Jowonews

Data BPS, Penduduk Miskin Jateng Berkurang 102,57 Ribu Jiwa

Data BPS, Penduduk Miskin Jateng Berkurang 102,57 Ribu Jiwa

SEMARANG – Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (BPS Jateng) mengungkapkan adanya penurunan jumlah penduduk miskin di Jateng. Untuk keluarga sangat miskin terjadi penurunan dari sebelumnya 4,12 persen pada September 2021, menjadi 3,47 persen pada Maret 2022. Kepala BPS Jateng Adhi Wiriana mengemukakan, total penduduk miskin di Jateng saat ini sebesar 10,93 persen dari 35 juta jiwa. “Banyak masyarakat miskin terbantu dan dapat lebih terangkat kesejahteraannya, sehingga tidak lagi masuk kategori keluarga miskin di Maret 2022,” terang Adhi Wiriana. Lebih lanjut, Adhi mengungkapkan, jumlah penduduk miskin di Jateng berkurang dari sebelumnya 3,93 juta jiwa menjadi 3,83 juta jiwa. Artinya berkurang sebanyak 102,57 ribu jiwa. Penurunan angka kemiskinan Jateng ini sangat positif, ditengah berbagai langkah pengentasan kemiskinan yang terus dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan provinsi. Penurunan penduduk miskin tidak lepas juga dari pertumbuhan ekonomi Jateng yang semakin membaik. Pada triwulan I-2022 yang mencapai 5,16 persen. Dan konsumsi rumah tangga pada PDRB juga tumbuh 4,30 persen pada triwulan I-2022. “Program penurunan angka kemiskinan yang dilakukan serentak mulai dari Pemprov hingga Pemkot/Pemkab itu menunjukkan dampak positif,” kata Adhi. Sebab, terjadi penurunan kemiskinan di Jateng lebih baik dibanding periode sebelumnya. Ia meyakini, jika tak ada pandemi pada tahun 2022 ini, angka kemiskinan Jateng akan berada di bawah dua digit. Jadi ada kemungkinan angka kemiskinan berada di kisaran 9 persen.

Awal Mula Angkringan atau Warung ‘HIK’, Hidangan Khas Klaten

Awal Mula Angkringan atau Warung ‘HIK’, Hidangan Khas Klaten

Angkringan populer juga disebut sebagai HIK (hidangan khas desa). Namun, sebagian orang juga menyebutnya dengan Hidangan Khas Klaten. Mengapa Klaten seringkali disebut-sebut atau dikaitkan dengan kuliner angkringan ini? Popularitas Angkringan tidak hanya di Yogyakarta, Klaten atau Solo dan daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga menyebar ke kota-kota besar lainnya. Salah satu yang khas dari angkringan ini adalah nasi kucing atau nasi bungkus dengan porsi yang sangat kecil. Selain itu, biasanya pada gerobak angkringan juga terdapat panci atau tangki yang terus-menerus mendidih. Biasanya, angkringan menggunakan arang untuk merebus air. Selain untuk merebus air, fungsi lainnya adalah untuk bakaran, baik sate, atau bacem yang dibakar. Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, Angkringan bukan berasal dari Yogyakarta melainkan dari Klaten. Awal mulanya dimulai pada tahun 1930-an. Dikisahkan seorang warga Desa Ngerangan, Kabupaten Klaten bernama Karso Dikromo, yang kemudian akrab disapa Eyang Karso. Eyang Karso, yang juga akrab dipanggil Jukut, memutuskan pergi ke wilayah Solo untuk mencari nafkah. Eyang Karso menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal. Sebelumnya Eyang Karso sempat menggeluti berbagai macam profesi. Singkat cerita, Mbah Karso bertemu dengan Mbah Wiryo, hingga keduanya akhirnya mendirikan usaha makanan yang menjadi cikal bakal Angkringan saat ini. Pada awalnya, mereka berjualan terikan, yakni makanan khas Jawa Tengah yang terbuat dari bahan dasar aneka protein dan dimasak dengan kuah kental. Mereka biasa menjual makanan ini pada malam hari, karena pada waktu itu tak banyak yang menjajakan makanan pada malam hari. Seiring berjalannya waktu, Eyang Karso dan Mbah Wiryo perlahan terus menambahkan berbagai jenis olahan dan variasi menu makanan dan minuman yang disajikan. Hingga akhirnya tercetus ide untuk menjual minuman seperti wedang jahe, teh manis panas, kopi panas dan berbagai minuman sehat tradisional lainnya yang bisa dikonsumsi untuk menghangatkan tubuh di malam hari. Selain itu, mereka juga menambahkan menu camilan atau jajanan seperti pisang raja bakar, kentang goreng ubi jalar, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, maka tak heran jika angkringan juga disebut dengan HIK. Namun ada juga yang menyebut Hidangan Istimewa Klaten, karena menyebut asal daerahnya. Perlahan Usaha Eyang Karso dan Mbah Wiryo mulai membuahkan hasil. Banyak orang kemudian mengikuti langkah mereka menjadi penjual angkringan. Seiring berjalannya waktu angkringan tersebut tak lagi dipikul, melainkan menggunakan gerobak dorong. Perubahan ini terjadi pada kurun tahun 1970-an. Konon ada salah seorang pedagang ketumpahan air panas dari gerobak pikulnya. Ia terjatuh karena tersandung di jalanan. Mulai saat itu, gerobak dorong mulai digunakan sebagai alternatif untuk keselamatan pedagang. Hal ini agar kejadian serupa tak terulang lagi. Namun setelah dijalani, ternyata menggunakan gerobak dorong memiliki lebih banyak keuntungan. Diantaranya dagangan yang dimuat jadi lebih banyak, dan orang-orang yang bersantap jadi lebih leluasa Angkringan kini telah menjadi tempat makan yang fenomenal. Adapun alasan mengapa angkringan lebih identik dan populer di Yogyakarta, hal itu karena banyak pedagang yang kemudian memilih menjajakan angkringannya di sana, karena Yogyakarta telah menjadi magnet bagi wisatawan maupun pelajar. Jualan di Yogyakarta dinilai lebih menguntungkan dibanding jualan di lokasi lainnya. Terlebih konsep angkringan yang menyediakan menu makanan cukup lengkap dengan harga bersahabat, menjadikan tempat ini menjadi pilihan masyarakat Yogyakarta. Selain makan, mereka biasanya bercengkerama sembari menghabiskan waktu di malam hari. Kini Angkringan tak hanya bergaya tradisional tetapi telah menjelma menjadi sebuah kafe. Tak heran jika konsep angkringan ala modern bisa ditemukan di kota-kota besar. .

Sekilas Masa Lalu Lokananta, Label Musik dan Produsen Piringan Hitam Pertama Indonesia

Sekilas Masa Lalu Lokananta, Label Musik dan Produsen Piringan Hitam Pertama Indonesia

SURAKARTA – Kejayaan Studio Lokananta sebagai label rekaman milik negara pertama seakan telah jadi kisah usang masa lalu. Sudah bertahun-tahun studio rekaman di kota Surakarta itu seolah mati suri. Lokananta pernah menjadi perusahaan rekaman terbesar pada masanya. Sejak didirikan pada 29 Oktober 1956, label rekaman milik negara itu telah melahirkan artis-artis ternama seperti Gesang hingga Ratu Keroncong Waldjinah. Lokananta pada awalnya didirikan oleh Kepala Biro Radio Indonesia (RRI) R. Maladi dengan tujuan untuk merekam materi siaran RRI dalam bentuk Piringan Hitam. Selain musik dan lagu, Lokananta juga merekam suara seni pertunjukan seperti cerita rakyat, dongeng, ketoprak, dan wayang. Beberapa contoh diantaranya cerita Jaka Tingkir Tundung, Ande-ande Lumut, dagelan Basiyo, hingga pentas dalang Ki Nartosabdo. Hingga saat ini Lokananta menyimpan sekitar 53.000 keping piringan hitam. Awalnya koleksi tersebut adalah produk piringan hitam yang belum sempat laku. Namun saat ini piringan-piringan hitam tersebut menjadi koleksi Lokananta yang memang tidak akan dijual. Berbagai Upaya telah dilakukan untuk menjaga isi audio piringan hitam koleksi Lokananta, salah satunya yakni melalui perekaman ulang dalam bentuk digital. Sejarawan Solo Heri Priyatmoko mencatat bahwa rencana untuk menghidupkan kembali Lokananta telah muncul berkali-kali selama dua belas tahun terakhir. Sayangnya, rencana ini tidak pernah membuahkan hasil. “Telah berganti-ganti menteri, tetapi rencana itu gagal. Harus betul-betul butuh keseriusan dari pemerintah karena ini adalah aset yang luar biasa,” kata Heri, dikutip dari detikJateng, Minggu (17/7/2022). Ia menyatakan bahwa pemerintah perlu membalas budi pada Lokananta, yang telah berhasil melestarikan budaya Indonesia di masa lalu. Karena pada saat itu Indonesia juga diserang oleh musik dari luar negeri. “Tugas Lokananta saat itu sangat berat karena harus berjuang melawan dominasi musik imperialis atas kehidupan musik nasional dan daerah,” ungkapnya. Kali ini, rencana revitalisasi kembali muncul di era Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Aset milik Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) ini, kini akan direvitalisasi oleh PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) yang juga merupakan bagian dari BUMN. Dalam paparannya beberapa waktu lalu, Direktur PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) Yadi Jaya Ruchandi mengatakan, brand Lokananta akan dikembalikan sebagai pusat musik dan label nasional. Lokananta tak hanya akan menjadi museum, tetapi juga studio rekaman modern, tempat pertunjukan musik (dalam dan luar ruangan) dan penjualan merchandise musik. “Kami akan menciptakan ekosistem musik yang mencakup komunitas dan mengembalikan merek Lokananta sebagai hub musik yang mencakup perekaman dan produksi piringan hitam. Ritel merek lokal akan dikembangkan di sini,” kata Yadi di Lokananta, Kamis. 2022). Dikatakannya, proyek revitalisasi Lokananta Studio akan dibagi menjadi dua tahap. Penyelesaian konstruksi tahap pertama direncanakan akhir tahun ini. “Mudah-mudahan ada soft launching dapat dilakukan bulan Desember 2022 nanti dan grand launching di Februari tahun depan,” ujarnya.