Jowonews

MERDEKA BELAJAR MENUJU PENDIDIKAN IDEAL

Oleh: Siti Noor Laili Mahfukhatus Sofa, S.Pd Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara didasarkan pada asas kemerdekaan, memiliki arti bahwa manusia diberi kebebasan dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan sesuai aturan dimasyarakat. Pemikiran Ki Hajar Dewantara perihal merdeka belajar selaras pula dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terkait mencerdaskan bangsa. Mencerdasakan bangsa bukan berarti mencerdaskan individu, namun menyesuaikan sistem pendidikan dengan kebutuhan hidup dan penghidupan rakyat Indonesia. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Anwar Makarim saat berpidato pada acara Hari Guru Nasional tahun 2019 mencetuskan konsep “Pendidikan Merdeka Belajar”. Konsep ini merupakan respons terhadap kebutuhan sistem pendidikan pada saat ini. Nadiem Makarim menyebutkan merdeka belajar merupakan kemerdekaan berfikir. Kemerdekaan berfikir ini ditentukan oleh guru (Tempo.co, 2019). Maka konsep merdeka belajar merupakan tawaran dalam merekonstruksi sistem pendidikan nasional. Penataan ulang sistem pendidikan dalam rangka menyongsong perubahan dan kemajuan bangsa yang dapat disesuaikan dengan perubahan zaman. Dengan cara mengembalikan hakikat dari pendidikan yang sebenarnya yaitu pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia atau pendidikan yang membebaskan. Dalam konsep merdeka belajar antara guru dan peserta didik merupakan subyek dalam sistem pembelajaran. Artinya guru bukan dijadikan sumber kebenaran oleh siswa, namun guru dan siswa berkolaborasi, bergerak dan mencari kebenaran. Posisi guru di ruang kelas bukan untuk menanam atau menyeragamkan kebenaran, daya nalar dan kritisnya peserta didik melihat dunia dan fenomena. Peluang berkembang teknologi dan internet menjadi momentum kemerdekaan belajar. Karena dapat meretas sistem pendidikan yang kaku atau tidak membebaskan. Termasuk mereformasi beban kerja guru dan sekolah yang terlalu dicurahkan pada hal yang administratif. Oleh sebab itu kebebasan untuk berinovasi, belajar dengan mandiri dan kreatif dapat dilakukan oleh unit pendidikan, guru dan peserta didik. Merdeka belajar memiliki esensi bahwa peserta didik nantinya memiliki kebebasan dalam berpikir secar individu atau kelompok, sehingga pada masa mendatang dapat melahirkan peserta didik yang unggul, kritis, kreatif, kolaboratif, inovatif, serta partisipasi. Merdeka belajar juga mendukung banyak inovasi dalam dunia pendidikan dengan membentuk pula kompetensi guru. Guru penggerak yang merdeka dalam mengajar serta mengetahui kebutuhan peserta didik sesuai lingkungan dan budayanya. Mengingat Indonesia memiliki banyak suku, adat istiadat dan budaya, tata krama dan etika yang berbeda sesuai daerah masing-masing. Perbedaan yang ada menjadikan kita saling mengenal dan menjadi bangsa yang makmur dengan menghargai perbedaan yang ada, gotong royong yang sudah menjadi warisan terpuji leluhur secara turun-temurun. Nilai pancasila yang tertuang dalam Bhineka Tunggal Ika menjadi pedoman yang dipegang bersama seluruh masyarakat termasuk peserta didik. Maka penanaman Profil Pelajar Pancasila sejak dini memang harus sudah dilaksanakan. Sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk membentuk sumber daya manusia yang maju dalam rangka Indonesia emas 2024, maka diperlukan sumber daya manusia yang mumpuni dalam bidang pendidikan. Sumber daya manusia yang unggul, beretika, bermoral, menguasai bidang keilmuan. Sesuai dengan bakat dan minat yang ada pada masing-masing manusia Indonesia yang bergam, terutama pada berbagai disiplin ilmu termasuk sains, teknologi, seni, dan bahasa. Maka untuk mendukung hal tersebut penguasaan keterampilan sangat diperlukan, terutama generasi muda Indonesia untuk memakmurkan kebutuhan rakyat, bukan hanya dalam bidang materiil namun lebih memaknai akan pentingnya ilmu dan pengalaman hidup. Berbagai pengalaman hidup serta keterampilan atau multitalenta yang dianjurkan dipelajari oleh generasi muda Indonesia agar dapat mencapai pribadi yang tidak hanya berilmu tetapi juga mengerti terampil, menghargai perbedaan, berfikir kritis dan mampu menyelesaikan masalah dalam dunia kerja, masyarakat, dan bernegara.

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI DALAM PERSPEKTIF KURIKULUM MERDEKA

Oleh: Diah Sapitri Kurikulum selalu mengalami pergantian karena menyesuaikan kebutuhan dan perkembangan zaman. Pada tahun 2013, terdapat pembaharuan kurikulum dari KTSP menjadi Kurikulum 2013. Hal ini dirasa karena KTSP memang sudah tidak relevan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Karakteristik kurikulum 2013 adalah mengubah metode dari teacher centered learning menjadi student centered learning. Terdapat model-model baru sebagai gebrakan untuk melakukan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Seiring perkembangan zaman, di tahun 2020 pemerintah mulai memperkenalkan adanya Kurikulum Merdeka. Konsep Kurikulum Merdeka tidak jauh dari Kurikulum 2013, yaitu pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Kurikulum 2013 sudah dirasa tidak mampu mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan nasional saat ini. Artikel ini akan membahas lebih lanjut mengenai karakteristik Kurikulum Merdeka. Ki Hadjar Dewantara mengemukakan bahwa tujuan pendidikan adalah agar anak mampu mencapai kebahagiaan dan keselamatan setinggi-tingginya. Tugas seorang pendidik adalah menuntun anak untuk dapat tumbuh dan berkembang sesuai kodrat alam dan kodrat zaman. Dengan kata lain, seorang pendidik membimbing dan menuntun anak sesuai potensi, minat dan bakat serta kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai keberhasilan dan kebahagiaan (Masitoh & Cahyani, 2020). Pergantian Kurikulum 2013 menuju Kurikulum Merdeka merupakan evaluasi praktisi pendidikan setelah melakukan penerapan. Salah satu alasan mengapa Kurikulum 2013 dapat berganti menjadi Kurikulum Merdeka adalah belum adanya pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan suatu usaha atau proses untuk menyesuaikan sistem pembelajaran di kelas dengan kebutuhan belajar dan kemampuan setiap murid yang berbeda-beda. Dalam prinsip pembelajaran diferensiasi setiap murid memiliki keunikan dan kemampuannya, serta cara yang berbeda-berbeda dalam memahami suatu ilmu atau materi pelajaran. Jadi, Pembelajaran berdiferensiasi merupakan serangkaian kegiatan berupa keputusan yang sesuai akal pikiran (common sense) yang disusun oleh guru dalam rangka melaksanakan pembelajaran yang berpihak pada murid, dan berorientasi pada kebutuhan belajar murid. Keputusan tersebut berkaitan dengan hal-hal berikut yaitu: cara menciptakan lingkungan berlajar murid, mendefinisikan tujuan pembelajaran, proses penilaian berkelanjutan sehingga tercipta kelas efektif (Fitra, 2022). Pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi ditujukan untuk mengakomodasi sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Peserta didik yang memiliki hasil belajar rendah akan diberikan pendampingan secara afirmatif. Sedangkan peserta didik yang memiliki hasil belajar tinggi akan diberikan pengayaan. Konsep pembelajaran berdiferensiasi sesuai dengan Kuirkulum Merdeka karena memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sesuai bakat dan minat yang dimilikinya. Selain itu, pembelajaran berdiferensiasi juga sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional, yaitu meningkatkan semua potensi yang ada di dalam diri peserta didik untuk mencapai kesejahteraan. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan suatu usaha atau proses untuk menyesuaikan sistem pembelajaran di kelas dengan kebutuhan belajar dan kemampuan setiap murid yang berbeda-beda. Konsep pembelajaran berdiferensiasi sesuai dengan Kuirkulum Merdeka karena memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sesuai bakat dan minat yang dimilikinya. Selain itu, pembelajaran berdiferensiasi juga sesuai dengan tujuan sistem pendidikan nasional, yaitu meningkatkan semua potensi yang ada di dalam diri peserta didik untuk mencapai kesejahteraan. Referensi Fitra, D. K., (2022). Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Perspektif Progresivisme padaa Mata Pembelajaran IPA. Jurnal Filsafat Indonesia. Vol 5 (3): 250-258. Masitoh, S., & Cahyani, F. (2020). “Penerapan Sistem Among Dalam Proses Pendidikan Suatu Upaya Mengembangkan Kompetensi Guru.” Kwangsan: Jurnal Teknologi Pendidikan. Vol 8(1), 122. https://doi.org/10.31800/jtp.kw.v8n1.p122–141.

PENGARUH PEMBELAJARAN DARING ERA PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA

Oleh: Aniva Arviani Daring adalah arti dari istilah online. Istilah daring kerap digunakan setelah serangan pandemic COVID-19. Pembelajaran daring adalah aktivitas belajar yang terhubung jaringan internet. Aktivitas belajar, menagajar, mengumpulkan tugas, dan interaksi guru dengan peserta didik berlangsung tanpa tatap muka. Pembelajaran daring dilakukan di Indonesia saat pandemi covid-19 berlangsung kurang lebih 2 tahun dimana semua aktifitas pendidikan di Indonesia dari sabang sampai merauke menggunakan nya. Pembelajaran secara daring digunakan sebagai alternative agar tetap ada interaksi antara peserta didik dan guru walaupun tidak secara tatap muka. Pembelajaran daring juga bertujuan untuk memenuhi kegiatan pembelajaran peserta didik dengan memanfaatkan teknologi seperti laptop maupun smartphone. Selama pembelajaran daring peserta didik diajarkan untuk lebih mandiri, kreatif dan inovatif dalam belajar karena mereka harus belajar sendiri tanpa didampingi secara langsung oleh gurunya. Walaupun masih dapat bertemu degan guru secara daring, faktanya tidak semua peserta didik akan langsung paham dengan materi yang disampaikan oleh guru. Jika mengamati dilingkungan tempat tinggal saya yang berada di pedesaan, untuk peserta didik SD, guru hanya memberikan informasi, materi dan tugas kepada peserta didiknya melalui whatsapp grup dengan orang tua mereka, belum menggunakan aplikasi zoom atau google meet. Tetapi banyak dari para orang tua peserta didik atau wali murid mengeluh akan pembelajaran secara daring. Karena tidak semua orangtua peserta didik yang berada di pedesaan paham akan gadget atau smartphone masa kini.kendala lain juga di jaringan sinyal yang tidak stabil yang mengakibatkan terkendala dalam waktu penyampaian materi oleh guru di whatsapp grup, sehingga dalam pengerjaan tugas tidak sesuai date line yang sesuai dengan yang diberikan guru. Faktor lain yang menjadi kendala dalam pembelajaran daring yaitu dari diri peserta didik itu sendiri. Sikap malas belajar, tidak adanya motivasi belajar, berkurangnya minat belajar peserta didik, banyak yang tidak memperhatikan materi yang diberikan guru, tidak efektifnya waktu belajar, dan banyak anak yang lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain game online bersama teman-temannya dari pada belajar. Pembelajaran daring juga memberikan pengaruh pada peserta didik yang baru memasuki kelas 1 baik di jenjang SD, SMP maupun SMA. Mereka menjadi tidak mengenal siapa guru nya dan teman-temannya, karena belum pernah merasakan sekolah tatap muka. Pembelajaran daring tentunya tidak hamya memberikan pengaruh buruk bagi peserta didik tetapi juga memberikan pengaruh positif. Lalu apa saja pengaruh positifnya? Peserta didik dapat belajar dari mana saja, peserta didik dapat berpasrtisipasi dalam pembelajaran dari mana saja meskipun sedang berada diluar kota hanya berbekal gadget atau smartphone yang dimilikinya. Peserta didik dapat belajar kapan saja, efisiensi waktu adalah kelebihan lain dari pembelajaran daring, peserta didik bebas mengerjakan tugas dengan cara yang nyaman menurut dirinya sendiri dapat merefleksikan atau mengulang kembali materi yang dulu sebelum berlanjut ke materi yang baru. Pembelajaran daring dapat mendorong peserta didik belajar secara mandiri dimanapun ia berada tanpa pengawasan terus menerus dari guru, sehingga peserta didik memiliki kemandirian untuk melakukan kegiatan bermanfaat seperti membaca, berlatih dan masih banyak lagi. Peserta didik mampu membangun diskusi yang berkualitas dengan merespon materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru, berbeda dengan diskusi langsung ada kalnya peserta didik cenderung asal berkomentar ata berpendapat tanpa berpikir matang-matang apa yang disampaikan. Pembelajaran daring dapat terlaksana baik apabila ada kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orangtua peserta didik dalam pelaksanaan belajar dirumah. Guru sebagai pendidik diharapkan mampu menciptakan metode belajar yang kreatif, inovatif, serta menyenangkan bagi peserta didiknya agar tidak mudah bosan selama pembelajaran daring terutama peserta didik jenjang SD. Peserta didik di SD biasanya menyukai pembelajaran disertai dengan permainan karena menyenangkan. Kemudian untuk orangtua peserta didik diharapkan dapat terus memantau dan mengawasi anaknya selama belajar dirumah agar anak dapat memanfaatkan waktu belajarnya dirumah dengan baik dan tidak terjerumus dalam hal-hal yang buruk. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran daring memberikan pengaruh baik ataupun buruk bagi peserta didik itu tergantung bagi peserta didik sendiri yang merasakannya. Antara guru dan peserta didik harus terjalin komunikasi yang baik agar kendala yang dihadapi dapat dicari jalan keluarnya secara bersama-sama, maka guru haru sabar dan aktif dalam menyampaikan materi. Karena keberhasilan pembelajaran yang terlihat pertama adalah bagaimana cara guru dalam melakukan pembelajaran tersebut.

PENTINGNYA POLA ASUH YANG TEPAT UNTUK TAHAP PERKEMBANGAN ANAK

Oleh: Saktia Alifa, S.Pd Kurikulum pendidikan saat ini menekankan untuk menerapkan program sekolah ramah anak. Program sekolah ramah anak merupakan salah satu perwujudan dari pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai memerdekakan anak sesuai kodrat alam. Program sekolah ramah anak memiliki prinsip utama yaitu penghargaan terhadap anak, seperti yang terkandung dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 pasal 13 menyebutkan sekolah ramah anak mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, dan diskriminasi (Permen PPA RI, 2014). Adanya program sekolah ramah anak ini salah satunya guna menunjang perkembangan sosial emosional anak. Perkembangan sosial emosional anak merupakan perkembangan tingkah laku pada anak dalam upaya menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku (indanah, 2019). Ketika perkembangan sosial emosional anak berkembang baik, ia akan mudah menaati aturan, tidak suka membangkan, dan dapat mengendalikan emosinya terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Namun perkembangan sosial emosional anak tidak hanya terbentuk saat anak berada di sekolah, lingkungan keluarga merupakan ekosistem tingkat pertama pada perkembangan sosial emosional anak karena sejatinya perkembangan sosial emosional anak berkembang sejak anak berusia dini. Pola asuh yang diterapkan keluarga terhadap anak memberikan dampak yang besar pada perkembangan emosi (Fauziyah, 2020). Adanya update pada berbagai bidang kehidupan tidak lantas membuat seseorang mengupdate pengetahuannya terlebih lagi bagi mereka yang sudah berumah tangga dan mempunyai keterbatasan ekonomi. Selain tidak adanya waktu karena kesibukan bekerja, tidak adanya akses pada sumber pengetahuan menjadi hambatan untuk mereka mengupdate diri. Ketidaktahuan akan pentingnya pola asuh terhadap perkembangan anak seringkali membuat anak menjadi korban pola asuh yang kurang tepat. Beberapa orang tua masih menerapkan pola asuh otoriter bahkan ada kekerasan fisik di dalamnya. Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang menetapkan standar mutlak harus dituruti biasanya disertai dengan ancaman-ancaman (Taib, 2020). Pola asuh otoriter membuat anak menjadi pribadi yang keras, suka membangkang, tidak peduli dengan orang lain dan suka memaksakan kehendaknya pada orang lain. Indanah (2019) menyatakan bahwa interaksi yang kondusif antara orang tua dan anak akan membentuk akhlak dan moral yang positif. Beberapa kasus pernah penulis temui ketika berkesempatan menjadi seorang guru selama 2 tahun di sekolah dasar. Beberapa murid yang memiliki kecenderungan berkelakuan impulsif dan agresif setelah penulis telisik melalui komunikasi dengan anak dan ibunya ternyata salah satu orang tua terutama orang tua laki-laki menerapkan pola asuh otoriter dan menghalalkan kekerasan dalam menangani masalah anak. Dari banyaknya kasus perlu adanya suatu gebrakan perubahan untuk menangani permasalahan tersebut terutama pada warga di desa-desa kecil. Adanya keterbatasan pada akses pengetahuan maka dari itu, pemerintah hendaknya ikut andil dalam mengatasi permasalahan ini, dalam hal ini pemerintah desa dapat berupaya untuk menyajikan wadah bagi kegiatan sosialisasi parenting untuk warganya mengenai bagaimana pola asuh yang tepat serta tidak boleh adanya kekerasan pada keluarga. Balai Pertemuan dapat dibuat dan difungsikan untuk memberikan edukasi pada orang tua yang ada dilingkungan RT tiap satu bulan sekali. Pihak Desa dapat memberikan edukasi pada salah satu perwakilan dari setiap RT kemudian perwakilan tersebut dapat memberikan sosialisasi pada warganya di Balai Pertemuan setiap satu bulan sekali. Tidak hanya sebagai tempat sosialisasi program ini juga bisa digunakan untuk tempat sharing seputar masalah anak yang umum terjadi namun tetap menjaga privasi anak. Harapan dari adanya program ini yaitu semakin teredukasinya orang tua zaman sekarang agar anak tidak menjadi korban sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai kodrat alam.

MENELISIK PENDIDIKAN DAN IDENTITAS INDONESIA

Oleh: Ayunda Fika Yuliani Berbicara tentang perjalanan pendidikan di Indonesia tentu tidak terlepas kaitannya dengan Bapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. KHD memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Banyak gagasan-gasasan dan prinsip-prinsip kuat mengenai pendidikan yang dijadikan sebagai dasar-dasar pendidikan sampai saat ini. Menurut KHD, tujuan utama dari dilaksanakannya proses pendidikan adalah untuk menjadikan manusia menjadi anggota masyarakat yang mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan seutuhnya tanpa meninggalkan dan mengingkari kodratnya (Marwah, Syafei’I, & Sumarna, 2018). Kembali mengulas perjalanan pendidikan pada masa kolonial yang membuat KHD menginisiasi sistem pendidikan yang ala Indonesia. KHD mengamati bahwa pendidikan pada masa kolonial hanya menekankan aspek intelektual dan individualism saja. Dengan sistem kolonial yang seperti itu, KHD menyadari bahwa sistem tersebut tidak sejalan dengan jiwa bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki banyak keberagaman dan nilai-nilai luhur yang harus tetap dilestarikan. Apabila sistem Pendidikan di Indonesia meniru sistem kolonial, maka KHD khawatir pada kemudian hari Indonesia akan kehilangan identitasnya. Maka dari itu, KHD menginginkan sistem pendidikan Indonesia tidak hanya menekankan pada aspek intelektual saja, melainkan juga diimbangi dengan aspek kultural nasionalis dengan tujuan mencerdaskan serta tetap memiliki identitas ke-Indonesiaannya. Proses pendidikan seorang manusia terjadi di manapun, kapanpun, dan selamanya menjadi pembelajar sepanjang hayat. Seperti dalam dasar-dasar pendidikan, disebutkan oleh KHD bahwa pendidikan dilakukan dimana saja. Hal tersebut terkandung dalam Tripusat Pendidikan, di antaranya yaitu Keluarga sebagai madrasah utama, sekolah dengan berbagai strukturnya, dan lingkungan tempatnya hidup. Sehingga, dalam membentuk seorang manusia Indonesia yang berbudaya dan berwawasan maka ketiga tempat terjadinya pendidikan tersebut harus bersinergi untuk menciptakan iklim belajar yang selaras. Membentuk masyarakat Indonesia menjadi manusia pancasila adalah tujuan dan harapan yang sangat mencerminkan jiwa bangsa. Hal tersebut memiliki makna bahwa negara Indonesia memiliki Pancasila dengan kelima unsur penting yang kini dijadikan pedoman dalam kehidupan, yang terdiri dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Jika berbicara tentang identitas bangsa, maka identitas diartikan sebagai ciri khas yang unik dari suatu bangsa yang membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lain. Pancasila ini merupakan identitas yang khas dan unik. Setiap warga yang menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan, secara langsung mereka telah menunjukkan identitasnya sebagai bangsa Indonesia. Di era modern seperti saat ini, rasa khawatir patut menyelimuti karena besar kemungkinan generasi-generasi selanjutnya yang dapat melunturkan identitas, rasa nasionalisme, dan jiwa pancasilanya. Hal tersebut sebagai akibat dari kebudayaan-kebudayaan luar yang masuk tanpa adanya filter. Maka dari itu, perlunya peran Tripusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan lingkungan menggunakan pendekatan socio-cultur dengan kembali menanamkan pendidikan karakter untuk kembali menanamkan identitas bangsanya. Menurut Nastiti, pendidikan karakter dengan nilai-nilai sosio kultural ini membentuk individu yang menyesuaikan dengan tuntutan dan moral dalam masyarakat. Pendidikan karakter untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang berkarakter patutnya dimulai sejak dini utamanya di lingkungan keluarga. Pendidikan di lingkungan keluarga merupakan fase yang penting anak untuk membentuk dasar karakternya. Dalam ilmu perkembangan psikologi, pendidikan dan perkembangan anak di lingkungan keluarga saat masa golden age lah yang akan menentukan perkembangan anak selanjutnya di masa mendatang (Ulfa & Na’imah , 2020). Perkembangan seorang anak sebagai individu bergantung dari nilai-nilai apa yang telah anak peroleh di keluarganya (Ulfa & Na’imah, 2020). Maka dari itu untuk membentuk anak menjadi manusia seutuhnya yang beridentitaskan bangsa Indonesia, ketiga pusat pendidikan harus bersinergi menjalankan Trimong, yaitu ngemong, among, dan momong. Dari berbagai perspektif dan sudut pandang, proses belajar anak dimulai sejak dalam kandungan dengan keluarga sebagai madrasah pertama dan utama dalam pembentukan karakter dasar seorang anak. Selanjutnya, karakter tersebut akan dikembangkan dan dibentuk di sekolah dan lingkungan sesuai dengan nilai dan norma yang ada dalam hidup bermasyarakat dan hidup bernegara. Referensi  Marwah, SS, Syafe’i, M., & Sumarna, E. (2018). Relevansi konsep pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara dengan pendidikan islam. TARBAWY: Jurnal Pendidikan Islam Indonesia , 5 (1), 14-26. Nastiti, L. S. Pendidikan Karakter Berlandaskan Nilai Sosio-kultural di SD N Margoyasan.Diakses pada tanggal 13 Januari 2023 pukul 18.32 Ulfa, M. (2020). Peran Keluarga dalam konsep psikologi perkembangan anak usia dini. Aulad: Journal on Early Childhood, 3(1), 20-28.

IMPLEMENTASI LITERASI PEMBELAJARAN KOMPETENSI KEBERAGAMAN SOSIAL BUDAYA MELALUI PENERAPAN MODEL TEAMS GAMES TOURNAMENT BERBANTUAN MEDIA MONKERSA KELAS V SDN 01 WONOSARI SEMARANG

Oleh: Rosa Sita Aprillia Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal,guru sebagai pendidik di sekolah disiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan keguruan sehingga memiliki kepribadian sebagai pendidik. Guru merupakan salah satu faktor pendidikan yang memiliki peran yang paling strategis, karena guru merupakan faktor paling menentukan pada saat terjadinya proses belajar mengajar. Berkaitan dengan hal tersebut, Haidar menyatakan bahwa, “Di bidang keguruan ada tiga persyaratan pokok seseorang itu menjadi tenaga professional dibidang keguruan. Pertama, memiliki ilmu pengetahuan dibidang yang diajarkan sesuai dengan kualifikasi dimana ia mengajar. Kedua, memiliki pengetahuan dan keterampilaan dibidang keguruan. Ketiga, memiliki moral akademik”. Strategi pembelajaran merupakan pola umum untuk mewujudkan proses belajar mengajar. Pembelajaran termasuk salah satu prosedur dan metode yang ditempuh oleh guru untuk memberikan kemudahan bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara aktif dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Suatu strategi pembelajaran merupakan suatu sistem penyeluruh yang terdiri dari empat variabel yaitu pembelajaran, materi pembelajaran, metode dan teknik mengajar. Hasil belajar siswa adalah merupakan indikator atau gambaran keberhasilan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, sehingga masalah hasil belajar siswa merupakan salah satu problem yang tidak pernah habis dibicarakan dalam dunia pendidikan. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar, antaralain strategi dan model pembelajaran yang diterapkan oleh guru dalamkelas, lingkungan belajar siswa, dan media pengajaranyang digunakan oleh guru. Ketidaktepatan model pembelajaran guru akan berakibat pada rendahnya motivasi dan aktivitas belajar siswa. Sebagai contoh, kegiatan pembelajaran PPKn di SDN01 Wonosari Semarang, terfokuspada guru, siswa pada umumnya pasif, tidak terlibat aktif dalam pembelajaran, sehingga hasil belajar siswa rendah. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka diperlukan suatu model pembelajaran yang dapat memperbaiki kualitas pembelajaran pada materi keberagaman sosial budaya. Salah satu model yang dapat digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui media kartu Monopoli. Model pembelajaran ini dapat meningkatkan kinerjapengajaran guru dan prestasibelajar siswa, sertamerupakan suatu kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman daya ingat, serta belajar sebagai proses yang menyenangkan dan bermakna. Pada penerapan model ini dibutuhkan penguasaan materi yang baik oleh seorang guru dan mampu memfasilitasi siswa dalam memahami dan menerapkan konsep ke dalam suatu contoh dengan baik dan tepat. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui media kartu monopoli di SDN 01 Wonosari dalam pembelajaran PPKn dapat melahirkan siswa-siswa dengan kerangka pikir, sikap mental dan keterampilan yang berkualitas dan seimbang, yang memiliki kecakapan hidup dalam bidang Pendidikan Kewarganegaraan. Respon siswa untuk setiap pernyataan berkisar antara positif dan sangat positif. Nilai rata-rata keseluruhan diperoleh skor 3,23 sesuai dengan kriteria yangtelah ditetapkan. Dapat disimpulkan bahwa respon dari para siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran melalui model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) melalui media monkersa (Monopoli keberagaman sosial budaya ) pada materi keberagaman sosial budaya adalah positif. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan strategi pembelajaran Teams Games Tournament Berbantuan media Monkersa sangatlah baik dalam diterapkan pembelajaran dikelas V untuk dapat menunjang keberhasilan dan peningkatan prosesbelajar siswa.

GAYA BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI Oleh: Diah Wulandari Setiap anak yang lahir memiliki karakteristik kemampuan otak yang berbeda-beda dalam menerima, memproses, dan mengirimkan informasi. Belajar adalah aktivitas mental yang melibatkan kemampuan otak untuk menyerap, memproses, dan mengirimkan informasi. Tentu saja, belajar bukan hanya tentang kegiatan menghafal. Banyak hal akan (tidak secara permanen) hilang dalam beberapa jam (Sari, 2014). Untuk mengingat apa yang telah diajarkan, Peserta Didik harus mengolah dan memahami informasi tersebut. Belajar adalah proses yang dilakukan individu untuk mencapai perubahan dalam dirinya. Perubahan tersebut meliputi kognitif (pemahaman), afektif (sikap dan mental) dan psikomotor (perilaku). Proses pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal (faktor fisik dan psikis) dan faktor eksternal (faktor keluarga, sekolah dan sosial). Keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor, seperti kompetensi guru, lingkungan pendidikan, gaya belajar Peserta Didik dan banyak faktor lainnya. Sedangkan proses pembelajaran merupakan interaksi antara guru dan Peserta Didik serta sumber belajar yang dilakukan dalam suatu lingkungan belajar (Alhafiz, 2022). Pembelajaran bermutu adalah pembelajaran yang berinteraksi dengan peserta didik, atau peserta didik  dengan pendidik atau pengajar dan sumber belajar dalam setting tertentu, yang berbagi informasi untuk memperoleh pengetahuan, penguasaan, dan membentuk sikap dan keyakinan pada peserta didik. Pembelajaran juga harus menentukan pertumbuhan dan perkembangan Peserta Didik saat mereka maju dalam mata pelajaran (Cholifah, 2018). Tujuan pembelajaran juga harus membekali peserta didik dengan pengetahuan, dan pengetahuan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan bagi perilaku kehidupan di masa yang akan datang. Kualitas pembelajaran, dalam mengajar harus ditingkatkan. Pembelajaran yang berkualitas juga membutuhkan guru yang berkualitas untuk mencapai hasil pembelajaran yang lebih baik. Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah mengalami perubahan atau penyempurnaan dari waktu ke waktu, termasuk kebijakan pendidikan. Kebijakan pendidikan yang disempurnakan mencakup kebijakan penggunaan kurikulum mandiri. Kurikulum mandiri merupakan kurikulum mandiri yang mengutamakan hasil belajar Peserta Didik berdasarkan Profil Pembelajar Pancasila (Aprima & Sari, 2022). Salah satu intervensi dalam kurikulum mandiri berfokus pada pembelajaran Peserta Didik. Metode pembelajaran yang berpusat pada Peserta Didik adalah dengan menggunakan pembelajaran yang berbeda.Pembelajaran diferensial adalah suatu bentuk upaya dalam rangkaian pembelajaran yang memperhatikan kebutuhan Peserta Didik dalam hal kemauan Peserta Didik, profil belajar,  minat dan bakat. Seorang pendidik wajib mengetahui bagaimana gaya belajar anak didiknya, bagaimana kesamaan mereka buat mendapat informasi, sebagai akibatnya pada proses belajar mengajar bisa dilakukan menggunakan efektif bagi setiap murid. Sehingga output belajar murid bisa lebih maksimal (Wassahua, 2016). Menurut (Alhafiz, 2022) Gaya belajar adalah cara seseorang dengan mudah menyerap dan mengolah informasi sesuai dengan kemampuannya. Gaya belajar setiap Peserta Didik beragam, yang kemudian harus diperhitungkan dengan pembelajaran yang berbeda. Pembelajaran yang dibedakan (differentiated teaching) adalah suatu proses atau filosofi pengajaran yang efektif dengan menyediakan berbagai cara untuk memahami informasi baru bagi semua Peserta Didik dalam komunitas kelasnya yang beragam, termasuk cara untuk: menerima konten, memproses ide, mengkonstruksi atau membuktikan; dan untuk mengembangkan produk pembelajaran dan ukuran penilaian sehingga semua Peserta Didik dapat belajar secara efektif di kelas dengan kemampuan yang berbeda Diharapkan pembelajaran pada saat ini sudah menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dalam aspek gaya belajar sesuai dengan kebijakan kurikulum merdeka. Namun pada kenyataannya, saat ini masih banyak guru yang tidak menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Sebagian pendidik hanya berfokus pada tugasnya yang hanya menyampaikan materi saja, padahal saat ini sebagai pendidik kita memiliki tanggung jawab dalam memfasilitsi peserta didik sesuai dengan minat dan gaya belajar yang dimiliki Peserta Didik. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang telah dilakukan oleh (Alhafiz, 2022) bahwa guru belum maksimal dalam memberikan pembelajaran  berdiferensiasi, hal ini dikarenakan guru yang masih belum memahami konsep pembelajaran berdiferensiasi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian (Aprima & Sari, 2022) dimana sekolah saat ini belum melaksanakan kurikulum merdeka dengan maksimal, terdapat banyak kekurangan dari segi pembelajaran terutama dalam penerapan pembelajaran berdiferensiasi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian (Astiti et al., 2022) bahwa guru mengalami kesulitan dalam memahami dan mengimplementasi Kurikulum Merdeka dalam hal pembelajaran diferensiasi Guru diharapkan dapat mengetahui dan memahami apa saja yang dibutuhkan peserta didk, termasuk gaya belajarnya. Karena setiap peserta didik dalam hal mengingat, menerima, mengolah informasi itu caranya berbeda-beda. Oleh karena itu, guru harus mengidentifikasi gaya belajar peserta didik agar dalam pembelajaran dapat mengakomodir sesuai dengan karakteristik peserta didik sehingga memperoleh hasil belajar yang lebih baik. Demikian sedikit paparan mengenai pembelajaran berdiferensiasi dan gaya belajar. Semoga apa yang tertulis di atas bisa bermanfaat terutama bagi para guru di Indonesia. Semakin maju pendidikan Indonesia. Semakin kreatif dan inovatif untuk para pendidik di Indonesia

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI SOLUSI PEMBELAJARAN EFEKTIF DI ABAD-21

Oleh: Jaka Satria Himawan, S.Pd. Sekolah merupakan lembaga untuk mencari ilmu pendidikan bagi peserta didik, dan di dalamnya terdapat proses kegiatan belajar mengajar antara guru dengan peserta didik. Kegiatan belajar mengajar dapat dilakukan di dalam kelas maupun dilakukan di luar kelas. Menurut pasal 24 Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, yang berisi aturan mengenai jumlah peserta didik dalam satu rombongan belajar untuk Sekolah Dasar yaitu paling sedikit berjumah 20 peserta didik dan paling banyak 28 peserta didik. Dengan banyaknya peserta didik di dalam satu rombel, maka dapat dipastikan bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik dan latar belakang yang berbeda-beda, sehingga mendorong Guru untuk menjadi lebih kreatif dalam menyajikan materi pembelajaran dan Guru harus bisa mengkomodir semua kebutuhan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Berdasarkan permasaahan atau tantangan dari beragamnya karakteristik peserta didik, maka solusinya yaitu menggunakan pendekatan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pembelajaran yang memberikan keleluasaan terhadap peserta didik untuk meningkatkan potensi dirinya sesuai dengan kesiapan belajar, minat dan profil belajar peserta didik tersebut, sehingga setiap peserta didik dapat belajar dengan maksimal karena belajar sesuai dengan passionnya atau gaya belajarnya. Walaupun terdapat perbedaan cara dalam belajar namun capaian pembelajaran dan standar penilaian tetap sama. Dalam menerapkan pembelajaran berdifrensiasi guru harus memikirkan beberapa tindakan yang masuk akal yang nantinya akan diambil ketika melaksanakan pembelajaran, karena pembelajaran berdifrensiasi tidak berarti pembelajaran dengan memberikan perlakuan atau tindakan yang berbeda untuk setiap peserta didik, akan tetapi memberikan keleluasan pada peserta didik untuk mempelajari dan mendemontrasikan apa yang mereka pelajari. Sebelum melakukan praktik baik pada pembelajara berdiferensiasi yang harus dilakukan oeh Guru yaitu pemetaan peserta didik, merancang pembelajaran berdiferensiasi mengacu pada hasil pemetaan peserta didik, dan selanjutya mengevaluasi serta merefleksi pembelajaran yang sudah berlangsung. Dengan dilaksanakannya pembelajaran berdiferensiasi di sekolah, diharapkan pembelajaran menjadi lebih efektif dan dapat menumbuhkan potensi peserta didik untuk mencapai kehidupan yang selamat dan bahagia.