Jowonews

PERAN ORANG TUA : ALTERNATIF CIPTAKAN PENDIDIKAN BERMAKNA

Oleh : Mega Nia Arisca Pendidikan ialah sarana proses berlangsungnya suatu mengembangan manusia dalam bernalar kritis, kreatif, inovatif dan berkepribadian luhur sesuai kodratnya. Pendidikan pertama yang diperoleh seorang anak ada di lingkungan rumah. Dimana rumah menjadi sekolah awal mengenal terbentuknya karakter. Kontribusi orang tua dan lingkungan keluarga memberikan dampak yang signifikan akibat proses yang berulang-ulang. Lebih lanjut, lingkungan sekolah yang nyaman untuk area mengembangkan bakat, minat dan keterampilan. Optimalisasi pendidikan seorang anak dapat terwujud selaras melalui lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang saling mendukung. Ketiga lingkungan tersebut bahkan telah disinggung tokoh besar Indonesia Ki Hajar Dewantara. Soegito  (2011:8)  menjelaskan  pendidikan  nasional  berfungsi  mengembangkan  kemampuan  dan membentuk   watak   serta   peradaban   bagsa   yang   bermartabat   dalam   kerangka   mencerdaskan kehidupan  bangsa,  bertujuan  untuk  berkembangnya  potensi  peserta  didik  agar  menjadi  manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab. Orang tua memiliki tanggung jawab penuh untuk keberhasilan dari seorang anak. Perkembangan teknologi yang semakin erat dengan kehidupan jaman sekarang membutuhkan filterisasi guna menyaring informasi. Peran orang yang utama yakni mendidik, mengasuh serta membimbing seorang anak untuk mencapai tujuan dan harapan yang dicita-citakan. Peran orang tua tidak terlepas dari tanggung jawab sebuah karakter ditanamkan di lingkungan keluarga. Peran aktif orang tua dengan lingkungan sekolah demi pendidikan bermakna ditentukan dengan terjalinnya komunikasi yang efektif. Pentingnya orang tua terhadap pendidikan seorang tidaklah hal yang mudah sebab pendidikan merupakan pondasi awal yang wajib ditanamkan pada setiap individu untuk dapat bertahan hidup dalam rangka menghadapi perkembangan zaman saat ini. Perlunya menyadari eksistensi orang tua memberikan pelayanan pendidikan kepada anaknya. Perkembangan individu dibentuk melalui tahapan-tahapan awal perkembangan dan mulai berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan minat dan sikap dalam hidup. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua menurut Hurlock (1999) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu karakteristik orang tua yang berupa, kepribadian orang tua setiap orang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, intelegensi, sikap dan kematangannya. Karakteristik tersebut akan mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang tua dan bagaimana tingkat sensitivitas orang tua terhadap kebutuhan anak-anaknya. Keyakinan yang dimiliki orang tua mengenai pengasuhan akan mempengaruhi nilai dari pola asuh dan akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam mengasuh anak-anaknya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi pola asuh yang diterapkan orang tua sesuai pendapat Hurlock dalam jurnal pendidikan Cahyati (2020), yaitu karakteristik orang tua meliputi kepribadian di setiap orang yang berbeda dalam tingkat energi, kesabaran, pengetahuan, sikap dan kematangan berpikir. Karakteristik tersebut mempengaruhi kemampuan orang tua untuk memenuhi tuntutan peran sebagai orang tua terhadap kebutuhan seorang anak.  Apabila para guru mampu  mewujudkan  serta  menerapkan  kondisi  pembelajaran  yang  tidak  sama dengan yang sebelumnya maka tentunya hal tersebut akan membuat para peserta didik merasa  berminat   sebab   kegiatan   pembelajarannya   dilaksanakan   sesuai   dengan   yang   diinginkannya (Anggraeni,   2019). Belajar pada hakikatnya mengembangkan konstruksi pengetahuan baru yang diperoleh sebagai hasil interaksi pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami secara nyata apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan materi pembelajaran. Ada banyak pendekatan atau strategi pembelajaran yang dapat digunakan guru/pendidik untuk menciptakan iklim pembelajaran di kelas yang memungkinkan terjadinya pembelajaran bermakna, salah satunya mengaitkan kegiatan pembelajaran di sekolah dengan peran orang tua. Libatkan orang tua dalam segala hal yang berkaitan dengan perkembangan seorang. Paguyuban orang tua menjadi akses mudah dalam menjalin komunikasi antara sekolah dengan orang tua. Pengenal jenis profesi dari berbagai profesi para orang tua akan memberikan pengalaman belajar yang bermakna. Upaya dan langkah memupuk keterampilan dalam segala potensi diri anak dapat dilakukan dengan konsultasi minat dan bakat di awal masuk sekolah. Pihak sekolah harus bekerja sama dengan pihak terkait untuk pemetaan keterampilan sehingga orang tua bagaimana cara mengarahkan dan membimbing anak sesuai potensi yang akurat.

KIRA-KIRA PERLU PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI ?

Oleh : Rayyana Shafiatun Guru. Masyarakat menyebutnya dengan digugu dan ditiru. Masyarakat memandang profesi tersebut profesi yang kadang diremehkan namun kadang juga banyak yang memuji karena jasanya. Diremehkan karena masyarakat atau orang luar mengira bahwa guru hanya mengajar materi sekolah saja khususnya guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Sebagian masyarakat mengira bahwa pendidikan hanya sebuah penyampaian materi yang mudah untuk dilakukan pada level kanak-kanak dan sekolah dasar. “Ah pelajaran TK dan SD kan gampang”. Cuitan tersebut terkadang terlintas dari omongan yang sedang menjemput anaknya di depan sekolah. Dari sebagian masyarakat tersebut, tentunya sebagian masyarakat lagi mempunyai perspektif yang berbeda atau bisa kita sebut mempunyai kubu yang berbeda. Kubu masyarakat yang satu ini memandang guru sebagai pekerjaan yang mulia karena tahu akan susahnya guru dalam membangun dan mengembangkan pembelajaran agar peserta didik mampu memahami dan menerapkan apa yang telah diterima di sekolah.   Berbagai mata pelajaran dipelajari oleh peserta didik sekolah dasar. Begitu pula pemahaman oleh peserta didik dalam menerima berbagai mata pelajaran tersebut apakah ada jaminan jika semua peserta didik dapat memahami semua mata pelajaran tersebut ? Tentu saja penerimaan pemahaman konsep antar satu peserta didik dengan peserta didik lainnya berbeda. Mengapa ? Karena peserta didik mempunyai latar belakang, minat, potensi, dan bakat yang berbeda sehingga dibutuhkan pembelajaran yang dapat memfasilitasi perbedaan tersebut. Jika dilihat dari hal tersebut, maka pembelajaran berdiferensiasilah jawabannya. Kira-kira apakah perlu pembelajaran berdiferensiasi ? Melihat perkembangan pendidikan yang berada pada abad 21 sehingga pembelajaran yang tidak zaman lagi jika menggunakan teacher center. Pembelajaran sekarang yang dibutuhkan adalah student center. Menurut Desy Aprima dan Sasmita Sari pada tahun 2022, satu cara pembelajaran berpusat pada peserta didik yaitu dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi adalah satu bentuk usaha dalam serangkaian pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan peserta didik dari segi kesiapan belajar, profil belajar peserta didik, minat dan bakatnya. Dalam penyelenggaraan pembelajaran berdiferensiasi, guru tentunya harus paham apa saja aspek yang harus dipertimbangkan dalam pembelajaran. Ada empat aspek yang harus dipahami yaitu aspek konten/isi, proses, produk, dan lingkungan belajar. Demi memfasilitasi perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik, maka guru seharusnya memahami apa itu pembelajaran berdiferensiasi. Dengan mempertimbangkan penggunaan aspek-aspek tersebut, guru dapat menggunakan strategi pembelajaran berdiferensiasi dan model pembelajaran berdiferensiasi.  Model pembelajaran yang dapat digunakan antara lain model problem based learning, project based learning, jigsaw, small group discussion, dan lain-lain yang berpihak pada peserta didik.   Sebagai guru yang digugu dan ditiru, mari untuk move on ke pembaharuan yang dapat memfasilitasi peserta didik kita untuk lebih berkembang sesuai dengan minat, bakat, dan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Perlu diingat bahwa peserta didik memiliki kecerdasan majemuk atau bahasa gaulnya multiple intelligence atau kecerdasan majemuk yang sudah miliki sebagai kodrat alam. Kecerdasan majemuk yang dimiliki peserta didik berupa kecerdasan verbal atau bahasa, kecerdasan matematis, kecerdasan naturalis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, dan kecerdasan kinestetis. Kecerdasan-kecerdasan tersebut selayaknya dapat dikembangkan oleh guru sehingga peserta didik mampu menerapkan apa yang telah didapatkan di pembelajaran di kehidupan sehari-hari. Keberagaman peserta didik telah dijelaskan dalam teori ekologi, teori zone of proximal development (zpd), teori multiple intelligences, dan teori learning modalities. Ingatlah semboyan Bapak Pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara yang mencetuskan semboyannya yaitu Ing ngarsa sung tuladha (di depan menjadi panutan atau contoh), Ing madya mangun karsa ( di tengah memberikan semangat), Tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan berupa arahan yang benar bagi hidup dan karya peserta didik). Sebagai guru, harus mengupayakan yang terbaik untuk memfasilitasi semua peserta didik dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Perlu diingat bahwa guru bukan superman yang bisa memberikan pengajaran sesuai jumlah peserta didik, namun guru dapat mengemas pembelajaran tersebut untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik sesuai profiling yang sudah dilakukan oleh guru. Untuk itu, perlu bagi guru untuk memetakan kesiapan belajar peserta didik sehingga mampu dengan pasti penyelesaian masalah dalam pembelajaran. Bangkitlah kawan guru, mari awali perubahan yang baik dari kelas masing-masing ! Hidup pendidikan Indonesia !

URGENSI EDUKASI SEKSUAL DI RANAH PENDIDIKAN

Oleh : Hamam Fitriana Kasus pelajar meminta dispensasi nikah karena hamil duluan di kabupaten Ponorogo menjadi trending topic berita nasional. Status pelajar yang masih melekat pada diri anak tentunya menjadi episentrum keprihatinan dunia pendidikan. Bagaimana tidak, pelajar yang seharusnya memiliki seperangkat bekal untuk merestriksi diri dari tindakan di luar batas justru kebablasan ihwal seksualitas. Fenomena ini tentu mencoreng dunia pendidikan yang dirasa gagal dalam mendidik para pelajar ihwal seksualitas. Narasi seksualitas sudah lama diperbincangkan di ruang publik oleh pelbagai lembaga feminisme, perempuan, anak-anak, HAM, dan pendidikan. Akan tetapi narasi seksualitas di ranah pendidikan nampaknya masih sunyi untuk diedukasikan kepada pelajar. Minimnya edukasi akan seksualitas di tingkat pendidikan dasar (SD, SMP, SMA) berkorelasi dengan banyaknya pelajar yang krisis edukasi seksual. Data pada Pengadilan Agama (PA) Ponorogo menerima 191 permohonan anak untuk menikah dini selama 2022 dengan rincian 115 perkara hamil di luar nikah menjadi fakta bahwa ada disparitas edukasi seksual di ranah pendidikan atau bahkan dapat dikatakan sebagai kecelakaan faktual pendidikan. Pengajuan dispensasi yang dilakukan oleh 7 siswa SMP karena hamil duluan menjadi preseden buruk yang perlu direnungkan oleh semua pihak pemangku kekuasaan tak terkecuali pendidikan. Pemangku pendidikan perlu responsif dan membuat kebijakan yang dapat mengedukasi pelajar ihwal seksualitas. Perlu adanya regulasi dan edukasi seksual yang masif dilakukan di ranah pendidikan dasar. Di era digital, seksualitas tidak dapat dihindarkan dari dunia pelajar. Kemudahan dan kecepatan dunia informasi membuat pelajar dapat berselancar untuk mengakses berbagai hal termasuk yang tabu untuk dilihat seperti ponografi dan kekerasan. Pendidikan perlu merespon dengan memberikan edukasi seksual sedini mungkin. Artinya pendidikan sudah mulai bergerak memberikan edukasi pada pelajar di tataran sekolah dasar. Bahkan orang tua perlu diberikan edukasi seksual sejak sebelum memiliki anak. Harapannya agar setelah mempunyai anak, orang tua dapat mengedukasi seksual pada anak-anaknya dengan tepat. Problem liyan yang masih meresidu justru ada pada guru sebagai pendidik. Adanya stereotip seksualitas tabu untuk dibicarakan apalagi diajarkan masih menghantui guru untuk mengajarkannya pada pelajar. Historitas budaya patriarki yang mewarnai hidup berbangsa dan bernegara ikut berkontribusi akan kegagapan bertindak. Kegagapan ini tentu perlu direspon dengan membuka pikiran (open mind) dan menjadi agen guru progresif. Sehingga kegagapan untuk menerangkan edukasi seksual dapat dieliminasi. Guru membekali diri dengan pemahaman secara utuh akan edukasi seksual dan pemerintah memfasilitasi semua guru dan calon guru untuk belajar edukasi seksual. Selain itu, perlu adanya kejelasan regulasi yang kemudian diturunkan ke tingkatan kurikulum sebagai wadah edukasi seksual pada semua jenjang pendidikan. Pada level kurikulum inilah nantinya edukasi seksual diimplementasikan di mata pelajaran. Pada dasarnya, salah satu orientasi dari pembekalan edukasi seksual tidak lain untuk mencegah 3 dosa besar pendidikan yakni perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Edukasi seksual pada ranah pendidikan formal tidak akan berjalan efektif tanpa adanya kerja kolektif semua pihak. Pihak sekolah selaku kepanjangan tangan pemerintah dalam ranah pendidikan, perlu merangkul orang tua anak, pemangku agama, pemangku adat, tokoh masyarakat, serta para pengiat anak dan liyan. Kerja kolektif tersebut merupakan manifestasi identitas masyarakat Indonesia yang dikenal dengan semboyan gotong-royong.

MENGAKOMODASI POTENSI PESERTA DIDIK MELALUI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

Oleh : Gema Gumika Damar Setyaning Djati Dalam filosofi Ki Hajar Dewantara (KHD), dikatakan bahwa pendidikan haruslah berpihak pada peserta didik. Perbedaan kemampuan, bakat, juga keahlian mereka seharusnya dapat difasilitasi dengan bijak. Artinya, pembelajaran yang dilaksanakan perlu mempertimbangkan potensi dan karakteristik peserta didik. Setiap anak tentulah memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing sehingga guru dalam menyediakan pembelajaran juga perlu mempertimbangkan kebutuhan peserta didiknya. Dalam hal ini, guru menjadi fasilitator yang menuntun mereka sesuai dengan kodratnya (potensinya). Program merdeka belajar sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa peserta didik memiliki kebebasan dalam belajar, mengekspresikan pemikirannya, dan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi dirinya sendiri. Mereka tidak lagi terbebani dengan tuntutan-tuntutan pengajaran yang selama ini kerap ditentukan. Jika dulu hanya guru dan buku yang menjadi sumber belajar, namun saat ini hal itu bukanlah satu-satunya sumber belajar yang bisa peserta didik gunakan karena mereka dapat mencari sendiri sumber belajar yang positif lainnya. Pembelajaran berdiferensiasi menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhan peserta didik yang heterogen. Menurut Carol Ann Tomlinson (2000), pembelajaran berdiferensiasi atau differentiated learning, adalah usaha dalam menyesuaikan proses pembelajaran di kelas dengan tujuan memenuhi kebutuhan belajar pada setiap individu. Pembelajaran berdiferensiasi bukan hanya fokus pada apa yang akan dihasilkan, akan tetapi juga fokus terhadap proses dan materi. Sehingga terdapat 3 strategi dalam pelaksanaanya, yaitu 1) Diferensiasi Konten, 2) Diferensiasi Proses, dan 3) Diferensiasi Produk. Bentuk penerapan strategi pelaksanaan pembelajaran diferensiasi adalah sebagai berikut: Diferensiasi Konten Pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi yang berfokus pada konten atau materi artinya pendidik melakukan pembedaan pada pengorganisasian dan format penyampaian konten. Sebagai contoh, pendidik dapat melakukan strategi ini berdasarkan pada gaya belajar peserta didik yang didapat ketika melaksanakan student profiling maupun memberikan peserta didik kebebasan untuk menentukan sumber belajar yang ada di sekitarnya. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, diferensiasi konten dapat berupa buku bacaan atau cuplikan film berbahasa Inggris, podcast luar, maupun dalam bentuk gambar bergantung pada topik yang akan diberikan. Diferensiasi Proses Diferensiasi proses memungkinkan pendidik untuk melakukan variasi aktivitas pembelajaran di dalam kelas.  Cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan memberikan kegiatan berjenjang, memberikan pertanyaan pemandu, menerapkan strategi pembelajaran yang variatif, membagi peserta didik menjadi beberapa kelompok kecil dan diberikan permasalahan yang berkaitan dengan materi. Dalam pembelajaran Bahasa Inggris, pendidik dapat menggunakan model Genre Based Approach (GBA) yang memuat aktivitas Building Knowledge of the Field (BKoF) yang merupakan tahap penjajakan atau pengenalan pada topik yang akan dibahas, Modelling of Text (MoT) dimana peserta didik diajak untuk melatih keterampilan membacanya, Joint Construction of Text (JCoT) yaitu mengajak peserta didik untuk berkolaborasi antar teman dan menghasilkan suatu produk berdasarkan apa yang telah mereka dapat pada dua tahap sebelumnya, dan Independent Construction of Text (ICoT) yang merupakan tahap tertinggi karena peserta didik diminta untuk memproduksi suatu teks secara mandiri. Tidak hanya itu, pendidik juga dapat menerapkan cooperative learning seperti Jigsaw, Numbered-heads Together, dan Think-Pair-Share untuk membuat kegiatan pembelajaran menjadi lebih bermakna dan menyenangkan untuk peserta didik. Diferensiasi Produk Strategi ini berkaitan dengan produk atau hasil apa yang dihasilkan peserta didik setelah melaksanakan pembelajaran, di mana produk ini harus mencerminkan pemahaman mereka yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Produk yang dimaksud dapat berbentuk karangan, tulisan, hasil tes, pertunjukan, presentasi, pidato, rekaman, diagram, dan sebagainya. Diferensiasi produk yang dapat dilakukan pada pembelajaran Bahasa Inggris misalnya, pada materi Asking and Giving Opinion, peserta didik diminta untuk membuat percakapan dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan ekspresi bertanya dan memberikan pendapat yang telah dipelajari di kelas. Kemudian, mereka diberikan beberapa alternatif pilihan produk yang dapat mereka pilih sesuai dengan minatnya seperti teks, rekaman, maupun video percakapan. Demikian pembelajaran diferensiasi dalam mengakomodasi potensi peserta didik yang bermacam-macam. Sebagai pendidik, hendaknya kita mampu menjadi penuntun, penyemangat, dan motivator bagi peserta didik untuk meningkatkan minat dan potensi yang mereka miliki. Referensi: Istiq’faroh, N. (2020). Relevansi Filosofi Ki Hajar Dewantara sebagai Dasar Kebijakan Pendidikan Nasional Merdeka Belajar di Indonesia. Lintang Songo: Jurnal Pendidikan, 3(2), 1-10. Ningsih, D. W., Zaim, M., & Rozimela, Y. (2015). The implementation of genre based approach in teaching reading: A case study at SMPN 17 in Pekanbaru. English Language Teaching (ELT), 3(1).Tomlinson, C. A. (2000). Differentiated instruction: Can it work?. The Education Digest, 65(5), 25.

MENCEGAH KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN PADA ANAK USIA 4-6 TAHUN MELALUI PROGRAM “AKU DAN KAMU” DI KOTA SEMARANG

Oleh : Alan Khoirul Mufti Data kekerasan DP3A Kota Semarang tahun 2018 menunjukkan bahwa kekerasan pada anak usia 0-12 tahun mencapai 65 kasus, 23 diantaranya kekerasan seksual pada anak usia 0-5 tahun. Dari kasus tersebut turut prihatin dengan keadaan anak pra sekolah yang sangat mudah menjadi objek kekerasan, baik fisik maupun seksual. Adanya program “Aku dan Kamu” diharapkan menjadi solusi untuk mengurangi angka kekerasan pada anak, khususnya pada anak pra sekolah (4-6 tahun). Program “Aku dan Kamu” adalah sebuah program pendidikan seks yang dikembangkan oleh Rutgers dan PKBI Jawa Tengah, dan program tersebut diterapkan di sekolah PAUD/TK. Tujuannya yaitu guna membekali orang tua dan anak pra sekolah (4-6 tahun) supaya memiliki karakter dan kecakapan hidup sosial dengan fokus pengetahuan pada tubuh, peran menurut gender dan pencegahan kekerasan seksual. Program dilaksanakan oleh PKBI yang dibantu tenaga pendidik di PAUD yang telah diberi pelatihan Training of Fasilitator. Program tersebut dilaksanakan melalui sosialisasi, implementasi program, dan parenting.  Sudah ada tiga PAUD yang berkomitmen mengimplementasikan program “Aku dan Kamu”. Komitmen tersebut dilatarbelakangi adanya kasus kekerasan seksual di sekolah maupun lingkungan sekitar. Tiga PAUD tersebut sudah mewakili beberapa wilayah kecamatan yang mempunyai kasus kekerasan seksual pada anak pra sekolah (4-6 tahun) cukup tinggi. Selain itu, tiga sekolah tersebut juga menjadi piloting bagi PAUD lain di sekitarnya supaya tertarik terhadap program “Aku dan Kamu” dan mengimplementasikan. Sekitar 200 siswa dan orang tua sudah terpapar program ini. Pada pertengahan tahun 2019, angka kekerasan seksual pada anak usia 0-5 tahun turun 65%. Keberhasilan program “Aku dan Kamu” tidak lepas dari dukungan tenaga pendidik, orang tua siswa dan stakeholder , karena cara penyampaiannya yang unik dan sangat mudah diterima. Dari program ini pendidikan seks seharusnya sudah diberikan kepada anak sejak dini. Bagi orang tua, berbicara tentang anak dan seksualitas bukanlah hal yang tabu lagi, sehingga mampu mendidik anaknya dimulai dari hal yang sederhana seperti, membedakan toilet laki-laki dan perempuan dan bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Referensi : Buku Best Practice “Aku dan Kamu” 0-4 tahun Data Kekerasan DP3A Kota Semarang

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI TUNTASKAN KEBUTUHAN BELAJAR PESERTA DIDIK

Oleh : Fakinatul Izzun Himmah, S. Pd. Pendidik di era abad 21 diharapkan menerapkan strategi pembelajaran yang membuat peserta didik merasa bahagia dan senang mengikuti kegiatan belajar di kelas maupun di luar kelas. Pendidik merancang pembelajaran untuk mengakomodasi kebutuhan peserta didik sesuai dengan minat maupun modalitas belajar (audio, visual, dan kinestetik).  Pembelajaran akan bermakna apabila pendidik melakukan berbagai persiapan dan perencanaan yang mendukung seperti melaksanakan analisis kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar peserta didik. Peserta didik terlahir unik dan berbeda-beda antara anak satu dengan anak yang lainnya berdasarkan karakteristik sosial, kondisi keluarga, dan pengaruh lingkungannya. Minat peserta didik dapat terasah dan berkembang dengan matang apabila dalam proses belajarnya pendidik mengikutsertakan peserta didik dalam membentuk kesepakatan kelas maupun melibatkan peserta didik dalam pembelajaran. Keunikan dari masing-masing peserta didik itulah yang menumbuhkan adanya keberagaman dalam satu kelas. Hal tersebut menuntut pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang mampu memfasilitasi peserta didik sesuai kebutuhannya. Itulah yang dinamakan dengan pembelajaran berdiferensiasi. Faktanya, pembelajaran berdiferensiasi merupakan hal baru pada wadah pendidikan Indonesia. Banyak kesulitan dan tantangan yang dialami pendidik dalam merancang pembelajaran yang mengakomodir kebutuhan peserta didik. Namun, kegigihan dan konsistensi dari pendidik dapat terlihat dan mewujudkan pembelajaran yang bermakna sehingga peserta didik memperoleh pengalaman dalam belajar. Pembelajaran berdiferensiasi dapat menuntaskan kebutuhan belajar peserta didik karena pembelajaran berdiferensiasi akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan Indonesia. Diharapkan anak bangsa menjadi penoreh dan pembangkit pendidikan Indonesia.

MENAJAMKAN POTENSI MELALUI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Oleh : Rahmatun Nisa’ Setiap peserta didik pada dasarnya memiliki potensi dari dalam dirinya yang akan semakin menajam seiring dengan aktivitas yang mereka alami. Menyamaratakan level penilaian bukanlah solusi terbaik untuk menajamkan sebuah potensi. Peserta didik yang mempunyai potensi tidak terbatas pada peserta didik yang memiliki nilai akademisi tinggi ataupun logika matematis tinggi. Lebih dari itu, peserta didik yang berpotensi dapat berasal dari mereka yang memiliki ambisi tinggi pada bidang keilmuan tertentu yang mereka sukai.  Sejatinya tidak dapat dipungkiri bahwa setiap pribadi pastilah memiliki keunikan tersendiri yang membuat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu banyak kebutuhan yang perlu untuk dipenuhi, begitu banyak keragaman yang setiap hari ditemui serta begitu banyak potensi yang perlu untuk dipertajam oleh diri. Sehingga dari sini, perlulah pembelajaran berdiferensiasi sebagai solusi. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang memberikan keleluasaan dan mampu mengakomodir segala kebutuhan peserta didik berdasarkan kesiapan, minat, gaya belajar maupun profil belajarnya.  Pembelajaran berdiferensiasi adalah fenomena lama yang diperbaharui kembali pada kurikulum paradigma baru yang gencar dilaksanakan sekarang ini. Pembelajaran berdiferensiasi bisa dikatakan sebagai kabar gembira bagi para pelajar di negeri ini. Mengapa demikian? Hal tersebut karena dengan adanya pembelajaran berdiferensiasi, para pelajar akan memiliki kemerdekaan belajar sesuai dengan tingkat kognisi yang mereka miliki dan apa yang mereka sukai. Sehingga tidak perlu lagi ada kata “terbelenggu” dalam belajar karena tuntutan pembelajaran yang dipaksakan. Dahulu, setiap peserta didik di dalam kelas dituntut untuk memiliki kemampuan dengan level yang sama. Nilai akademisi menjadi tolok ukur dalam menentukan potensi dan prestasi. Tidak ada ruang bagi peserta didik untuk dapat menajamkan potensinya karena mereka dituntun itu bisa dan mahir dalam semua hal. Jika dahulu level kognisi disamaratakan pada setiap jenjang instansi maka dengan pembelajaran berdiferensiasi perbedaanlah yang justru menjadi topik terkini yang perlu untuk dikaji. Pembelajaran berdiferensiasi dilaksanakan berdasarkan keragaman kebutuhan setiap pribadi yang ada di dalam kelas pada sebuah instansi. Tentu kita sebagai pendidik mampu membayangkan bukan, betapa beragamnya kebutuhan peserta didik kita di dalam kelas, mengingat betapa banyaknya individu di dalam kelas itu sendiri. Dengan pembelajaran berdiferensiasi, pendidik diharapkan mampu menajamkan setiap potensi yang dimiliki oleh setiap individu dengan memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengupgrade potensinya melalui aktivitas yang sesuai dengan kebutuhannya. Sebagaimana tujuan pembelajaran berdiferensiasi itu sendiri yaitu mengakomodir kebutuhan setiap peserta didiknya berdasarkan kesiapan, minat dan potensinya. Pembelajaran berdiferensiasi tidak hanya berfokus pada produk pembelajaran, tetapi juga fokus pada hal esensial lainnya yaitu konten atau materi serta proses pembelajarannya. Meskipun terkesan seperti metode baru dalam pembelajaran, namun pembelajaran berdiferensiasi ini nyatanya dapat diterapkan hampir pada semua mata pelajaran. Hal ini karena pembelajaran berdiferensiasi dapat menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan setiap peserta didik sesuai dengan kebutuhan dan apa yang mereka minati.  Pembelajaran berdiferensiasi memiliki tiga aspek penting yang harus diketahui oleh para penggemarnya saat ini. Apa sajakah itu? Diferensiasi konten/ materi Konten/ materi adalah hal esensial yang wajib ada dalam suatu pembelajaran. Pada aspek konten ini, seorang guru haruslah melakukan diferensiasi berkaitan dengan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik, sekaligus memodifikasi metode pembelajaran terkait bagaimana setiap peserta didik akan mempelajari materi tersebut. Diferensiasi Proses Aspek diferensiasi ini mengacu pada bagaimana peserta didik akan memahami dan memaknai informasi atau konten yang sedang dipelajari. Sehingga aspek diferensiasi ini erat kaitannya dengan strategi dan model pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan materi. Diferensiasi Produk Sebagaimana namanya, maka diferensiasi produk disini berkaitan dengan hasil pemahaman atau kerja peserta didik setelah melalui serangkaian proses pembelajaran. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, produk tidak harus selalu dalam bentuk yang sama, karena peserta didik diberikan keleluasaan dalam menghasilkan produk sesuai dengan kemampuan dan keinginan mereka tetapi dengan tetap disesuaikan pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Menerapkan pembelajaran berdiferensiasi bukanlah hal yang mudah dan sepele. Ketika menerapkan pembelajaran berdiferensiasi seorang guru akan dituntut untuk menyiapkan beberapa materi dan instrumen penilaian sekaligus, sesuai dengan aspek diferensiasi yang akan dipilih/ digunakan. Selain itu, meskipun memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berproses dan membuat produk sesuai keinginan, namun guru tetap harus mengontrol pembelajaran dengan memberikan lembar kerja (LK) yang sama agar pembelajaran tidak terkesan ambyar. Meskipun demikian, pembelajaran berdiferensiasi sangatlah cocok untuk diterapkan, karena dapat menguntungkan dan menajamkan potensi yang dimiliki setiap peserta didik, terlebih lagi untuk peserta didik berkebutuhan khusus yang pembelajarannya berbeda dengan peserta didik lainnya. Tinggal bagaimana kesiapan guru sebagai pendidik untuk dapat memfasilitasinya.

PENERAPAN MODEL PEMEBELAJARAN EFEKTIF DALAM MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA

Oleh : Hesti Wahyuningsih, S. Pd. Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya, guru juga merupakan unsur aparatur Negara dan abdi Negara. Karena itu, guru mutlak perlu mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan sehingga dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan tersebut . Guru menjadi faktor yang menentukan mutu pendidikan karena guru berhadapan langsung dengan para peserta didik dalam proses pembelajaran di kelas. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, melatih, dan mengevaluasikan peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah . Seperti Yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 Bab 1, Pasal 1, Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mempengaruhi peserta didik supaya mampu menyelesaikan diri sebaik mungkin dengan lingkungannya. Pengajaran bertugas mengarahkan proses ini agar sasaran dan perubahan itu dapat tercapai sebagaimana yang diinginkan . Pendidikan selalu berhubungan dengan upaya pembinaan manusia, maka keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada unsur manusianya. Unsur manusia yang paling menentukan berhasilnya pendidikan adalah pelaksana pendidikan yaitu guru. Berdasarkan pandangan tersebut, maka pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang telah sadar akan sisi kemanusiaannya dalam melakukan tugas membimbing, melatih, mengajar 2 dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda.   Berbicara masalah pendidikan, maka kegiatan inti di setiap lembaga pendidikan adalah proses pembelajaran. Proses pembelajaran itu meliputi aktivitas guru dan aktivitas siswa. Pelaksanaan proses pembelajaran, menuntut guru untuk memperhatikan perbedaan individual siswanya, yaitu pada aspek biologis, intelektual dan psikologisnya. Oleh karena itu, tampaklah dua posisi subjek di mana guru bertindak sebagai pihak yang mengajar sekaligus pemegang kunci keberhasilan proses pembelajaran, sedangkan siswa adalah pihak yang belajar untuk mendewasakan diri. Hubungan antara guru dan siswa ini harus didasari oleh hal-hal yang bersifat mendidik dalam rangka pencapaian tujuan.  Belajar pada prinsipnya adalah berbuat atau beraktivitas. Tidak ada belajar jika tidak ada aktivitas. aktivitas merupakan prinsip penting dalam proses pembelajaran. Aktivitas siswa dalam pembelajaran merupakan hal penting dan perlu diperhatikan sehingga belajar yang ditempuh benar-benar memperoleh hasil optimal. Aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat saja, tetapi lebih kompleks dari itu. Aktivitas siswa merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui proses pembelajaran. Semakin tinggi aktivitas belajar siswa, maka semakin tinggi pula peluang berhasilnya pengajaran. Ini berarti kegiatan guru mengajar, harus mampu merangsang siswa melakukan berbagai aktivitas belajar  Kreatifitas upaya Pendidikan pada hakikatnya merupakan Amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, manusia harus mempertanggung jawabkan semua upaya Pendidikan kepadanya-Nya. Oleh karena itu pulalah, setiap upaya Pendidikan tidak hanya dilandasi oleh nilai-nilai yang dihasilkan oleh manusia sebagai hasil renungan dari pengalamannya, lebih jauh nilai-nilai ketuhanan dan untuk menentukan nilai mana yang baik dan tidak baik di dalam Pendidikan  Faktor aktivitas siswa sebagai subjek belajar sangat menentukan, karena dalam proses tersebut siswa tidak hanya sekedar menerima dan menyerap informasi yang disampaikan oleh guru, tetapi siswa terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran, agar hasil belajarnya lebih baik dan sempurna. Peran guru dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa dapat dilakukan dengan memperhatikan cara atau metode mengajar secara tepat, efisien dan efektif. Sebagaimana dikatakan oleh slameto agar siswa dapat menerima,menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran maka guru harus bisa memilih cara yang tepat yang perlu direncanakan dengan baik sebelum memulai proses pembelajaran. Hal ini dikarenakan cara atau metode tersebut merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan guru untuk mempengaruhi aktivitas belajar siswa, yang nantinya dapat meningkatkan kegiatan belajar mengajar dan motivasi belajar siswa. Harapannya upaya yang dilakukan guru dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa benar-benar dapat membantu para siswa dalam memahami materi pelajaran tanpa ada rasa jenuh dan bosan serta bertindak aktif dalam proses pembelajaran tersebut . Proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik dan lancar manakala ada interaksi yang kondusif antara guru dan peserta didik. Komunikasi yang arif dan bijaksana memberikan kesan mendalam kepada para siswa sehingga “teacher oriented” akan berubah 4 menjadi “student oriented”. Guru yang bijaksana akan selalu memberikan peluang dan kesempatan kepada siswanya untuk berkembang. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum baru yang mulai diterapkan pada tahun pelajaran 2013/2014. Kurikulum ini adalah pengembangan dari kurikulum yang telah ada sebelumnya, baik kurikulum berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 maupun kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan pada tahun 2006. Hanya saja yang menjadi titik tekan pada kurikulum 2013 ini adalah adanya peningkatan dan keseimbangan soft skills dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan Pembelajaran. Pada kurikulum 2013 lebih bersifat tematik integratif dalam semua mata pelajaran. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kurikulum 2013 adalah sebuah kurikulum yang dikembangkan untuk meningkatkan dan menyeimbangkan kemampuan soft skills dan hard skills yang berupa sikap, keterampilan, dan pengetahuan . Kurikulum 2013 berusaha untuk lebih menanamkan nilai-nilai yang tercermin pada sikap dapat berbanding lurus dengan keterampilan yang diperoleh siswa melalui pengetahuan dibangku sekolah. Dengan kata lain antara soft skills dan hard skills dapat tertanam secara seimbang, berdampingan dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari. Dengan adanya kurikulum 2013 harapannya siswa dapat memiliki kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan yang meningkat dan berkembang sesuai dengan jenjang pendidikan yang sedang ditempuh siswa Dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana mengelola proses pembelajaran itu secara efektif. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan, dinyatakan bahwa “Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.  Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka prinsip khusus dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran adalah interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan memotivasi. Prinsip-prinsip tersebut oleh Sanjaya3 diuraikan sebagai berikut: Pertama, Interaktif, artinya bahwa mengajar bukan sekadar menyampaikan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, akan tetapi sebagai proses membangun interaksi, baik interaksi antara pendidik dan peserta didik, antara peserta didik dan peserta didik lainnya, … Baca Selengkapnya