Jowonews

Arti Serat Wedhatama, Pokok Ajaran Hingga Arti dalam Bahasa Indonesia

Karya sastra Jawa banyak yang memiliki arti filosofis bagi manusia, salah satunya adalah Serat Wedhatama. Serat Wedhatama adalah karya sastra Jawa baru yang sedikit dipengaruhi Agama Islam dan tergolong sebagai karya legendaris.

Pencipta serat ini adalah KGPAA Mangkunegara IV, yang memerintah Praja Mangkunegaran dari 1853 sampai 1881. Serat Wedhatama mengandung banyak ajaran mengenai kehidupan manusia yang masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini.

Serat Wedhatama berisi lima tembang macapat (pupuh) dan terdiri atas 100 bait. Kelima pupuh itu adalah pangkur, sinom, pocung, gambuh, dan kinanthi. Serat tersebut memuat pesan-pesan yang mendorong manusia beretika dalam bersikap.

Wedhatama hanya satu dari beberapa karya Mangkunegara IV. Soetomo Siswokartono, dalam Sri Mangkunagara IV Sebagai Penguasa dan Penyair (2006:257), mencatat sejumlah karya penting lain yang ditulis Mangkunegara IV, yakni Serat Warayagnya, Serat Wirawiyata, Serat Darmawasita, Serat Salokatama, dan Serat Paliatma.

Mengutip ulasan berjudul “Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Serat Wedhatama” yang ditulis Sumarno dalam Jurnal Patrawidya (Vol. 15, No. 2, 2014), sastra Jawa kuno biasanya dibuat oleh kalangan penyair keraton. Serat Wedhatama merupakan salah satu yang paling terkenal.

Kepopuleran Serat Wedhatama bahkan mempengaruhi sejumlah karya seni kontemporer. Sebagai contoh, musikus Gombloh pernah menyertakan sebagian lirik Serat Wedhatama dalam lagu ciptaannya, “Hong Wilaheng.”

Nilai-nilai Jawa dan Islam saling terhubung secara erat dalam Serat Wedhatama. Mangkunegara IV yang tumbuh dalam kebudayaan Jawa dan tradisi Islam kejawen yang kuat menjadi latar belakangnya.

Pesan-pesan seperti menghargai budaya Jawa, dan kewajiban manusia untuk melaksanakan perintah Allah dapat ditemukan dalam Serat Wedhatama.

Naskah asli Serat Wedhatama hingga saat ini disimpan di Perpustakaan Reksapustaka Mangkunegaran di Surakarta.

Arti Serat Wedhatama

Menurut laman Jogja Belajar yang dikelola oleh Balai Tekkomdik DIY, Serat Wedhatama adalah karya sastra yang digubah oleh KGPAA Mangkunegara IV pada abad ke-19. Wedhatama berasal dari kata Wedha dan Tama.

Dalam Kamus Bahasa Jawa-Indonesia, wedha memiliki arti ilmu, pengetahuan. Sedangkan tama berasal dari kata utama yang memiliki arti utama, baik dalam sikap, budi, maupun perilaku.

Secara harfiah, Serat Wedhatama dapat diartikan sebagai serat atau buku yang berisi tentang pengetahuan, nasihat untuk berperilaku, bertindak, dan berkelakuan yang baik. Serat Wedhatama awalnya ditulis KGPAA Mangkunegara IV untuk anak dan keturunannya.

Namun, setelah diketahui bahwa ajaran yang terkandung di dalamnya sangatlah mulia, akhirnya banyak kalangan masyarakat yang menilai bahwa Serat Wedhatama dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran bagi masyarakat umum.

Pokok Ajaran Serat Wedhatama

Dikutip dari Jurnal Kaca Jurusan Ushuluddin STAI Al Fithrah berjudul ‘AJARAN TASAWUF DALAM SERAT WEDHATAMA KARYA KGPAA MANGKUNEGARA IV’ oleh Siswoyo Aris Munandar dan Atika Afifah, ajaran yang terdapat dalam Serat Wedhatama dapat digolongkan menjadi dua, yaitu ajaran untuk kelompok muda dan untuk kelompok tua.

Ajaran untuk kelompok muda meliputi rendah hati, mencari mentor yang baik, tidak tergoda oleh kesenangan dunia, mengendalikan diri, tawakal kepada Tuhan, merasa puas dengan nikmat-Nya, dan pengenalan hakikat.

Sedangkan ajaran untuk kelompok tua meliputi kesabaran, cinta kasih, dan ajaran penghormatan Mangkunegara IV terhadap tubuh, pikiran, jiwa, dan perasaan.

Urutan Isi Serat Wedhatama

Serat Wedhatama mengandung lima tembang macapat (puisi tradisional Jawa) dengan total 100 bait. Berikut ini pembagian dan urutan tembang macapat yang terdapat dalam Serat Wedhatama.
Pangkur (14 pupuh, 1 – 14)
Sinom (18 pupuh, 15 – 32)
Pocung (15 pupuh, 33 – 47)
Gambuh (35 pupuh, 48 – 82)
Kinanthi (18 pupuh, 83 – 100)

Konten dari Serat Wedhatama berupa filsafat kehidupan yang menggabungkan nilai-nilai Jawa dan Islam. Misalnya seperti bagaimana cara menjalankan agama dengan bijak, menjadi manusia yang utuh, dan menjadi orang yang memiliki sifat ksatria.

Terdapat juga beberapa kutipan yang dianggap sebagai kritik terhadap konsep ajaran Islam yang konservatif, yang mencerminkan perjuangan budaya Jawa dengan gerakan penyucian Islam.

Isi Serat Wedhatama

PUPUH I PANGKUR

Mingkar-mingkur ing angkara/
akarana karenan mardi siwi/
sinawung resmining kidung/
sinuba-sinukarta/
mrih kretarta pakartining ilmu luhur/
kang tumrap ing tanah Jawa/
agama ageming Aji//
Menghindar dari kejahatan,
karena senang mendidik anak,
Dibuat dalam bentuk nyanyian yang indah,
Dibuat baik dan indah,
Agar sejahtera pada perilaku ilmu luhur,
yang diterapkan di tanah Jawa,
Agama sebagai pegangan raja.

Jinejer neng wedhatama/
mrih tan kemba kembanganing pambudi/
mangka nadyan tuwa pikun/
yen tan mikani rahsa/
yekti sepa sepi lir sepah asamun/
samangsane pakumpulan/
gonyak-ganyuk nglelingsemi//

Dijelaskan dalam Wedatama,
Agar tidak kendor dalam berusaha,
Padahal walau tua renta,
Kalau tidak mengetahui jiwa,
Sungguh tidak enak seperti ampas tidak berguna,
ada saat pertemuan,
Tidak sopan membuat malu.

Gugu karsane priyangga/
nora nganggo peparah lamun angling/
Lumuh ingaran balilu/
Uger guru aleman/
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu/
Sinamun ing samudana/
Sesadoningadu manis//

Semaunya sendiri,
Tidak memakai aturan kalau berkata,
Tidak mau dikatakan bodoh,
Mengikuti teladan sanjungan,
Tetapi manusia yang sudah bijaksana terhadap simbol
Disamarkan dalam perangainya,
Semuanya diterima dengan baik.

Si pengung nora nglagewa/
Sangsayarda denira cecariwis/
Ngandhar-andhar angendhukur/
Kandhane ora kaprah/
Saya elok alangka longkangipun/
Si wasis waskitha ngalah/
Ngalingi marang si pingging//
Orang yang bodoh tidak menduga,
Semakin meluas dalam berbicara,
Panjang lebar tidak berisi
Perkataannya tidak karuan,
Semakin menjadi-jadi kebohongannya,
Si orang yang pandai bijaksana mengalah,
Menutupi kepada orang yang bodoh.

Mangkono ngelmu kang nyata/
Sanyatane mung weh reseping ati/
Bungah ingaran cubluk/
Sukeng tyas yen den ina/
Nora kaya si punggung anggung gumunggung/
Ugungan sadina-dina/
Aja mangkono wong urip//

Demikian ilmu yang sesungguhnya,
Sesungguhnya hanya memberikan kesenangan di hati,
Senang (jika) dikatakan bodoh,
Senang hatinya jika dihina,
Tidak seperti orang yang bodoh selalu sombong,
Senang disanjung setiap hari,
Janganlah demikian orang hidup itu.

Uripe sepisan rusak/
Nora mulur nalare ting saluwir/
Kadi guwa gung asirung/
Sinerang ing maruta/
Gumarenggeng anggereng anggung gumunggung/
Pindha padhane si mudha/
Prandene kudu kumaki//

Hidupnya sekali saja rusak,
Tidak luas pikirannya bercabang-cabang,
Seperti gua besar yang menakutkan,
Diterjang oleh angin,
Bergema membahana menakutkan,
Itu sama ibaratnya dengan si bodoh,
Namun demikian sangat sombong.

Kikisane mung sapala/
Palayune ngandelken yayah bibi/
Bangkit tata-basa luhur/
Telesih tatakrama/
Balik sira sarawungan bae durung/
Wruh atining tatakrama/
Nggon-anggon agama suci//

Perbatasannya hanya sedikit,
Akhirnya mengandalkan ayah ibunya,
Pandai berbahasa halus,
Cermat tatakramanya,
Sebaliknya dirimu kenal saja belum,
Mengetahui inti tatakrama,
penerapannya agama suci.

Socaning jiwangganira/
Jer katara lamun pocapan pasthi/
Lumuh kasor kudu unggul/
Sumengguh sesongaran/
Yen mangkana kena ingaran katungkul/
karem ing reh kaprawiran/
Nora enak iku kaki//

Mata hati dalam jiwamu,
Pasti selalu kelihatan kalau berbicara,
Tidak mau kalah harus menang,
Merasa bisa menyombongkan diri,
Kalau demikian itu dapat disebut terlena,
Senang terhadap kesaktian,
Tidak enak itu nanda.

Kekerane ilmu karang/
Kekarangan saking bangsaning gaib/
Iku boreh paminipun/
Tan rumasuk ing jasad/
Among aneng sajabaning daging kulup/
Yen kapengkok pancabaya/
Ubayane balenjani//

Tempatnya ilmu tebakan,
Karangan dari yang gaib,
Itu bedak param umpamanya,
Tidak masuk ke dalam badan,
Hanya di luar daging saja nanda,
Kalau terkena bencana,
Akhirnya mengingkari.

Marma ing sabisa-bisa/
Bebasane muriha tyas basuki/
Puruhita ingkang patut/
Lan traping angganira/
Ana uga angger ugering kaprabun/
Abon-aboning panembah/
Kang kambah ing siyang ratri//

Oleh sebab itu sedapat mungkin,
Ibaratnya berusahalah agar hati selamat,
Mengabdilah dengan baik,
Sesuai dengan keadaan dirimu,
Ada juga norma pedomannya kerajaan,
Awalnya sembah,
Yang dilakukan siang malam.

Iku kaki takokena/
Marang para sarjana kang maratapi/
Mring tapaking tepa tulus/
Kawawa nahan hawa/
Wruhanira mungguh sanyataning ilmu/
Tan pasthi neng janma wredha/
Tuwin mudha sudra kaki//

Itu nanda tanyakanlah,
Kepada para bijak yang bertapa,
Terhadap perilaku tulus ikhlas,
Mampu menahan hawa nafsu,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ilmu
Tidak pasti ada pada orang tua,
Serta muda (maupun) hina nanda.)

Sapantuk wahyuning Allah/
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit/
Bangkit mikat reh mangukud/
Kukutaning jiwangga/
Yen mangkono kena ingaranan sepuh/
Lire sepuh sepi hawa/
Awas roroning atunggil//

Siapa yang mendapat anugerah Tuhan,
Akan pandai menerapkan ilmu yang baik,
Mampu menarik perintah kesempurnaan,
Lepasnya jiwa raga,
Kalau demikian itu dapat disebut orang tua,
Maksudnya tua sudah jauh dari hawa nafsu,
Mengetahui “dwi tunggal”.

Tan samar pamoring Suksma/
Sinuksamaya winahya ingasepi/
Sinimpen telenging kalbu/
Pambukaning warana/
Tarlen saking liyep layaping aluyup/
Pindha pesating supena/
Sumusup ing rasa jati//

Tidak samar bersatunya hamba-tuhan,
Diresapi dengan rasa yang khususk,
Disimpan di tengah kalbu,
Sebagai pembuka pintu penyekat,
Tidak lain dengan cara transenden,
Seperti melesatnya mimpi,
Menyusup dalam rasa sejati.

Sajatine kang mangkana/
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi/
Bek alaming asuwung/
Tan karem karameyan/
Ingkang sifat wisesa winisesa wus/
Mulih mula mulanira/
Mulane wong anom sami//

Sesungguhnya yang demikian itu,
Sudah memperoleh anugerah Tuhan,
Berwatak dalam dunia hening,
Tidak suka keramaian,
Yang bersifat kuasa dan menguasai sudah,
Kembali kepada asal-muasalnya,
Maka anak muda semuanya.

PUPUH II SINOM

Mingkar-mingkur ing angkara/
akarana karenan mardi siwi/
sinawung resmining kidung/
sinuba-sinukarta/
mrih kretarta pakartining ilmu luhur/
kang tumrap ing tanah Jawa/
agama ageming Aji//
Menghindar dari kejahatan,
karena senang mendidik anak,
Dibuat dalam bentuk nyanyian yang indah,
Dibuat baik dan indah,
Agar sejahtera pada perilaku ilmu luhur,
yang diterapkan di tanah Jawa,
Agama sebagai pegangan raja.

Jinejer neng wedhatama/
mrih tan kemba kembanganing pambudi/
mangka nadyan tuwa pikun/
yen tan mikani rahsa/
yekti sepa sepi lir sepah asamun/
samangsane pakumpulan/
gonyak-ganyuk nglelingsemi//

Dijelaskan dalam Wedatama,
Agar tidak kendor dalam berusaha,
Padahal walau tua renta,
Kalau tidak mengetahui jiwa,
Sungguh tidak enak seperti ampas tidak berguna,
ada saat pertemuan,
Tidak sopan membuat malu.

Gugu karsane priyangga/
nora nganggo peparah lamun angling/
Lumuh ingaran balilu/
Uger guru aleman/
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu/
Sinamun ing samudana/
Sesadoningadu manis//

Semaunya sendiri,
Tidak memakai aturan kalau berkata,
Tidak mau dikatakan bodoh,
Mengikuti teladan sanjungan,
Tetapi manusia yang sudah bijaksana terhadap simbol
Disamarkan dalam perangainya,
Semuanya diterima dengan baik.

Si pengung nora nglagewa/
Sangsayarda denira cecariwis/
Ngandhar-andhar angendhukur/
Kandhane ora kaprah/
Saya elok alangka longkangipun/
Si wasis waskitha ngalah/
Ngalingi marang si pingging//
Orang yang bodoh tidak menduga,
Semakin meluas dalam berbicara,
Panjang lebar tidak berisi
Perkataannya tidak karuan,
Semakin menjadi-jadi kebohongannya,
Si orang yang pandai bijaksana mengalah,
Menutupi kepada orang yang bodoh.

Mangkono ngelmu kang nyata/
Sanyatane mung weh reseping ati/
Bungah ingaran cubluk/
Sukeng tyas yen den ina/
Nora kaya si punggung anggung gumunggung/
Ugungan sadina-dina/
Aja mangkono wong urip//

BACA JUGA  Mengenal Tulisan Aksara Jawa atau Hanacaraka

Demikian ilmu yang sesungguhnya,
Sesungguhnya hanya memberikan kesenangan di hati,
Senang (jika) dikatakan bodoh,
Senang hatinya jika dihina,
Tidak seperti orang yang bodoh selalu sombong,
Senang disanjung setiap hari,
Janganlah demikian orang hidup itu.

Uripe sepisan rusak/
Nora mulur nalare ting saluwir/
Kadi guwa gung asirung/
Sinerang ing maruta/
Gumarenggeng anggereng anggung gumunggung/
Pindha padhane si mudha/
Prandene kudu kumaki//

Hidupnya sekali saja rusak,
Tidak luas pikirannya bercabang-cabang,
Seperti gua besar yang menakutkan,
Diterjang oleh angin,
Bergema membahana menakutkan,
Itu sama ibaratnya dengan si bodoh,
Namun demikian sangat sombong.

Kikisane mung sapala/
Palayune ngandelken yayah bibi/
Bangkit tata-basa luhur/
Telesih tatakrama/
Balik sira sarawungan bae durung/
Wruh atining tatakrama/
Nggon-anggon agama suci//

Perbatasannya hanya sedikit,
Akhirnya mengandalkan ayah ibunya,
Pandai berbahasa halus,
Cermat tatakramanya,
Sebaliknya dirimu kenal saja belum,
Mengetahui inti tatakrama,
penerapannya agama suci.

Socaning jiwangganira/
Jer katara lamun pocapan pasthi/
Lumuh kasor kudu unggul/
Sumengguh sesongaran/
Yen mangkana kena ingaran katungkul/
karem ing reh kaprawiran/
Nora enak iku kaki//

Mata hati dalam jiwamu,
Pasti selalu kelihatan kalau berbicara,
Tidak mau kalah harus menang,
Merasa bisa menyombongkan diri,
Kalau demikian itu dapat disebut terlena,
Senang terhadap kesaktian,
Tidak enak itu nanda.

Kekerane ilmu karang/
Kekarangan saking bangsaning gaib/
Iku boreh paminipun/
Tan rumasuk ing jasad/
Among aneng sajabaning daging kulup/
Yen kapengkok pancabaya/
Ubayane balenjani//

Tempatnya ilmu tebakan,
Karangan dari yang gaib,
Itu bedak param umpamanya,
Tidak masuk ke dalam badan,
Hanya di luar daging saja nanda,
Kalau terkena bencana,
Akhirnya mengingkari.

Marma ing sabisa-bisa/
Bebasane muriha tyas basuki/
Puruhita ingkang patut/
Lan traping angganira/
Ana uga angger ugering kaprabun/
Abon-aboning panembah/
Kang kambah ing siyang ratri//

Oleh sebab itu sedapat mungkin,
Ibaratnya berusahalah agar hati selamat,
Mengabdilah dengan baik,
Sesuai dengan keadaan dirimu,
Ada juga norma pedomannya kerajaan,
Awalnya sembah,
Yang dilakukan siang malam.

Iku kaki takokena/
Marang para sarjana kang maratapi/
Mring tapaking tepa tulus/
Kawawa nahan hawa/
Wruhanira mungguh sanyataning ilmu/
Tan pasthi neng janma wredha/
Tuwin mudha sudra kaki//

Itu nanda tanyakanlah,
Kepada para bijak yang bertapa,
Terhadap perilaku tulus ikhlas,
Mampu menahan hawa nafsu,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya ilmu
Tidak pasti ada pada orang tua,
Serta muda (maupun) hina nanda.)

Sapantuk wahyuning Allah/
Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit/
Bangkit mikat reh mangukud/
Kukutaning jiwangga/
Yen mangkono kena ingaranan sepuh/
Lire sepuh sepi hawa/
Awas roroning atunggil//

Siapa yang mendapat anugerah Tuhan,
Akan pandai menerapkan ilmu yang baik,
Mampu menarik perintah kesempurnaan,
Lepasnya jiwa raga,
Kalau demikian itu dapat disebut orang tua,
Maksudnya tua sudah jauh dari hawa nafsu,
Mengetahui “dwi tunggal”.

Tan samar pamoring Suksma/
Sinuksamaya winahya ingasepi/
Sinimpen telenging kalbu/
Pambukaning warana/
Tarlen saking liyep layaping aluyup/
Pindha pesating supena/
Sumusup ing rasa jati//

Tidak samar bersatunya hamba-tuhan,
Diresapi dengan rasa yang khususk,
Disimpan di tengah kalbu,
Sebagai pembuka pintu penyekat,
Tidak lain dengan cara transenden,
Seperti melesatnya mimpi,
Menyusup dalam rasa sejati.

Sajatine kang mangkana/
Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi/
Bek alaming asuwung/
Tan karem karameyan/
Ingkang sifat wisesa winisesa wus/
Mulih mula mulanira/
Mulane wong anom sami//

Sesungguhnya yang demikian itu,
Sudah memperoleh anugerah Tuhan,
Berwatak dalam dunia hening,
Tidak suka keramaian,
Yang bersifat kuasa dan menguasai sudah,
Kembali kepada asal-muasalnya,
Maka anak muda semuanya.

PUPUH III POCUNG

Ngelmu iku kalakone kanthi laku/
lekase lawan kas/
tegese kas nyantosani/
setya budya pangekesing dur angkara//

Ilmu itu tercapainya dengan proses
awalnya dengan niat yang keras
artinya keras membuat bersemangat
setia berusaha menghancurkan kejahatan

Angkara gung/
neng angga anggung gumulung/
gegolonganira/
tri loka lekere kongsi/
yen den umbar ambabar dadi rubeda//

Kejahatan besar
di badan berusaha diatasi
penggolongannya
sampai tiga dunia secara bulat
kalau dibiarkan berkembang menjadi penghambat.

Beda lamun wus sengsem rehing asamun/
Semune ngaksama/
Sasamane bangsa sisip/
Sarwa sareh saking Mardi martotama//

Berbeda kalau sudah senang pada keheningan,
Tampaknya memaafkan,
Semua kesalahan sesama,
Serba sabar karena berwatak utama.

Tuman limut durgameng tyas kang weh limput/
karem ing karamat/
karana karoban ing sih/
sihing sukma ngrebda saardi gengira/

Terbiasa meredam gelora hati yang membuat terlena,
senang pada keramat,
karena dipenuhi kasih,
kasih Tuhan berkembang sebesar gunung.

Yeku patut tinulad tulad tinurut/
sapituduhira/
aja kaya jaman mangkin/
keh pra muda mundi dikir lapal makna//

Itu pantas diteladani dan diikuti
segala petunjuknya
jangan seperti jaman sekarang
banyak pemuda memuja bacaan zikir dan artinya

Durung pecus kasusu kaselak besus/
amaknani lapal/
kaya sayid weton Mesir/
pendhak-pendhak angendhak gunaning janma//

Belum mampu tergesa-gesa ingin tampak bagus
dalam memberikan makna bacaan
seperti ahli agama dari Mesir
setiap saat merendahkan kepandaian orang

Kang kadyeku kalebu wong ngaku-aku/
akale alangka/
eloke jaman den mohi/
paksa ngangkah amet kawruh saking Mekah//

Yang seperti itu termasuk orang yang mengaku diri
akalnya tidak ada
keajaiban jaman ditolak
memaksakan diri menggapai pengetahuan dari Mekah

Nora weruh rosing rasa kang rinuruh/
lumeket ing ngangga/
anggere pada marsudi/
kana kene kahanane nora beda//

Tidak mengetahui inti rasa yang dicari
melekat di badan
asalkan semua mencari
disana sini keadaannya tidak berbeda

Uger lugu denta mrih pralebdeng kalbu/
yen Kabul kabuka/
ing drajat kajating urip/
kaya kang wus winahyeng sekar Srinata//

Asalkan lugas dalam berupaya menyempurnakan hati
kalau tercapai akan terbuka
pada derajat tujuan hidup
seperti yang sudah disampaikan dalam tembang sinom

Basa ilmu mupakate lan panemu/
pasahe lan tapa/
yen satriya Tanah jawi/
kuna-kuna kang ginilut tri prakara//

Tentang ilmu cocok dengan pendapat
manjurnya dengan bertapa
kalau satria Jawa
zaman daulu yang dipelajari 3 perkara

Lila lamun kelangan nora gegetun/
trima yen kataman/
sakeserik sameng dumadi/
tri legawa nalongsa srah ing Bathara//

Ikhlas kalau kehilangan tidak menyesal
menerima kalau terkena
fitnah sesama makhluk
ketiga tulus ikhlas menderita berserah kepada Tuhan

Bathara gung inguger jroning jejantung/
jenek Hyang Wisesa/
pasenedan papan suci/
nora kaya si mudha mudhar angkara//

Tuhan yang maha Besar diikat dalam jantung
senang terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa
sebagai tempat berlindung yang suci
tidak seperti si bodoh mengumbar kejahatan

Nora uwus kareme anguwus-uwus/
uwuse tan ana/
mung janjine muring-muring/
kaya buta buteng betah nganiaya//

Tidak berhenti kesenangannya mencela
maknanya tidak ada
hanya janjinya marah-marah
seperti raksasa murka suka menganiaya

Sakeh luputing angga tansah linimput/
linimpet ing sabda/
narka tan ana udani/
lumuh ala hardhane ginawe gada//

Semua kesalahan dalam diri selalu dilupakan
dibungkus dengan perkataan
menyangka tidak ada yang mengetahui
tidak mau jelek kemarahannya sebagai senjata

Durung punjul ing kawruh kaselak jujul/
kaseselan hawa/
cupet kapepetan pamrih/
tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa//

Belum berlebih ilmunya tergesa-gesa ingin unggul
Diselipi hawa nafsu
Tidak mampu menggapai karena tertutup ditutupi maksud lain
mustahil ingin mengetahui Tuhan Yang Maha Kuasa

PUPUH IV GAMBUH

Samengko ingsun tutur/
sembah catur supaya lumuntur/
dhingin raga cipta jiwa rasa kaki/
ing kono lamun tinemu/
tandha nugrahaning Manon//

Sekarang saya berkata
Empat sembah agar diketahui
pertama ragakeduacipta ketiga jiwa, dan
keempata rasa nanda
di situ jika ditemukan
pertanda anugerah Tuhan

Sembah raga puniku/
pakartine wong amagang laku/
sesucine sarana saking ing warih/
kang wis lumrah limang wektu/
wantu wataking wewaton//

Sembah raga yaitu
perbuatan orang mengabdi dengan perilaku
bersucinya dengan cara air
yang sudah biasa salat 5 waktu
dasar sifat nya sebagai pedoman

Ing nguni-uni durung/
sinarawung wulang kang sinerung/
lagi iki bangsa kas metokken anggit/
mintonken kawignyanipun/
sariate elok-elok//

Pada jaman dahulu belum
dikenal ajaran yang dirahasiakan
baru sekarang perihal kas mengeluarkan tulisan
memperlihatkan kepandaiannya
syariatnya bagus-bagus

Thik-thik kaya santri Dul/
gajeg kadi santri sabrang kidul/
saurute Pacitan pinggir pasisir/
ewon kang padha guguru/
anggere padha nyalemong//

Sedikit-sedikit seperti santriDul
tampaknya seperti santri sebelah selatan
sepanjang Pacitan tepi pantai
ribuan yang mengikuti
asalkan setiap bicara
Kasusu arsa weruh/
cahyaning Hyang kinira den kawruh/
ngarep-arep kurup arsa den kurebi/
tan weruh yen urip iku/
akale kaliru enggon//

Tergesa-gesa ingin mengetahui
cahaya Tuhan dikira dapat diketahui
mengharapkan hasil akan dikuasai
tidak tahu kalau hidup itu
akalnya salah tempat

Yenta jaman rumuhun/
tata titi tumrah tumaruntun/
bangsa srengat tan winor lan laku batin/
dadi nora duwe bingung/
kang padha nembah Hyang Manon//

Kalau jaman dahulu
Disusun secara teliti dengan teratur
masalah syariat tidak dicampur dengan laku batiniah
jadi tidak memiliki kebingungan
mereka yang menyembah Tuhan

Lire saringat iku/
kena uga ingaranan laku/
dhihin ajeg kapindhone ataberi/
pakolehe putraningsun/
nyenyeger badan mrih kaot//

Maksudnya syariat itu
dapat juga dinamakan jalan
pertama teratur kedua tekun
manfaatnya anakku
menyegarkan badan agar lebih

Wong seger badanipun/
otot daging kulit balung sungsum/
tumrah ing rah memarah antenging ati/
antenging ati nenungku/
angruwat ruweding batos//

Orang yang segar badannya
otot daging kulit tulang sungsum
sampai pada darah membuat hati tenang
tenangnya hati selanjutnya
meredakankekacauan batin

Mangkono mungguh ingsun/
ananging ta sarehne asnapun/
beda-beda panduk panduming dumadi/
sayektine nora jumbuh/
tekad kang padha linakon//

Demikian kalau saya
tetapi karena asnapun
berbeda-beda masing-masing orang
sesungguhnya tidak sesuai
keinginan yang dilakukan

Nanging ta paksa tutur/
rehning tuwa tuwase mung catur
bok lumuntur lantarane ring utami/
sing sapa temen tinemu/
nugraha geming kaprabon//

Tetapi terpaksa menasihati
Oleh karena tua bisanya hanya berkata
Barangkali menular sebagai jalan menuju keutamaan
barang siapa bersungguh akan menemukan
anugerah untuk dipakai di kerajaan

Samengko sembah kalbu/
yen lumintu uga dadi laku/
laku agung kang kagungan Narapati/
patitis teteping kawruh/
meruhi marang kang momong//

Sekarang sembah kalbu
kalau sungguh-sungguh juga menjadi laku
laku besar yang memilikinya hanyalah Raja
cermat atas ketetapan ilmu
mengetahui kepada yang mengasuh

Sucine tanpa banyu/
amung nyenyuda hardaning kalbu/
pambukane tata-titi ngati-ati/
atetep telaten atul/
tuladan marang waspaos//

Sucinya tidak dengan air
hanya mengurangi nafsu di hati
pembukaannya teratur teliti dan hati-hati
tetap tekun lemah lembut
teladan terhadap kebijaksanaan

Mring jatining pandulu/
panduking don dedalan satuhu/
lamun lugu legutaning reh maligi/
lagiyane tumalawung/
wenganing alam kinaot//

Terhadap penglihatan sesungguhnya
manfaatnya sebagai jalan sesungguhnya
kalau wajar
kebiasaannya menerawang
terbukanya alam yang lebih

Yen wus kambah kadyeku/
sarat sareh saniskareng laku/
kalakone saka eneng ening eling/
ilange rasa tumlawung/
kono adiling Hyang Manon//

Kalau sudah melalui seperti itu
dengan syarat sabar segala tindakannya
tercapainya dengan diam, hening dan ingat
hilangnya rasa terang benderang
disitu keadilan Tuhan

BACA JUGA  Ukara Tanduk dalam Bahasa Jawa dan Beberapa Contohnya

Gagare ngunggar kayun/
tan kayungyun mring hayuning kayun/
bangsa anggit yen ginigit nora dadi/
marma den awas den emut/
mring pamurunging lelakon//

Gagalnya mengumbar kehendak
tidak terpikat terhadap selamat segala
masalah tulisan kalau digigit tidak jadi
maka harap cermat dan ingat
terhadap yang mengggagalkan kejadian

Samengko kang tinutur/
sembah katri kang sayekti katur/
mring Hyang Suksma/
suksmanen saari-ari/
arahen dipun kacakup/
sembahingjiwa sutengong//

Sekarang yang dikatakan
sembah ketiga yang sesunggunya diberikan
kepada Tuhan
camkan sehari-hari
raihlah agar menguasai
sembahnya jiwa anakku

Sayekti luwih prelu/
ingaranan pepuntoning laku/
kalakuwan kang tumrap bangsaning batin/
sucine lan awas emut/
mring alaming alam maot//

Sungguh lebih penting
dinamakan akhir perjalanan
tindakan yang ada tentang batin
sucinya dengan waspada dan ingat
terhadap alamnya yang sangat

Ruktine ngangkah ngukut/
ngiket ngruket tri loka kakukud/
jagad agung ginulung lan jagad alit/
den kandel kumandel kulup/
lan kalaping alam kono//

Perawatannya dengan usaha mencapai
mengikat erat 3 tempat dikuasai
alam besar digulung dengan alam kecil
harap dengan mantap anakku
terhadap manfaat alam itu

Keleme mawa limut/
kalamatan jroning alam kanyut/
sanyatane iku kanyatahan kaki/
sajatine yen tan emut/
sayekti tan bisa amor//

Tenggelamnya dengan selimut
terhalangi dalam alam kematian
sesungguhnya itu kenyataan nanda
sesungguhnya kalau tidak ingat
sungguh tidak dapat menyatu

Pamete saka luyut/
sarwa sareh saliring panganyut/
lamun yitna kayitnan kang mitayani/
tarlen mung pribadinipun/
kang katon tinonton kono//

Pengambilannya dari luyut
serba sabar segala pikiran
kalau waspada kewaspadaan yang bermanfaat
tidak lain hanya dirinya sendiri
yang kelihatan dilihat disitu

Nging aywa salah surup/
kono ana sajatining urub/
yeku urup pangarep uriping budi/
sumirat sirat narawung/
kadya kartika katonton//

Tetapi jangan salah paham
disitu ada sejatinya cahaya
yaitu cahaya harapan hidupnya pikiran
berkilau terang bercahaya
seperti bintang kelihatannya

Yeku wenganing kalbu/
kabuka ta kang wengku-winengku/
wewengkone wis kawengku ing sireki/
nging sira uga winengku/
mring kang pindha kartika byor//

Itulah terbukanya kalbu
terbukalah yang saling kuasa menguasai
kekuasaannya sudah dikuasai olehmu
tetapi kamu juga dikuasai
oleh yang seperti bintang bercahaya

Samengko ingsun tutur/
gantya sembah ingkang kaping catur/
sembah rasa karasa rosing dumadi/
dadine wus tanpa tuduh/
mung kalawan kasing batin//

Sekarang saya berkata
berganti sembah yang keempat
sembah rasa terasa inti kehidupan
jadinya sudah tidak dengan petunjuk
hanya dengan kasnya batin

Kalamun durung lugu/
aja pisan wani ngaku-aku/
antuk siku kang mangkono iku kaki/
kena uga wenang muluk/
kalamun wus padha melok//

Kalau belum lugu
jangan sekali-sekali mengaku diri
mendapat hukuman yang demikian itu nanda
boleh juga berwenang terkenal
kalau sudah semua mengetahui

Meloke ujar iku/
kudu santosa ing budi teguh/
sarta sabar tawakal legaweng ati/
iku den awas den emut/
den memet yen arsa momot//

Ketahuannya perkataan itu
harus kuat dalam pikiran teguh
serta sabar tawakal tulus dihati
yang penuh perhitungan kalau ingin
menguasai semua

Pamote ujar iku/
yen wus ilang sumelanging kalbu/
amung kandel kumandel ngandel ing takdir/
trima lila ambek sadu/
weruh wekasing dumados//

Penguasaan perkataan itu
kalau sudah hilang kawatirnya kalbu
hanya tebal sangat percaya kepada takdir
menerima apa adanya ikhlas berwatak baik
mengetahui pesan makhluk hidup

Sabarang tindak-tanduk/
tumindake lan sakadaripun/
den ngaksama kasisipaning sesami/
sumimpanga ing laku dur/
ardaning budi kang ngradon//

Segala tingkah laku
tindakannya dengan sahaja
memaafkan terhadap kesalahan orang lain
hindarilah terhadap tindakan jahat
kemarahan pikiran yang menyelimuti

Dadya wruh iya dudu/
yeku minangka pandaming kalbu/
ingkang ambuka ing kijabullah gaib/
sesengkeran kang sinerung/
dumunung telenging batos//

Menjadikan tahu yang bukan/salah
itu sebagai pedoman kalbu
yang membuka kepada kijabullah gaib
rahasia yang disimpan
berada di tengah hati

Rasaning urip iku/
krana momor pamoring sawujud/
wujudullah sumrambah alam sakalir/
lir manis kalawan madu/
endi anane ing kono//

Rasa hidup itu
karena bersatunya satu wujud
wujudullah (wujud Allah) berada di alam
semuanya
ibarat manis dengan madu
mana adanya di situ

Endi manis ndi madu/
yen wus bisa nuksmeng pasang semu/
pasamuwaning hep Ingkang Maha Suci/
kasikep ing tyas kacakup/
kasatmata lair batos//

Mana manis mana madu
kalau sudah dapat menyelaminya
pertemuannya air yang Maha suci
dipeluk dalam hati terselimuti
kelihatan lahir batin

Ing batin tan kaliru/
kedhap kilat liniling ing kalbu/
kang minangka colok celaking Hyang Widhi/
widadaning budi sadu/
pandak panduking lir wenggon//

Dalam batin tidak salah
sekejap kilat dilihat dalam kalbu
yang sebagai penerang dekatnya Tuhan
keselamatan pikiran baik
tempat dan penerapannya seperti tempat air

Gonira mamrih tulus/
kalaksitaning reh kang ginuruh/
gyanira mrih wiwal warananing gaib/
paran ta lamun tan weruh/
sasmita jatining endhog//

Tempat agar tulus
kebaikan tindakan yang diguru
didalam agar lepas tutupnya gaib
bagaimanakah kalau tidak tahu
simbol sesungguhnya telur

Putih lan kuningipun/
lamun arsa titah teka mangsul/
dene nora mantra-mantra yen ing lair/
bisaa aliru wujud/
kadadiyane ing kono//

Putih dan kuningnya
kalau akan lahir mengapa kembali
adapun tidak mengira kalau dalam lahir
dapatlah bertukar wujud
kejadian di situ

Istingarah tan metu/
lawan istingarah tan lumebu/
dening jro wekasane dadi ing jawi/
rasakena kang tuwajuh/
aja kongsi kabesturon//

Keinginannya tidak keluar
dan keinginannya tidak masuk
adapun dalam akhirnya menjadi di luar
rasakan dengan benar-benar
jangan sampai lalai

Karana ye kebanjur/
kajantaka tumekeng Saumur/
tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi/
dadi wong ina tan weruh/
dheweke den anggep dhayoh//

Karena kalau terlanjur
dihukum seumur hidupnya
tidak berguna kalau terlahirkan
menjadi orang hina tidak mengetahui
dirinya dianggap tamu

PUPUH V KINANTHI

Mangka kanthining tumuwuh/
salami mung awas eling/
eling lukitaning alam/
dadya wiryaning dumadi/
supadi nir ing sangsaya/
yeku pangreksaning urip//

Sebagai bekalnya mahluk hidup
selamanya hanyalah waspada dan ingat
ingat penciptanya alam
menjadi kejayaan hidup
agar hilag kesengsaraannya
itulah penjaganya hidup

Marma den taberi kulup/
angulah lantiping ati/
rina wengi den anedya/
pandak panduking dumadi/
bengkas kahardaning driya/
supadya dadya utami//

Maka hendaklah suka anakku
melatih ketajaman hati
siang malam berharaplah
perilaku makhluk hidup
menghancurkan hawa nafsu
agar menjadi utama

Pangasahe sepi samun/
aywa esah ing salami/
samasa wis kawistara/
landhepe amingis-mingis/
pasah wukir reksamuka/
kekes srabedaning budi//

Pelatihannya dalam sepi hening
jangan pisah selamanya
sewaktu sudah kelihatan
tajamnya amat sangat
dijatuhkan di gunung reksamuka
dingin …. Hati

Dene awas tegesipun/
warah warnaning ngaurip/
miwah wisesaning tunggal/
kang atunggil rina wengi/
kang mukitani sakarsa/
gemelar alam sakalir//

Adapun awas artinya
ajaran warnanya hidup
serta keuasaannya tunggal
yang bersatu siang dan malam
yang mukitani kehendak
terbentang alam semua

Aywa sembrana ing kalbu/
wawasen wuwusireki/
ing kono yekti karasa/
dudu ucape pribadi/
marma den sambadeng sedya/
wewesen praptaning uwis//

Jangan ceroboh dalam kalbu
perhatikan perkataanmu
di situ pasti terasa
bukan ucapaan sendiri
maka harus kuat niatnya
perhatikan datangnya yang sudah

Sirnakna semanging kalbu/
den waspada ing pangeksi/
yeku dalaning kasidan/
sinuda saking sathithik/
pamothahing napsu hawa/
linalatih amrih titih//

Hilangkan keraguan hatihendakah
waspada pada penglihatan
itulah jalannya kematian
dikurangi dari sedikit
keinginan hawa nafsu
dilatih biar terbiasa

Aywa mamatuh nalutuh/
tanpa tuwas tanpa kasil/
kasalibuk ing srabeda/
marma dipun ngati-ati/
urip keh rencananira/
sambekala den kaliling//

Jangan membiasaan mencela
tidak berguna tidak berhasil
terjerumus oleh godaan
maka hendaklah hati-hati
hidup banyak rintangannya
bahaya hendaknya diketahui

Upamane wong lumaku/
marga gawat den liwati/
lamun kurang ing pangarah/
sayekti kerendet ing ri/
apese kesandhung padhas/
babak bundhas anemahi/

Seumpama orang berjalan
jalan berbahaya dilalui
jika kurang waspada
sungguh tersangkut duri
paling tidak tersandung batu
akhirnya luka parah

Lumrah bae yen kadyeku/
atetamba yen wus bucik/
duweya kawruh sabodhag/
yen tan nyartani ing kapti/
dadi kawruhe kinarya/
ngupaya kasil lan melik//

Wajar saja kalau seperti itu
berobat jika sudah luka
meski punya ilmu banyak
kalau tidak disertai oleh niat
jadi ilmunya digunakan
mencari hasil dan tujuan tertentu

Meloke yen arsa muluk/
muluk ujare lir wali/
wola-wali nora nyata/
anggepe pandhita luwih/
kaluwihane tan ana/
kabeh tandha-tandha sepi//

Kelihatannya kalau akan makan
makan perkataannya seperti ulama
berulang kali tidak nyata
menganggap dirinya pendita lebih
kelebihannya tidak ada
semua tanda tanda kosong

Kawruhe mung ana wuwus/
wuwuse gumaib-gaib/
kasliring thithik tan kena/
mancereng alise gathik/
apa pandhita antiga/
kang magkono iku kaki//

Pengetahuannya hanya pada perkataan
bicaranya digaib-gaibkan
dikritik sedikit tidak boleh
melotot alisnya menyatu
apakah pandita antiga
yang demikian itu anak

Mangka ta kang aran laku/

lakune ilmu sejati/

tan dahwen patiopenan/

tan panasten ora jail/

tan anjurung ing kahardan/

amung eneng amrih ening//

Padahal yang dinamakan laku
jalannya ilmu sejati
tidak banyak bicara dan tidak iri
tidak panas hati tidakdengki
tidak mengumbar pada nafsu
hanya diam agar hening

Kaunang ing budi luhung/

bangkit ajur-ajer kaki/

yen mangkono bakal cikal/

thukul wijining utami/

nadyan bener kawruhira/

yen ana kang nyulayani//

Terkenalnya budi yang baik
mampu adaptasi ananda
jika demikian itu awal mula
tumbuh benih keutamaan
walau benar pengetahuanmu
kalau ada yang menolak

Tur kang nyulayani iku/

wus wruh yen kawruhe nempil/

nanging laire angalah/

katingala angemori/

mung ngenaki tyasing liyan/

aywa esak aywa serik//

Lagipula yang membantah itu
sudah tahu kalau pengetahuannya minta
tetapi pada lahirya mengalah
agar kelihatan membaur
hanya membuat enak hati orang lain
jangan iri jangan dengki

Yeku ilapating wahyu/

yen yuwana ing salami/

marga wimbuhing nugraha/

saking Hep Kang Maha Suci/

cinancang pucuking cipta/

nora ucul-ucul kaki//

Yaitu ilafatnya wahyu
kalau selamat selamanya
sebagai jalan bertambahnya anugerah
dari Tuhan Yang Maha Suci
diikat dipuncak cipta/pikiran
tidak akan lepas ananda

Mangkono kang wus tinamtu/

tampa nugrahaning Widhi/

marma ta kulub den bisa/

ambusuki jaring jarmi/

pakoleh lair batinnya/

iyeku budi premati//

Demikian itu yang sudah ditentukan
menerima anugerahnya Tuhan
maka nanda hendaknya dapat
mengikuti perkataan orang
memperoleh/berguna lahir batinnya
yaitu hati dan pikiran yang cermat

Pantes tinulad tinurut/
laladane mrih utami/
utawa kembanging mulya/
kamulyaning jiwa dhiri/
ora ta yen ngeplekana/
lir leluhur nguni-uni//

Pantas diteladani dan diikuti
jalannya agar utama/mulia
atau bunganya mulia
kemuliaan jiwa sendiri
tidaklah mungkin kalau sama persis
seperti leluhur yang dahulu

Ananging ta kudu-kudu/
sakadarira pribadi/
aywa tinggal tetuladan/
lamun tan mangkono kaki/
yekti tuna ing tumitah/
poma kaestokna kaki///

Tetapi selalu ingin
semampunya sendiri
jangan meninggalkan teladan
jika tidak demikian nanda
sungguh rugi diciptakan
sungguh laksanakanlah ananda.

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait