JAKARTA, Jowonews.com – Kasur, kursi, bantal, lemari, ban bekas, kaleng bekas, botol, plastik, ember bekas, styrofoam, batang pohon hanya beberapa di antara berbagai sampah yang terlepas ke lingkungan lalu masuk ke badan air, kemudian mengikuti aliran sungai hingga mencapai laut. Benda-benda “ajaib” dalam ukuran kecil hingga besar yang dianggap sudah tidak bernilai oleh pemiliknya dibuang begitu saja ke saluran-saluran air (drainase) hingga sungai. Itu salah satu biang kerok banjir yang terjadi di sejumlah wilayah Jabodetabek pada 1 Januari 2020. Ingin tahu persentase sampah di wilayah tersebut yang tidak terkelola? Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani membagi data 2017 untuk persentase sampah tidak terkelola di Jabodetabek beberapa waktu lalu. Setidaknya 93,42 persen dari 2.857,50 ton per hari sampah Kabupaten Bogor tidak terkelola, sedangkan di Kota Bogor persentasenya mencapai 75,51 persen dari 620,77 ton per hari. Untuk di Kabupaten Bekasi persentase sampah yang tidak terkelola mencapai 75,72 persen dari 2.535,12 ton per hari. Di Kabupaten Tangerang mencapai 57,20 persen dari 2.509,34 ton sampah per hari. Lalu bagaimana dengan DKI Jakarta? Apabila dilihat dari catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2019, persentase sampah tidak terkelola di Ibu Kota DKI Jakarta lebih kecil. Namun dari segi jumlah sampah jauh lebih banyak. Untuk Jakarta Barat, persentasenya mencapai 2,4 persen dari 1.946,77 ton sampah per hari dan Jakarta Selatan mencapai 1,68 persen dari 1.631 ton per hari. Sedangkan Jakarta Utara mencapai 1,8 persen dari 1.323,12 ton per hari. Jika persentase sampah tidak terkelola di Jakarta Pusat nol persen dari 839,45 ton per hari, maka di Jakarta Timur mencapai 12,39 persen dari 2.253,66 ton per hari dan menjadi yang terbanyak tidak terkelola di DKI Jakarta. Dari data di DKI Jakarta saja, jika dihitung sampah tidak terkelola yang mungkin saja terlepas ke lingkungan mencapai 377,16 ton per hari. Terbayang bagaimana merananya nasib drainase mikro maupun makro, sungai dan anak sungai, muara dan laut jika seluruh sampah tidak terkelola di Jabodetabek berjejalan di sana? Cara Jakarta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan Rancangan Induk Pengelolaan Sampah (RIPS) tahun 2012-2032. Dokumen itu selanjutnya menjadi bagian dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, yang disahkan pada masa Gubernur Jakarta Fauzi Bowo. Kala itu, Fauzi menegaskan Jakarta perlu mengurangi ketergantungan pengolahan sampah di TPA Bantargebang, Kota Bekasi. Jakarta memerlukan tempat pengolahan sampah yang moderen, berteknologi tinggi dan ramah lingkungan di dalam kota seperti kota besar di dunia. Butuh paradigma baru pengelolaan sampah dengan memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan seperti energi, kompos, pupuk ataupun bahan baku industri. Setiap lima tahunan, pucuk pemerintahan di Jakarta bergulir. Pada pemerintahan Gubernur Anies Baswedan, penetapan Rencana Program Jangan Menengah Daerah (RPJMD) 2017-2022 khusus pengelolaan sampah juga mengacu pada dokumen RIPS 2012-2032. RPJMD menetapkan pengelolaan sampah paradigma baru, yakni pengurangan dan penanganan sampah. Tujuannya untuk membatasi timbulan sampah dari sumber dan mengurangi jumlah sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Pengurangan sampah dapat dilakukan melalui pembatasan timbulan sampah (reduce), pemanfaatan kembali sampah (reuse) dan pendauran ulang sampah (recycle), yang dikenal dengan istilah 3R. Setiap tahun pemerintah telah menetapkan target capaian persentase penangan sampah dan pengurangan sampah. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Andono Warih menjelaskan, pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah dengan cara 3R tersebut jelas membutuhkan peran serta masyarakat. Sementara penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir yang dominan dilakukan oleh pemerintah daerah. Kinerja pengurangan sampah di Provinsi DKI Jakarta selama tahun 2017 sebesar 13,09 persen dari target 15 persen. Tahun 2018 sebesar 12,40 persen dari target 14 persen dan tahun 2019 sebesar 17 persen dari target 17 persen yang ditetapkan. Indikator kinerja penanganan sampah di DKI Jakarta selama 2017-2019 menunjukkan tren penurunan dengan tahun 2017 mencapai 86,91 persen, tahun 2018 mencapai 87,6 persen dan tahun 2019 mencapai 82,94 persen. “Penurunan penanganan sampah disebabkan persentase pengurangan sampah pada kurun waktu tersebut mengalami peningkatan, seiring meningkatnya peran serta masyarakat,” kata Andono. Secara detail, program pengelolaan persampahan dalam RPJMD DKI Jakarta dibagi dalam dua indikator. Yakni pengurangan sampah yang dikirim ke TPA dan persentase pengurangan sampah di kota. Kondisi awal Anies Baswedan memimpin DKI Jakarta di tahun 2017, sampah yang dikirim ke TPA sebanyak 6.645 ton per hari. Pemerintah menargetkan angka itu terus bergerak naik. Tahun 2018 sebesar 6.518 ton per hari, sementara di tahun 2019 rata-rata 7.703 ton per hari. Untuk persentase pengurangan sampah di kota, kondisi awal sebesar 14 persen yang ditargetkan terus meningkat, yakni 17 persen tahun 2019, 20 persen pada 2020, 23 persen (2021) dan 26 persen untuk 2022. Dokumen RPJMD 2017-2022 menjelaskan, sampah merupakan salah satu permasalahan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Jakarta. Indikatornya, jumlah daya tampung TPS tidak meningkat selama lima tahun terakhir, sementara jumlah penduduk terus meningkat. Hal ini mengakibatkan rasio Tempat Pembuangan Sampah (TPS) per satuan penduduk terus menurun. Indikator lainnya penanganan produksi sampah masih belum mencapai 100 persen atau sebesar 83,78 persen per tahun 2016. Dari sumber Masyarakat merupakan penghasil sampah sekaligus aktor utama dalam pengelolaan sampah. Mereka perlu diberdayakan agar mampu melakukan berbagai upaya penanganan yang bermanfaat bagi pengelolaan secara umum. Upaya pengurangan timbulan sampah di sumber sangat erat kaitannya dengan perilaku masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya penyadaran dan peningkatan pemahaman untuk mendorong perubahan perilaku yang dilakukan secara berjenjang. Pengurangan sampah di sumber dilakukan melalui mekanisme 3 R, yakni reduce (R1), reuse (R2) dan recycle (R3). R1 adalah upaya yang lebih menitikberatkan pada pengurangan pola hidup konsumtif serta senantiasa menggunakan bahan “tidak sekali pakai” yang ramah lingkungan. R2 adalah upaya memanfaatkan bahan sampah melalui penggunaan yang berulang agar tidak langsung menjadi sampah. R3 adalah setelah sampah harus keluar dari lingkungan rumah, perlu dilakukan pemilahan dan pemanfaatan/pengolahan secara setempat. Di Amanat RPJMD 2017-2022, Dinas Lingkungan Hidup sebagai ujung tombak untuk meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sampah wajib melakukan sejumlah kegiatan. Di antaranya komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kebersihan lingkungan dan pengetahuan mengenai Program 3R. Selanjutnya memfasilitasi masyarakat dan dunia usaha dalam mengembangkan dan memanfaatkan hasil daur ulang, pemasaran hasil produk daur ulang dan guna ulang sampah. Pengembangan … Baca Selengkapnya