Jowonews

Wasiat Misterius di Balik Sejarah Kampung Bustaman Semarang

Kampung Bustaman Semarang

SEMARANG – Warga Kota Semarang dan sekitarnya pasti familiar dengan Kampung Bustaman yang terkenal dengan kegiatan seni budaya dan tradisi yang khas. Setiap menjelang Ramadan, kampung ini meriah dengan acara Gebyuran Bustaman yang melibatkan seluruh masyarakat. Di tengah gang-gang sempit Kampung Bustaman, ada keunikan tersendiri yang bisa ditemui, seperti Wasiat Bustaman yang tersimpan dalam tembok. Surat wasiat ini konon ditulis pada tahun 1938 dan ditetapkan untuk dibuka pada tahun 2030, enam tahun lagi. Tempat ditanamnya surat wasiat ini tak jauh dari Mandi Cuci Kakus (MCK), di tengah-tengah permukiman padat kampung. Pada temboknya terdapat tulisan jelas “Wasiat Bustaman Dibuka 2030” disamping Tetenger Bustaman, sebuah tiang listrik kayu berusia 86 tahun. Isi sebenarnya dari Wasiat Bustaman masih menjadi misteri bagi penduduk setempat. Mereka hanya bisa berspekulasi dan berharap agar surat wasiat tersebut tetap terjaga dengan baik hingga saatnya nanti, sesuai dengan petuah dari pembuatnya. “Kami hanya bisa menebak-nebak. Barangkali pesannya tentang kelestarian budaya, menjaga lingkungan, mempererat silaturahmi, dan memupuk toleransi, nilai-nilai yang telah dijaga di Kampung Bustaman selama ini,” ungkap seorang penduduk Kampung Bustaman dekat Jalan MT. Haryono, Kampung Purwodinatan, Semarang Tengah. Spekulasi ini juga didasarkan pada lokasi strategis Kampung Bustaman yang berdekatan dengan pusat kota. Pada masa akhir penjajahan Belanda, pusat kota Semarang tidak seperti sekarang yang terpusat di Simpang Lima – Tugu Muda, melainkan di sekitar Pasar Johar dan Kota Lama. Para sesepuh kampung diperkirakan ingin menjaga agar Bustaman tetap terjaga dari perubahan menjadi pusat bisnis. “Ada kekhawatiran bahwa kampung bersejarah ini akan mengalami transformasi serupa dengan yang terjadi di kampung-kampung lain yang kini telah berubah menjadi pusat bisnis seperti Gumaya, Sri Ratu, dan Setos,” lanjutnya.

Jejak Sejarah Simpang Lima Semarang Tempo Dulu

Simpang Lima Semarang

SEMARANG – Simpang Lima Semarang, merupakan kawasan yang memiliki fungsi mirip dengan Malioboro di Yogyakarta. Kawasan ini menjadi pusat keramaian penting di Kota Lumpia ini. Lokasinya yang strategis, dikelilingi oleh gedung-gedung pemerintahan dan institusi pendidikan bergengsi, Simpang Lima telah menjadi magnet bagi para pengunjung. Di sini terdapat lima jalan utama yang saling berpotongan, termasuk Jalan Erlangga. Meski jalan Erlangga lebih kecil ukurannya dibandingkan yang lain, tetapi tetap memainkan peran penting yang turut mewarnai dinamika Simpang Lima. Meski demikian keberadaan jalan Erlangga tidak cukup menjadikan kawasan ini mendapatkan julukan “Simpang Enam”. Menariknya, Simpang Lima dulunya hanya memiliki empat persimpangan. Sejarah mencatat bahwa area ini dibangun antara tahun 1965 dan 1969 sebagai respon terhadap ketidakpuasan Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Beliau kecewa dengan kondisi Alun-Alun Kota Semarang saat itu yang dipenuhi pedagang dan terlihat kurang terawat. Presiden menganggap lokasi tersebut tidak pantas menjadi pusat kota dan memerintahkan Pemerintah Kota Semarang untuk membangun alun-alun baru. Lokasi yang dipilih akhirnya menjadi Simpang Lima seperti yang kita kenal sekarang, yang dulunya hanya area rawa dengan tanaman kangkung tanpa bangunan di sekitarnya. Setelah selesai dibangun, Simpang Lima awalnya hanya memiliki empat persimpangan utama, tidak termasuk Jalan Ahmad Dahlan yang kemudian menjadi akses penting ke Rumah Sakit Telogorejo. Jalan Ahmad Dahlan baru dibangun setelah selesainya Gelanggang Olahraga (GOR) Simpang Lima, yang tidak hanya menjadi tempat untuk berbagai kegiatan olahraga tetapi juga panggung bagi para artis dan musisi terkenal pada tahun 1970-an dan 1980-an seperti Fariz RM, Chrisye, Rhoma Irama, dan God Bless. Pada tahun 1990, GOR tersebut dibongkar dan digantikan oleh mal serta Hotel Ciputra, sementara kawasan GOR yang baru dan lebih luas dibangun di Jatidiri. Meskipun GOR Simpang Lima telah hilang, Jalan Ahmad Dahlan, tetap menjadi bagian penting dari identitas Simpang Lima dan ikon kota Semarang. Pada masa ketika Simpang Lima hanya memiliki empat persimpangan, suasana lalu lintasnya tentu berbeda dengan sekarang. Namun, perkembangan ini tidak mengurangi daya tariknya sebagai pusat kegiatan dan identitas kota Semarang.