Baru-baru ini situs Taste Atlas merilis kue-kue populer dan 50 kue dengan nilai terbaik di seluruh dunia. Kue Putu, kue tradisional asal Indonesia menjadi salah satunya. Tepatnya kue putu menempati peringkat ke-45 dengan skor 4.21. TasteAtlas merupakan situs wisata dan kuliner yang mengulas seputar makanan tradisional, resep lokal, dan restoran autentik di seluruh dunia. Kue putu merupakan kue tradisional asal Indonesia yang terbuat dari bahan-bahan sederhana seperti parutan kelapa, tepung beras dan gula (merah/jawa) sebagai isiannya. Kue tradisional ini pada umumnya dihidangkan dalam warna putih dan hijau. Namun, yang lebih banyak dijumpai adalah warna hijau yang berasal dari daun suji. Ditambah taburan parutan kelapa warna putih, membuat kue ini lebih menggugah selera. Kue ini biasanya dijual saat sore menjelang malam hari. Biasa dijajakan dengan dipanggul atau menggunakan gerobak. Salah satu ciri khas yang menjadi penanda dari penjual kue ini adalah cerobong asap kecil yang berbunyi nyaring. Cerobong ini juga sebagian digunakan untuk mengukus bahan kue yang dimasukkan dalam tabung bambu. Sejarah Kue Putu Nama Kue Putu diambil dari serapan bahasa Jawa “putu” yang berakar dari istilah kuno bahasa Jawa “puthon” yang berarti “lingkaran” atau “bundar”. Hal ini merujuk pada peralatan yang digunakan sebagai pengukus kue putu yang berasal dari rongga batang bambu yang berbentuk tabung. Pada masa Dinasti Ming, kue putu disebu dengan XianRoe Long yang berarti kue dari tepung beras dengan isi kacang hijau di dalamnya. Namun setelah masuk di Indonesia, isian kue diganti menjadi gula jawa/ gula merah. Sementara itu penyebutan puthu tertuang dalam Serat Centhini yang ditulis pada tahun 1814 pada masa Kerajaan Mataram. Dalam naskah itu diceritakan bahwa Ki Bayi Panurta meminta santrinya untuk menyediakan hidangan pagi. Diantara hidangan tersebut terdapat puthu sebagai camilan atau makanan pembuka. Kejadian ini terjadi pada tahun 1630 di Desa Wanamarta, Jawa Timur. Penyebutan puthu juga terjadi pada peristiwa lain di desa yang sama. Dalam naskah kuno tersebut diceritakan Nyai Daya dan Nyai Sumbaling sedang menyiapkan kudapan usai salat Subuh. Hidangan yang disiapkan itu terdapat gemblong, serabi, ulen-ulen, puthu, jenang, jadah, dendeng baluk, dendeng gepuk, kupat, pisang bakar, jenang grendul, balendrang, dan wedang bubuk.