Jowonews

Festival Lima Gunung, Mengunduh Wahyu Rumagang di Kali Wangsit

Festival Lima Gunung, Mengunduh Wahyu Rumagang di Kali Wangsit

Langit di atas Kali Wangsit masih gelap, apalagi sekitar tempat dengan rerimbun pepohonan itu. Suara gemericik aliran air sungai menjadi terasa kuat menabuh gendang telinga. Penari muda Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Nabila Rifani, menuruni jalan tanah setapak pendek dengan sejumlah anak tangga. Dengan langkah perlahan dan suasana sunyi, kakinya menyibak air hingga kemudian beroleh pijakan di bebatuan sungai yang pada masa lampai diberi nama Tuk Mudal, sekitar 300 meter timur Candi Mendut. Setelah erupsi Gunung Merapi 2010 disusul banjir lahar hujan 2011 yang mengubah alur sungai-sungai berhulu di gunung itu, pemimpin tertinggi yang juga budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut mulai berbicara tentang perubahan sebutan Tuk Mudal menjadi Kali Pabelan Mati. Pada masa lalu, sungai kecil itu diperkirakan kuat sebagai alur lama Sungai Pabelan. Di dekat ruas sungai itu terdapat titik pusat aktivitas seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, Menoreh) berupa Studio Mendut dikelola pemiliknya, Sutanto Mendut. Melalui suatu acara seni budaya –setelah relatif mereda banjir lahar hujan 2011– sekitar 30 pegiat komunitas dengan dipimpin pematung dari Merapi, Ismanto (54), ditempatkan secara apik dan memorial di tepi sungai tersebut 66 balok batu untuk ditatah bersama dalam rangkaian penamaan tempat itu menjadi Museum Kali Wangsit. Lalu, 11 tahun kemudian, Senin (8/8) 2022 pagi yang masih bersuasana gelap sekitar pukul 05.00 WIB, di tempat sama, komunitas itu membuka agenda mandirinya, Festival Lima Gunung XXI/2022, melalui performa seni “Ritus Kali”. Dengan dipimpin Ismanto didampingi sejumlah tokoh komunitas, Nabila yang mengenakan pakaian Jawa kebaya tipe modern dan selendang warna putih, melakukan simbolisasi pengungkapan tema besar festival tahun ini, “Wahyu Rumagang”. Penari muda yang awal tahun ini lulus kuliah jurusan tari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan bergabung dengan Komunitas Lima Gunung sejak 2014 itu, menjalani dengan hening dan berkarisma performa ritual tersebut. Di bawah ancak wadah setumpuk kembang mawar dengan topangan sebilah bambu berbalut kain putih dan berhias janur kuning, ia menyibakkan air sungai dengan gerak tariannya lalu menaburkan kembang mawar merah putih di sungai yang mencatatkan tersendiri jalan sejarah ruang, waktu, dan alamnya. Kekidungan ditaburkan sejumlah tokoh komunitas diiringi bunyian dengung “singing bowl” (mangkuk bernyanyi) dari kuningan serta penyulutan puluhan batang hio, seakan memimpin lantunan doa dan uluk salam pengantar cahaya Matahari pagi menyibak gelap di Museum Kali Wangit. Setelah seorang tokoh utama-berpengaruh Komunitas Lima Gunung, Sitras Anjilin (63), membabarkan dengan khidmat, “Wahyu Rumagang”, beberapa waktu setelah rampung “Ritus Kali” pemimpin tertinggi komunitas, Sutanto Mendut (68), memotong tumpeng dilengapi aneka sayuran dan lauk-pauk. Potongan tumpeng diberikan kepada Nabila Rifani (24). Ia merepresentasikan kalangan muda seniman petani Komunitas Lima Gunung di bawah usia 30-an tahun, yang tahun ini menjadi pandega festival. Gelap pagi berubah terang dengan langit di atas Museum Kali Wangsit biru cerah. Bunyi-bunyian gemericik air sungai makin elok oleh timpukan kicauan burung-burung di pepohonan sekitarnya. Alam terasa hadir membuka festival kebanggaan komunitas seniman petani itu. Festival Lima Gunung XXI dimulai pada 8 Agustus 2022 di Studio Mendut dengan berbagai pementasan kesenian, pidato kebudayaan, performa seni, dan pameran foto, kartun, serta lukisan. Rencananya, festival memasuki puncak selama tiga hari, 30 September hingga 2 Oktober 2022, di kawasan Gunung Andong di Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang dengan berbagai pertunjukan seni dan acara budaya. Pihak panitia yang kalangan seniman muda komunitas telah mencatat berbagai kesenian dari grup-grup komunitas dan jejaringnya dari berbagai kota yang akan menggelar karya seni, kirab budaya, pidato, dan pementasan pada puncak festival mendatang. Menangkap Gaung Festival mereka secara mandiri atau tanpa sponsor itu, seakan juga hendak menangkap gaung pemerintah selama ini tentang keseriusan menghadapi bonus demografi pada 2045 dengan menyiapkan generasi muda bangsa agar unggul saat era “Indonesia Emas” atau seabad Republik Indonesia. Melalui berbagai program pembangunan, pemerintah antara lain serius mengatasi stunting, membangun kesehatan dan pendidikan berkualitas, serta mewujudkan infrastruktur teknologi digital yang memadai. Gaung pemerintah itu terasa dihadirkan secara kultural-simbolik dalam tema besar “Wahyu Rumagang” untuk festival komunitas tersebut. Sebagaimana disampaikan Sitras bahwa secara wantah, “wahyu” sebagai ilham dari Sang Pencipta jagat raya, sedangkan “rumagang” sebagai bangkit dan bersemangat berkarya secara kreatif dan bertanggung jawab. Digunakan oleh dia diksi “gumregah” untuk menunjuk pemaknaan atas ketulusan, bangkit, dan bersemangat, sebagai pusaka rohaniah penting dalam berkarya, termasuk mengelola aktivitas seni-budaya secara tulus. Tentu saja, termasuk dengan tetap mewaspadai potensi penularan pandemi COVID-19. Apalagi, sekarang muncul mutasi virus menjadi bermacam-macam varian meskipun upaya pengendalian dilakukan pemerintah semakin mantap. “Wahyu Rumagang” memang diarahkan kepada kalangan muda komunitas yang saat inilah secara kodrati sebagai waktu mereka lebih berperan aktif mengelola Festival Lima Gunung. Peranan mereka pascapandemi dianggap pas oleh para tokoh komunitas berbasis desa dan gunung tersebut, termasuk karena mereka familier dengan perkembangan dinamis teknologi digital. Dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat karena pandemi, Komunitas Lima Gunung tetap beraktivitas seni-budaya. Mereka memanfaatkan kegiatan itu dengan model daring, luring, pembatasan sosial, dan bersiasat terhadap ruang serta waktu. Ihwal demikian yang membuat pandemi dua tahun tearkhir ini, tak menghentikan komunitas tersebut dalam menggelar tradisi festival tahunannya. Ungkapan terhadap komunitas yang inspiratif disampaikan Nabila ketika menerima potongan tumpeng pembukaan festival. Rangkaian acara seharian itu juga ditayangkan secara daring melalui kanal Youtube “Terminal Mendut”, dikelola kalangan muda Komunitas Lima Gunung. Pernyataan dia itu bukan sekadar tertuju kepada personalia ketokohan komunitas. Akan tetapi juga menyangkut catatan ingatan atas perjalanan panjang komunitas mengelola tantangan kerumitan persoalan, menghadirkan kearifan lokal-kontemporer, dan manajemen proporsi bungah melalui aktivitas kebudayaan sehingga menjadi kekayaan batin bersama. Diakui bahwa kalangan muda tidak lepas dari cantelan nilai-nilai keteladanan para tokoh komunitas. Oleh karenanya, mereka merasa penting beroleh bekal, berupa “Wahyu Rumagang”. Dalam pernyataan Sutanto, wahyu turun kepada sosok-sosok komunitas yang “tandang gawe” atau bekerja keras, tekun, dan bergereget. Bukan sekadar “nyambut gawe” (bekerja). Dengan menangkap ruang makrokosmos, ia mengemukakan keluhuran dicapai nenek moyang karena “tandang gawe” menghadirkan legasi, sedangkan generasi muda saat ini penting menyerap nilai-nilai adiluhung tersebut menjadi bekal “maneges” (perjalanan spiritual-rohaniah). “Maneges” itu, baik secara pribadi, komunitas, desa, bangsa, maupun negara, melahirkan peradaban baru Nusantara yang “rahmatan lil alamin” atau rahmat untuk seluruh alam. Budayawan Yogyakarta yang juga pengajar Ilmu Religi dan Budaya Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Gregorius Budi Subanar mengelaborasi … Baca Selengkapnya

Tawur Sego Desa Palemsari Rembang, Ritual Tolak Bala dan Rasa Syukur

Tawur Sego Desa Palemsari Rembang, Ritual Tolak Bala dan Rasa Syukur

REMBANG – Ratusan warga Desa Palemsari, Kecamatan Sumber, Kabupaten Rembang, berbondong-bondong membawa sebakul nasi ke sebuah tempat yang dipercaya sebagai lokasi Pepunden, pada Rabu (10/8/2022). Pada nantinya nasi tersebut akan digunakan untuk ritual Tawur Sego atau Tawur Nasi. Nasi yang dibawa para warga itu kemudian dikumpulkan menjadi satu di lokasi pepunden dan membentuk gunungan atau gundukan nasi. Nasi yang telah bercampur itu ditempatkan pada sebuah tikar plastik berwarna biru. Prosesi Tawur Sego diawali dengan doa bersama yang dipimpin sesepuh desa di bawah sebuah pohon di area pepunden. Selanjutnya ada pementasan tari orek-orek oleh sejumlah warga setempat. Setelah itu barulah tradisi Tawur Sego dimulai. Tradisi tawuran dengan saling melempar nasi ini hanya diikuti belasan orang saja. Sementara warga lain yang turut hadir ke lokasi tersebut hanya menjadi penonton. Acara berlangsung cukup seru dan meriah. Warga mulai dari orang dewasa hingga anak-anak tampak antusias mengikuti dan menyaksikan rangkaian acara tersebut. Mengutip dari Detik Jateng, Edi Rajarimba, salah satu warga yang turut terlibat dalam prosesi Tawur Segi ini mengaku dirinya selalu berpartisipasi dalam setiap tahunnya. Bahkan warda Desa Palemsari ini mengungkapkan selama dua tahun pandemi lalu, tradisi ini tetap digelar. Lebih lanjut Ia menjelaskan, tradisi ini telah berlangsung turun-temurun. Dalam kepercayaan masyarakat tradisi ini dilaksanakan sebagai wujud syukur dan bersih desa dari segala bala. “Masyarakat biar dapat hidup makmur, panen melimpah. Ini telah menjadi kepercayaan masyakarat. Adatnya sudah seperti itu. Kami hanya meneruskan saja,” terangnya. Sementara itu Kepala Desa Pelemsari, Pin, mengatakan di desanya terdapat dua pedukuhan, yakni Dukuh Glagah dan Dukuh Plempoh. Total ada sekitar 400 Kepala Keluarga (KK). Pin juga mengatakan tradisi ‘Tawur Sego’ sudah dilakukan secara turun-temurun. “Sudah menjadi adatnya warga desa dan turun-temurun sejak dulu. Intinya untuk mengungkapkan rasa syukur atas limpahan nikmat yang diberikan Tuhan,” terangnya. Foto: Doc. Detik Jateng

Tradisi Tawur Sego, Saling Lempar Nasi Sebagai Wujud Syukur Panen Berlimpah

Tradisi Tawur Sego, Saling Lempar Nasi Sebagai Wujud Syukur Panen Berlimpah

Tradisi Tawur Sego atau perang nasi merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan sebagian masyarakat desa, terutama di Wilayah Pantura Timur, Jawa Tengah. Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hasil panen yang melimpah. Biasanya tradisi Tawur Sego yang dilaksanakan setelah masa panen atau biasanya bertepatan dengan hari besar penanggalan Jawa. Tradisi ini biasanya dilangsungkan di tanah lapang di desa masing-masing yang berdekatan dengan Punden keramat tokoh pendiri desa. Punden merupakan sebuah gundukan yang dikeramatkan atau makam keramat dari tokoh pendiri desa setempat yang di begitu dihormati warga setempat. Saat ritual Tawur Sego biasanya masyarakat akan membawa nasi lengkap dengan lauk pauknya. Makanan ini biasanya dibungkus menggunakan daun pisang atau daun jati. Adapun lauk pauknya penyertanya biasanya ikan, tahu dan tempe. Namun, sebelum prosesi Tawur Sego atau perang nasi dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan ritual sedekah bumi. Dalam ritual tersebut seluruh warga diwajibkan untuk mengumpulkan seluruh makanan yang dibawa dan dibentuk menjadi gunungan, sebanyak 7 gunungan. Nasi yang telah membentuk 7 gunungan itu kemudian dikelilingi warga dan selanjutnya secara bersama-sama memanjatkan doa permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Doa tersebut berisi permohonan agar senantiasa diberikan kelancaran dan keberkahan agar para petani diwaktu yang akan juga akan mendapatkan panen yang berlimpah. Seusai pembacaan doa, barulan ritual Tawur Sego atau perang nasi ini dimulai. Peserta perang nasi yang diikuti berbagai kalangan mulai dari anak-anak hingga orang tua. Para peserta saling melemparkan nasi yang telah dibungkus sebelumnya ke sembarang arah. Maka tak heran, siapapun yang mengikuti ritual tersebut akan menjadi korban lemparan. Semua dilakukan dengan perasaan gembira dan suka cita. Tradisi Tawur Sego merupakan tradisi rutin yang dilakukan sebagian masyarakat Jawa Tengah. Bahkan tradisi ini telah ada sejak masa nenek moyang zaman dahulu. Konon tradisi ini pernah tidak dijalankan warga setempat. Namun kemudian warga mengalami gagal panen. Hingga akhirnya warga melanjutkan ritual itu kembali. Tawur Nasi ini pelaksanaannya akan dihentikan ketika nasi yang dikumpulkan sebelumnya telah habis dilemparkan. Nasi-nasi yang telah dilemparkan kemudian tidak tertangkap atau yang jatuh ke tanah, akan diambil para warga untuk dijadikan pakan ternak. Dalam rangkaian acaranya, tradisi ini tidak hanya perang nasi saja, biasanya juga dibarengi dengan acara lainnya seperti pertunjukan ketoprak atau pertunjukan lainnya yang membuat acara semakin semarak.

Petani Desa Gondel Blora Gunakan Sistem Rubuha Untuk Kendalikan Tikus Sawah

Rubuha

SEMARANG – Tikus merupakan salah satu jenis hama paling mengganggu petani padi. Pada kasus tertentu, kemungkinan paling buruk yang terjadi adalah petani mengalami gagal panen. Sehingga perlu dilakukan langkah pengendalian, salah satunya dengan penggunaan Rumah Burung Hantu (Rubuha). Sosialisasi penggunaan Rubuha kini tengah digencarkan di berbagai daerah untuk mengendalikan hama tikus sawah. Salah satunya di wilayah Desa Gondel, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora. Pembuatan Rubuha berfungsi untuk mempermudah burung hantu berburu tikus di sawah. Teknologi pemanfaatan burung hantu cukup mudah diterapkan para petani. Karena tak memerlukan biaya yang cukup besar. Pemanfaatan burung hantu juga dapat meningkatkan efisiensi waktu petani. Kapolsek Kedungtubah, AKP Sujiharno yang mendampingi jajarannya melakukan sosialisasi kepada para petani mengatakan pengendalian tikus sistem Rubuha dinilai lebih ramah lingkungan. Hal ini meminimalisir resiko kematian seperti halnya penggunaan jebakan tikus listrik. “Kita menghimbau kepada para petani agar tidak menggunakan jebakan tikus listrik untuk antisipasi kejadi orang meninggal karena tersengat aliran listrik,” katanya, dikutip dari Tribun Jateng, Rabu (10/8/2022). Sementara itu, Kepala Desa Gondel, Suko Hadi mengapresiasi dan memberikan ucapan terima kasih atas langkah Polsek Kedungtuban yang telah memberikan pendampingan dan sosialissi kepada para warganya. “Terima kasih atas kepedulian dari bapak Kapolres dan jajaran Polsek Kedungtuban,” ucapnya. Ia mengungkapkan wilayah Desa Gondel saat ini sudah memanfaatkan sistem Rubuha untuk mengantisipasi hama tikus sawah. Menurutnya sistem ini cukup efektif karena sampai saat ini hasil panennya cukup optimal. “Mungkin sudah sekitar 90 persen dan untuk hasil panennya juga maksimal. Kami akan terus mengajak warga agar meninggalkan jebakan tikus dan beralih ke sistem Rubuha,” tandasnya. Berdasarkan pemantauan dan penelitian di lapangan, setiap satu ekor burung hantu mampu memakan 5 sampai 6 tikus sawah dalam sehari. Bagian yang dimakan adalah organ dalam tikus, dan biasanya jenis burung hantu yang datang adalah Tito Alba. “Jadi untuk perawatan cukup mudah, hanya menjadi kandangnya saja,” pungkasnya.

Pemkot Pekalongan Manfaatkan Aplikasi Omahe Dewe Untuk Data Kondisi Rumah Warga

Pemkot Pekalongan Manfaatkan Aplikasi Omahe Dewe Untuk Data Kondisi Rumah Warga

PEKALONGAN – Pemerintah Kota Pekalongan, Jawa Tengah, akan memanfaatkan aplikasi untuk melakukan pendataan rumah warga di wilayahnya. Aplikasi bernama Omahe Dewe itu diharapkan dapat menyajikan informasi jumlah rumah warga, luasannya, dan berapa rumah yang termasuk kriteria rumah tidak layak huni (RTLH). Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman Kota Pekalongan, Andrianto mengatakan, aplikasi Omahe Dewe akan menjangkau seluruh rumah, termasuk data spesifik seperti jenis kerusakan, keberadaan kamar mandi dan sanitasi, hingga kepemilikan rumah. “Untuk pendataan, pada nantinya akan ada petugas khusus yang mendatangi rumah warga satu persatu dan mendata untuk diinput ke aplikasi tersebut,” kata Andriyanto, Selasa (9/8/2022). Andrianto mengungkapkan pihaknya telah memulai melakukan uji coba aplikasi Omahe Dewe. Ia akan terus melakukan pembaruan agar bisa dilakukan secara optimal dan menyeluruh pada September 2022. “Untuk anggaran aplikasi ini akan kami kejar pada perubahan anggaran tahun ini. Jika disetujui, kami akan meluncurkan aplikasi ini pada September 2022,” katanya.

Pemain Muda PSIS Semarang Siap Berlaga di Elite Pro Academy

Pemain Muda PSIS Semarang Siap Berlaga di Elite Pro Academy

SEMARANG – PSIS Semarang menyiapkan dua tim untuk berlaga di kompetisi usia muda Elite Pro Academy (EPA) Tahun 2022. Dua tim PSIS tersebut yakni PSIS U-16 dan PSIS U-18. Pelepasan tim dilakukan di Stadion Citarum Semarang, pada Selasa (9/8/2022). Merujuk jadwal resmi yang ditetapkan PSSI, PSIS U-18 akan memulai kompetisi pada 15 Agustus 2022, dan PSIS U-16 pada 16 Agustus 2022 dengan format home tournament. Direktur Akademi PSIS, Muhammad Ridwan mengatakan, pihaknya menargetkan anak asuhnya dapat meraih kemenangan dan hasil maksimal. Namun hal itu baginya bukan prioritas utama. “Hal terpenting bagaimana kami bisa mencetak pemain untuk PSIS Senior dalam beberapa tahun ke depan,” tandasnya, dikutip dari laman resmi klub. Untuk menghadapi kompetisi ini, lanjutnya, pihaknya telah melakukan berbagai serangkaian persiapan. Mulai dari seleksi hingga pembentukan tim. “Peserta seleksi mencapai 1.600 peserta dan kami patut berbangga akan itu. Ini merupakan sebuah pengakuan dari pembinaan yang dilakukan PSIS,” kata Mantan Pemain PSIS dan Persib itu. Sementara itu Chief Executive Officer (CEO) PSIS, Yoyok Sukawi mengatakan tim PSIS EPA saat ini sudah terbentuk dan merupakan hasil seleksi terbuka selama ini. “Sore ini kami melepas PSIS U16 dan U18. Tim ini berdasarkan hasil seleksi terbuka yang diikuti ribuan peserta hampir seluruh Indonesia. Dan Alhamdulillah sudah terbentuk dan dalam waktu dekat akan segera berangkat,” ujarnya. Perlu diketahui PSIS U16 dan U18 akan diperkuat masing-masing 25 pemain. Sementara pelatih kepala untuk U16 yakni Dicky Firasat dan pelatih kepala U18 yakni Khusnul Yaqin.

Wedang Tahu Semarang, Kuliner Legendaris Sejak Abad Ke-19

Wedang Tahu Semarang, Kuliner Legendaris Sejak Abad Ke-19

Kota Semarang merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki kuliner khas yang patut untuk dicoba. Diantara kuliner Semarang yang cukup terkenal antara lain lumpia, bandeng presto, tahu petis, dan tahu gimbal. Selain kuliner tersebut, ternyata Semarang juga masih memiliki kuliner legendaris bernama Wedang Tahu Semarang. Jika melihat dari nama kuliner ini, mungkin yang terbayang dalam benak kita adalah tahu yang biasa digunakan sebagai lauk pauk. Namun, perlu diketahui Wedang Tahu merupakan minuman yang berbahan dasar jahe dan kembang tahu. Kembang tahu terbuat dari kedelai yang masih segar dan dan telah direndam selama satu malam. Selanjutnya kedelai dibersihkan dari kulit luarnya dan dihaluskan menggunakan blender. Selanjutnya kedelai yang sudah halus tersebut dimasak menggunakan api kecil hingga berbuih serta mendapatkan kekentalan yang diinginkan. Kemudian rebusan kedelai halus tadi disaring menggunakan kain kasar untuk memisahkan ampas kedelai dengan sarinya. Selanjutnya, sari kedelai dicampurkan dengan tepung tapioka atau bubuk agar-agar dan diaduk secara merata. Tunggu sari kedelai menjadi dingin atau teksturnya menjadi padat seperti agar-agar. Sementara itu untuk membuat kuahnya, menggunakan bahan air, gula merah, gula pasir, jahe, daun pandan, daun jeruk, kayu manis, cengkeh, dan garam yang direbus hingga larut dan wangi, lalu disaring. Pada dasarnya tekstur kembang tahu mirip seperti agar-agar. Kembang tahu akan mudah hancur saat dikunyah di mulut. Rasanya hambar karena tanpa tambahan gula atau pemanis lainnya. Namun apabila sudah dicampur dengan rasa manis pedas dari kuah jahe dan rempah-rempah lainnya, rasanya menjadi sangat menyegarkan. Untuk penyajiannya, wedang tahu disendoki tipis-tipis dan diletakkan di dalam mangkok lalu dituangi kuah jahe yang masih hangat. Cocok diminum pada saat malam hari atau cuaca sedang digin. Wedang Tahu Ada Sejak Abad Ke-19 Kuliner wedang tahu diperkirakan telah ada di Semarang sejak abad ke-19 yang dibawa masyarakat asal Tionghoa. Rasa dasarnya adalah hambar, namun kemudian disesuaikan dan dikreasikan sesuai dengan lidah masyarakat Semarang saat itu. Sehingga kemudian rasanya menjadi lebih manis dengan campuran rempah-rempah yang menghangatkan. Warung Wedang Tahu Semarang Saat berkunjung ke Semarang, kamu dapat mencoba minuman ini di warung-warung yang tersedia. Salah satu yang cukup populer adalah warung Wedang Tahu Pak Adi. Tendanya berada di atas trotoar menggunakan pikulan sederhana, berupa dandang berisi kuah jahe dan satunya lagi dandang berisi kembang tahu. Penjualnya bernama Suprapto yang menggunakan nama Pak Adi, pamannya sendiri yang dulunya ikut berjualan wedang tahu milik keturunan Tionghoa di Kampung Bandaran Semarang. Suprapto merupakan generasi ketiga yang hingga kini masih menjajakan minuman khas Semarang ini. Sekarang ini di Semarang hanya beberapa tempat saja yang masih menjajakan minuman ini. Paling banyak penjual Wedang Tahu berada di kawasan Pecinan Semarang. Sebut saja seperti Wedang Tahu “Tjoa”, Wedang Tahu Kranggan, dan Wedang Tahu Pak Pardi. Rata-rata para penjual minuman tradisional ini buka dari pagi hingga siang hari saja. Hanya di warung Pak Adi yang menjual minuman ini hingga malam pukul 22.00 WIB. Tempatnya relatif kecil, hanya tersedia beberapa kursi saja. Lokasi Warung Tahu Pak Adi berada di Jalan Setiabudi No. 68A, Srondol Kulon, Banyumanik atau di depan Swiss House Setiabudi (Dekat Patung Kuda Diponegoro Undip Tembalang). Foto: Doc. pegipegi.com