Jowonews

Sejarah Situs Liyangan, Jejak Mataram Kuno Yang Tertimbun Abu Sindoro

Sejarah Situs Liyangan, Jejak Mataram Kuno Yang Tertimbun Abu Sindoro

Sejarah Situs Liyangan Temanggung begitu menarik digali untuk melihat potret peradaban masa lampau. Situs tersebut diyakini sebagai pemukiman purba penduduk pada masa Mataram Kuno pada abad ke-9 Masehi, yang tertimbun lahar akibat letusan Gunung Sindoro. Situs kuno ini merupakan penemuan arkeologi yang spektakuler dengan area yang luas. Di tempat ini, para arkeolog telah menemukan sisa-sisa rumah, talud, candi, barang rumah tangga kuno, hingga fosil padi. Menurut penelitian Menggali Nilai Kehidupan dalam Situs Liyangan Berbasis Media Audio Visual oleh Dita Apriliya dkk, situs bersejarah ini saat ditemukan berbentuk pelataran atau teran dengan arca-arca bergaya Polinesia. Penemuan ini membuktikan bahwa kawasan tersebut merupakan bekas pemukiman kuno. Setidaknya diyakini terjadi pada abad ke-2 Masehi atau lebih tepatnya sebelum mereka menganut kepercayaan Budha-Hindu. Hingga akhirnya tempat ini terkubur akibat letusan lahar dari Gunung Sindoro yang meletus pada abad ke-11. Beruntung tidak ada korban jiwa dari letusan gunung ini, karena diduga warga setempat menyelamatkan diri dengan membawa harta benda dan ternaknya ke tempat lain. “Mereka dievakuasi sebelum erupsi. Karena kalau mereka terkubur, seharusnya kita bisa menemukan tulang belulang korban erupsi,” kata Joko Dwiyanto, mantan Guru Besar Arkeologi UGM. Ditemukan kembali pada tahun 2008 Tahukah Anda, tempat ini pertama kali ditemukan secara tidak sengaja pada tahun 2008 oleh penduduk setempat. Saat itu, kawasan tersebut tertimbun puing-puing vulkanik akibat letusan dahsyat Gunung Sindoro yang terjadi. Sebelum abu vulkanik letusan menimbung Liyangan, diperkirakan warga sempat memperbaiki bangunan tersebut. Karena saat itu gunung tersebut tidak meletus sekali tetapi berkali-kali. Terlihat adanya perbaikan bentuk pagar batu andesit yang sebelumnya berbentuk persegi menjadi batu bulat. Ada juga tanggul tua untuk mencegah longsoran. “Kemudian ada juga bangunan tua yang rusak diperbaiki dengan material yang sedikit berbeda. Itu kemungkinan rusak akibat bencana alam sehingga perlu diperbaiki berulang-ulang,” jelas Joko. Alat-alat yang ditemukan di situs web Liyangan Sampai saat ini, kawasan bersejarah ini dianggap sebagai peninggalan paling lengkap dari kompleks pemukiman Mataram kuno. Karena tempat ini masih menyimpan jejak-jejak peninggalan masyarakat Mataram kuno mulai dari aktivitas sehari-hari masyarakat, tempat ibadah, hingga areal pertanian penduduk disini saat itu. Selain itu, ditemukan pula bangunan candi, antara lain relief dan beberapa peralatan rumah tangga yang terbuat dari tanah liat, keramik, logam, batu, dan serat kain. Ada kemungkinan keramik-keramik yang ditemukan ini berasal dari ilmuwan China dari Dinasti Tang. “Beberapa perkakas yang kita temukan itu merupakan alat memasak seperti periuk, pecahan tungku, selain itu ada pula mangkuk, kendi, dan lain sebagainya,” kata Kepala Balai Arkeologi Jateng – DIY, Sugeng Riyanto.

Asal Usul Nama Dieng, Negeri Para Dewa

Asal Usul Nama Dieng, Negeri Para Dewa

Asal Usul Nama Dieng diambil dari bahasa Jawa kawi yang berarti tempat para dewa berada. Dieng merupakan dataran tinggi yang memiliki banyak kawah aktif hingga saat ini. Dataran Tinggi Dieng yang membentang di Kabupaten Banjarnegara, Wonosobo, dan Batang, Jawa Tengah, merupakan kawasan pegunungan dengan sejarah geologis yang panjang. Proses geologis yang terjadi di sana telah menciptakan kawah dan danau yang tersebar di beberapa tempat. Meski kini dijadikan objek wisata, Dieng sebenarnya merupakan gunung api aktif yang rutin dipantau oleh Badan Geologi. Ahli vulkanologi melaporkan bahwa Dataran Tinggi Dieng terjadi 3,6 juta tahun yang lalu sekitar 2.500 tahun yang lalu. Di Dieng, terjadi fase letusan Gunung Prau yang disusul letusan di kawasan kaldera. Serta yang termuda dimulai 8.500 tahun yang lalu ketika terjadi letusan gunung api berbentuk kerucut di selatan Dieng. Masyarakat umum mengenal Dieng sebagai tempat wisata dengan pemandangan alam yang indah bak surga. Dihimpun dari berbagai sumber, asal usul nama Dieng berasal dari bahasa Jawa Kawi yang terdiri dari dua kata. Yaitu, Di berarti tempat atau gunung dan Hyang berarti Tuhan. Jadi, Dieng secara harfiah berarti Gunung tempat para Dewa berada. Para ahli mengatakan bahwa Dieng bukanlah gunung api yang mengacu pada satu gunung api. Namun kompleks vulkanik yang mengarah ke kawasan Dieng ini merupakan rangkaian gunung api yang tercipta dari magma bawah tanah dalam jumlah besar. Dari citra satelit, kawasan Dieng terlihat seperti massa vulkanik besar yang hancur akibat letusan. Ini kemudian membentuk puncak gunung api baru di sekitar gunung api tua di tengah Cekungan Dieng. Gunung Api Dieng terbentuk dari subduksi lempeng samudera Indo-Australia yang menunjam di bawah Lempeng Sundaland. Gunung api Dieng terbentuk dari masa Pleistosen (2,58 juta tahun yang lalu) hingga Holosen. Meski merupakan gunung api, potensi bencana tidak terjadi berupa letusan, lelehan lahar, maupun hujan abu. Ancaman utama terletak pada rangkaian kawah aktif yang mengeluarkan gas belerang dengan konsentrasi tinggi. Kawah Dieng Beberapa kawah yang masih aktif di Dieng adalah kawah Sinila, Sikidang, Sileri dan Timbang. Dari sederet kawah, Dinas Geologi menyebut Timbang adalah yang paling berbahaya karena mengandung gas beracun dalam jumlah besar. Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut Kawah Timbang memiliki retakan berisi gas berbahaya. Jika aktivitas meningkat, kawah akan mengeluarkan gas berupa hidrogen sulfida dan karbon dioksida yang bersifat racun dan membahayakan kehidupan organisme. Lokasi kawah ini cukup dekat dengan pemukiman penduduk. Oleh karena itu, aktivitasnya saat ini terus mendapatkan perhatian.