempat tinggal yang tatap. Mereka masih menggunakan batu yang dipertajam sebagai senjata untuk memburu maupun berkelahi. Hidupnya sangat sederhana dan selalu pindah kesana-kemari. sehingga agak mirip dengan hidupnya burung atau yang di dalam Kitab Djojobojo dikatakan zaman kukilo. Itulah beberapa rangkuman sumber dan data sejarah yang mengisahkan asal muasal penduduk Pulau Jawa. Dari berbagai sumber tersebut, tentu kita tidak dapat mengklaim yang lebih benar. Sebab, masing-masing sumber tersebut memiliki rasionalitasnya tersendiri. Meskipun demikian, dari beberapa sumber tersebut setidaknya kita dapat mengelompokkan asal muasal penduduk tanah Jawa menjadi dua. Pertama, orang yang pertama kali datang dan tinggal (menjadi raja di Tanah Jawa). Kedua, populasi penduduk yang pindah dan tinggal (membabad) di tanah Jawa secara berkelompok dan datang secara bertahap. Sumber Referensi: Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli | Penulis: Soedjipto Abimanyu

Adol Lenga Kari Busike

Adol Lenga Kari Busike

Adol Lenga Kari Busike artinya membagi-bagikan kepada banyak orang tanpa mempedulikan dirinya sendiri hingga dirinya sendiri pun tidak kebagian. Masyarakat Jawa termasuk kelompok masyarakat yang “tidak hitung-hitungan”. Mereka memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkannya secara total, dalam arti sampai urusan atau keperluannya tercukupi. Pitutur luhur ini mengajarkan agar seseorang yang memberi bantuan kepada orang lain tetap memerhatikan kepentingan dirinya sendiri. Tidak dibenarkan menolong orang lain, hingga dirinya tidak terurus. Ibaratnya jangan menjadi lampu lilin bagi orang lain, menerangi tetapi dirinya sendiri hancur. Yang terbaik adalah menjadi lampu listrik, menerangi (memberi bantuan) tetapi dirinya tetap kukuh dan sentosa. Kita harus mempertimbangkan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Setiap perbuatan dan tindakan harus dilakukan secara seimbang agar tidak merugikan diri sendiri. Arti dalam bahasa Jawa Adol Lenga Kari Busike tegese mbagekake marang wong akeh tanpa ngurusi awake dhewe supaya awake dhewe ora oleh. Masarakat Jawa mujudake golongane manungsa kang “ora ngetang”. Dheweke menehi pitulungan marang wong liya sing mbutuhake babar blas, ing pangertene bisnis utawa kabutuhan wis kawujud. Pittur mulya iki mulangake yen wong sing menehi pitulungan marang wong liya isih nggatekake kepentingane dhewe. Ora kena tetulung marang liyan, nganti ora diurus. Ibarat ojo dadi lilin kanggo wong liya, madhangi nanging ngrusak awakmu. Luwih becik dadi lampu listrik, madhangi (menehi pitulungan) nanging tetep mantep lan tenang. Kita kudu nimbang kabeh kanthi becik. Saben tumindak lan tumindak kudu ditindakake kanthi seimbang supaya ora cilaka awake dhewe.

Adoh Tanpa Wangenan Cedhak Datan Senggolan

Adoh Tanpa Wangenan Cedhak Datan Senggolan

Secara harfiah pitutur luhur Adoh Tanpa Wangenan Cedhak Datan Senggolan dapat diartikan jauh tanpa ukuran dan dekat tidak bersentuhan. Kalau dibahasakan dengan bahasa Indonesia sekarang “jauh di mata dekat di hati”. Ini menggambarkan keberadaan kekasih hati atau orang yang dicintainya. Mereka yang sedang jatuh cinta biasanya akan merasa terus rindu dengan kekasihnnya. Jika kekasih tersebut tidak ada di sisinya, akan terasa betapa jauhnya, meskipun sebenarnya juga sangat dekat karena kekasih tersebut selalu dalam ingatan dan hatinya. Meskipun, kedekatan di hati tetap tidak bisa membuatnya bersentuhan karena tidak ada di dekatnya. Dalam konteks yang lebih filosofis, pitutur luhur ini sebenarnya menggambarkan hubungan manusia dengan Tuhan. Sedekat apa pun, setaat apa pun manusia dengan Tuhannya, tetap tidak bisa memegang atau menyentuhnya. Di sisi lain, dalam kodrati kemanusiaannya, Tuhan seperti berada di tempat yang jauh (langit lapis ketujuh), meski sebenarnya sangat dekat. Tuhan ada di hati orang yang beriman. Arti dalam bahasa Jawa Secara harfiah pitutur luhur Adoh Tanpa Wangenan Cedhak Datan Senggolan bisa ditegesi adoh tanpa ukuran lan cedhak tanpa kena. Yen saiki dirembug nganggo basa Indonesia, “adoh ing mripat, cedhak ing ati”. Iki nggambarake anané kekasih utawa wong sing ditresnani. Wong sing lagi pacaran biasane bakal ngrasa kangen karo sing ditresnani. Yen kekasih ora ana ing sisihe, mesthine bakal ngrasakake sepira adohe, senajan sejatine cedhak banget amarga kekasih iku tansah ana ing memori lan atine. Senadyan raket ing ati tetep ora bisa digayuh amarga ora cedhak. Ing konteks kang luwih filosofis, pitutur luhur iki sejatine nggambarake sesambungane manungsa karo Gusti. Senadyan cedhak, senajan manungsa manut marang Gusti, tetep ora bisa nyekel utawa ndemek. Kosok baline, ing alam manungsa, Gusti Allah katon ing panggonan sing adoh (lapisan langit kapitu), sanajan nyatane cedhak banget. Gusti Allah ana ing atiné wong mukmin.

Adigang Adigung Adiguna

Adigang Adigung Adiguna

Aja adigang adigung adiguna artinya orang Jawa dilarang sombong dan membanggakan apa pun yang menjadi miliknya, entah itu kekuasaan, kebesaran, hingga kepandaian. Adigang artinya membanggakan kekuatan dan kekuasaan. Adigung artinya membanggakan kebesaran, termasuk kekayaan dan harta benda. Adiguna artinya menunjukkan seseorang yang membanggakan kepandaian, kecerdasan, hingga keahlian tertentu. Ini adalah pitutur luhur yang membahas tentang kebanggaan berlebihan hingga menjadi sifat sombong. Perilaku yang seperti ini akan merugikan diri sendiri dan membawa kehancuran. Orang yang berperilaku adigang, adigung, adiguna, umumnya akan menyalahgunakan kekuasaan, membeli hal-hal yang bisa dibeli, dan memanipulasi segala hal untuk kepentingan pribadinya. Mereka akan menggunakan segala kesempatan untuk memuaskan hawa nafsunya. Mereka tidak lagi menghargai orang lain dan melupakan hati nurani. Arti dalam bahasa Jawa Adigang tegese gumunggung kekuwatan lan kekuwatan. Adigung tegese ngegungake kaluhuran, kalebu bandha lan bandha. Adiguna tegese nuduhake wong kang gumunggung kapinteran, kapinteran, nganti katrampilan tartamtu. Iki pitutur luhur kang ngandharake ngenani rasa kumalungkung nganti umuk. Aja adigang adigung adiguna tegese wong Jawa iku dilarang gumedhe lan gumunggung marang apa wae kang dadi kagungane, yaiku kasekten, kaluhuran, nganti kapinteran. Tindak-tanduk kang kaya mangkono iku bakal ngrusak awake dhewe lan nuwuhake karusakan. Wong kang tumindak adigang, digung, adiguna, umume bakal nyalahake kekuwatan, tuku barang sing bisa dituku, lan ngapusi kabeh kanggo kepentingan pribadi. Padha bakal nggunakake saben kesempatan kanggo gawe marem hawa nepsu. Dheweke ora ngajeni maneh lan lali karo nurani.