Jowonews

Apitan, Tradisi Sedekah Bumi Peninggalan Wali Songo Sebagai Wujud Rasa Syukur

Tradisi sedekah bumi merupakan tradisi yang lumrah dilakukan sebagian masyarakat Jawa. Salah satunya adalah Tradisi Apitan yang dilaksanakan pada bulan Apit dalam kalender aboge atau bulan Dzulqa’dah dalam penanggalan hijriyah.

Tradisi Apitan dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat rezeki hasil bumi yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Biasanya tradisi ini dilakukan sebagian masyarakat Jawa di daerah Demak dan Grobogan, Jawa Tengah.

Tradisi ini diyakini mulai diperkenalkan para Wali Songo sekitar lima abad yang lalu, atau pada masa penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Apitan merupakan tradisi sedekah bumi yang biasa dilakukan masyarakat Hindu. Pada masa itu, agama Hindu sebagai agama mayoritas di tanah Jawa. Namun Wali Songo kemudian memodifikasinya atau memasukkan unsur keislaman pada tradisi tersebut. Hal ini sebagai strategi syiar untuk meraih dukungan dan simpati masyarakat terhadap nilai-nilai Islam.

Karena strategi akulturasi budaya inilah kemudian banyak masyarakat yang memeluk agama Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.

Makna Filosofis Tradisi Apitan

Apitan adalah tradisi yang memiliki makna sangat dalam, yaitu sebagai bentuk syukur masyarakat terhadap karunia dan nikmat yang telah Tuhan Yang Maha Kuasa berikan. Mengapa kemudian dalam bentuk sedekah bumi?

Secara filosofis, manusia tercipta dari tanah yang menjadi bagian dari unsur bumi, kemudian hidup di atas bumi, dan makan atau pun minum juga dari tumbuh-tumbuhan, atau pun memakan makhluk yang juga mengonsumsi unsur yang ditumbuhkan bumi atau tanah. Kelak manusia ketika meninggal juga akan kembali ke bumi.

Untuk itulah manusia harus hidup selaras dan seimbang dengan seluruh komponen-komponen tersebut. Manusia dapat hidup juga karena adanya tumbuh-tumbuhan atau pun hewan yang tak terlepas dari unsur tanah, yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Untuk itulah, dilakukan ritual sebagai wujud syukur atas karunia yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa tersebut.

BACA JUGA  Festival Lima Gunung, Mengunduh Wahyu Rumagang di Kali Wangsit

Pelaksanaan Tradisi Apitan

Pada umumnya tradisi apitan digelar dengan pertunjukan wayang kulit, kethoprak atau pun kesenian lainnya. Namun, selain itu ada pula yang menyelenggarakan tradisi ini dengan melakukan khataman Al Quran, seperti halnya dilakukan di Desa Kerangkulon, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Demak.

Tradisi apitan diisi dengan khataman Al Quran 30 juz dengan 2 s.d. 3 kali pembacaan. Hal ini dilakukan agar dari pembacaan Al Quran dapat mendatangkan limpahan berkah bagi warga desa.

Hal berbeda dilakukan masyarakat di Grobogan, Jawa Tengah. Salah satunya di Desa Sumber Jatipohon, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan. Warga di desa ini biasanya melakukan arak-arakan 12 gunungan dengan tinggi sekitar 2,5 meter setiap gunungan. Gunungan-gunungan hasil bumi itu kemudian diarak menuju obyek wisata alam Jatipohon.

Warga yang mengikuti arak-arakan berjalan kaki berkilo-kilo meter dari dusun hingga melintas jalan utama Pati-Grobogan. Setelah sampai lokasi, 12 gunungan hasil bumi tersebut kemudian diletakkan berdampingan dan dilanjutkan doa oleh para tokoh setempat dan diamini para warga yang memadati lokasi.

Setelah prosesi doa selesai, 12 gunungan itupun langsung diserbut warga yang mengikuti acara tersebut. Tak hanya dapat menikmati gunungan hasil bumi, biasanya yang mengikuti tradisi ini juga disuguhkan dengan hiburan khas daerah setempat. Acara ini sepintas mirip dengan tradisi Gerebeg di Yogyakarta.

Apitan sendiri konon berasal dari nama bulan Apit dalam kalender Jawa. Bulan Apit jatuh setelah bulan Syawal dan sebelum bulan Dzulhijah (bulan haji). Apit juga berarti kejepit karena berada di antara Idul Fitri dan Idul Adha.

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait