Jowonews

MENELISIK PENDIDIKAN DAN IDENTITAS INDONESIA

Oleh: Ayunda Fika Yuliani Berbicara tentang perjalanan pendidikan di Indonesia tentu tidak terlepas kaitannya denganBapak Pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara. KHD memberikan sumbangsih yangsangat besar terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Banyak gagasan-gasasan dan prinsip-prinsip kuat mengenai pendidikan yang dijadikan sebagai dasar-dasar pendidikan sampai saat ini.Menurut KHD, tujuan utama dari dilaksanakannya proses pendidikan adalah untuk menjadikanmanusia menjadi anggota masyarakat yang mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaanseutuhnya tanpa meninggalkan dan mengingkari kodratnya (Marwah, Syafei’I, & Sumarna,2018). Kembali mengulas perjalanan pendidikan pada masa kolonial yang membuat KHDmenginisiasi sistem pendidikan yang ala Indonesia. KHD mengamati bahwa pendidikan padamasa kolonial hanya menekankan aspek intelektual dan individualism saja. Dengan sistemkolonial yang seperti itu, KHD menyadari bahwa sistem tersebut tidak sejalan dengan jiwabangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memiliki banyak keberagaman dan nilai-nilai luhur yangharus tetap dilestarikan. Apabila sistem Pendidikan di Indonesia meniru sistem kolonial, makaKHD khawatir pada kemudian hari Indonesia akan kehilangan identitasnya. Maka dari itu, KHDmenginginkan sistem pendidikan Indonesia tidak hanya menekankan pada aspek intelektual saja,melainkan juga diimbangi dengan aspek kultural nasionalis dengan tujuan mencerdaskan sertatetap memiliki identitas ke-Indonesiaannya. Proses pendidikan seorang manusia terjadi di manapun, kapanpun, dan selamanya menjadipembelajar sepanjang hayat. Seperti dalam dasar-dasar pendidikan, disebutkan oleh KHD bahwapendidikan dilakukan dimana saja. Hal tersebut terkandung dalam Tripusat Pendidikan, diantaranya yaitu Keluarga sebagai madrasah utama, sekolah dengan berbagai strukturnya, danlingkungan tempatnya hidup. Sehingga, dalam membentuk seorang manusia Indonesia yangberbudaya dan berwawasan maka ketiga tempat terjadinya pendidikan tersebut harus bersinergiuntuk menciptakan iklim belajar yang selaras. Membentuk masyarakat Indonesia menjadi manusia pancasila adalah tujuan dan harapanyang sangat mencerminkan jiwa bangsa. Hal tersebut memiliki makna bahwa negara Indonesiamemiliki Pancasila dengan kelima unsur penting yang kini dijadikan pedoman dalam kehidupan,yang terdiri dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Jika berbicaratentang identitas bangsa, maka identitas diartikan sebagai ciri khas yang unik dari suatu bangsayang membedakannya dengan bangsa-bangsa yang lain. Pancasila ini merupakan identitas yangkhas dan unik. Setiap warga yang menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan, secaralangsung mereka telah menunjukkan identitasnya sebagai bangsa Indonesia. Di era modern seperti saat ini, rasa khawatir patut menyelimuti karena besar kemungkinangenerasi-generasi selanjutnya yang dapat melunturkan identitas, rasa nasionalisme, dan jiwapancasilanya. Hal tersebut sebagai akibat dari kebudayaan-kebudayaan luar yang masuk tanpaadanya filter. Maka dari itu, perlunya peran Tripusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, danlingkungan menggunakan pendekatan socio-cultur dengan kembali menanamkan pendidikan karakter untuk kembali menanamkan identitas bangsanya. Menurut Nastiti, pendidikan karakter dengan nilai-nilai sosio kultural ini membentuk individu yang menyesuaikan dengan tuntutan dan moral dalam masyarakat. Pendidikan karakter untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang berkarakter patutnyadimulai sejak dini utamanya di lingkungan keluarga. Pendidikan di lingkungan keluargamerupakan fase yang penting anak untuk membentuk dasar karakternya. Dalam ilmuperkembangan psikologi, pendidikan dan perkembangan anak di lingkungan keluarga saat masagolden age lah yang akan menentukan perkembangan anak selanjutnya di masa mendatang (Ulfa& Na’imah , 2020). Perkembangan seorang anak sebagai individu bergantung dari nilai-nilai apayang telah anak peroleh di keluarganya (Ulfa & Na’imah, 2020). Maka dari itu untukmembentuk anak menjadi manusia seutuhnya yang beridentitaskan bangsa Indonesia, ketigapusat pendidikan harus bersinergi menjalankan Trimong, yaitu ngemong, among, dan momong.Dari berbagai perspektif dan sudut pandang, proses belajar anak dimulai sejak dalamkandungan dengan keluarga sebagai madrasah pertama dan utama dalam pembentukan karakterdasar seorang anak. Selanjutnya, karakter tersebut akan dikembangkan dan dibentuk di sekolahdan lingkungan sesuai dengan nilai dan norma yang ada dalam hidup bermasyarakat dan hidupbernegara.

PENTINGNYA PEMBELAJARAN BERMAKNA DI SEKOLAH DASAR

Oleh: Rifan Habiba Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang berupa pengetahuan, sikap, danketerampilan. Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatuhasil latihan atau pengalaman. Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinyaproses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya danlingkungannya. Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antara anakdengan lingkungannnya baik antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar, maupunanak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jikadilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. David Ausubel (1963) mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi. Pertama,menyangkut cara penyajian materi diterima oleh peserta didik. Melalui dimensi ini, pesertadidik memperoleh materi/informasi melalui penerimaan dan penemuan. Maksudnya pesertadidik dapat mengasimilasi informasi/materi pelajaran dengan penerimaan dan penemuan.Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi ataumateri pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba-coba menghafalkan informasi atau materi pelajaran baru tanpa menghubungkannya dengankonsep-konsep atau hal lainnya yang ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yangdisebut dengan belajar hafalan. Sebaliknya, jika peserta didik menghubungkan informasiatau materi pelajaran baru dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang telah ada dalamstruktur kognitifnya, maka terjadilah yang disebut dengan belajar bermakna.Dengan kata lain, belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apayang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya mendengarkanorang/guru menjelaskan materi pembelajaran. Ada banyak pendekatan atau strategi pembelajaran yang dapat digunakan guru/pendidik untuk menciptakan iklim pembelajaran di kelas yang memungkinkan terjadinya pembelajaran bermakna, antara lain yaitu 1) Terimalah peserta didik apa adanya, 2) Kenali dan bina peserta didik melalui penemuannya terhadap diri sendiri, 3) Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh peserta didik untuk dapat memlilh dan menggunakannya, 4) Gunakan pendekatan iquiry-discovery. 5) Tekankan pentingnya pendekatan diri sendiri dan biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab sendiri untuk memenuhi tujuan belajarnya Belajar pada hakikatnya mengembangkan konstruksi pengetahuan baru sebagai hasilinteraksi pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sudah ada. Menurut David Ausubel,belajar dengan menerima jauh lebih bermakna daripada belajar dengan menemukan. Danbelajar dengan membangun konstruksi pengetahuan baru lebih bermakna daripada belajardengan hafalan. Ausubel menegaskan bahwa belajar dengan menerima konten final itu yangseharusnya lebih direkomendasikan di sekolah, tanpa harus menegaskan tentang penerapanmodel discovery learning. Akan tetapi, pemahaman konsep, prinsip dan ide-ide itu bisadicapai melalui proses belajar deduktif. Ada tiga manfaat penting dalam menerapkan pembelajaran bermakna bagi siswa,yaitu: pertama, informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat; kedua,informasi-informasi baru yang dibangun siswa akan memudahkan proses belajar berikutnyauntuk materi belajar berkelanjutan; dan, ketiga, informasi yang dilupakan sesudah terbangunstruktur pengetahuan baru akan mempermudah proses belajar hal-hal yang mirip walaupuntelah terlupakan.

RELEVANSI PENDIDIKAN MENURUT PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA PADA KURIKULUM MERDEKA

Oleh: Mohammad Ilham, S.Pd Kebudayaan dan kebiasaan masyarakat digerakan oleh roda pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat menjelaskan pengambilan kebijakan pendidikan harus menekankan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyatnya. Evaluasi kurikulum dapat dijadikan bahan untuk memperbaiki rencana pengembangan kurikulum yang akan dilakukan di sebuah sistem pendidikan (Iskandar dalam Firdaus 2022). Problematika pengelolaan pendidikan saat ini direspon Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi dengan pergantian kurikulum menjadi kurikulum merdeka yang terinspirasi oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dalam tulisan ini menggunakan metode studi pustaka, menurut Milya (dalam Rahayuningsih 2021) studi pustaka dapat memperoleh sumber informasi dari beberapa tempat, yaitu buku referensi, jurnal, atau hasil penelitian terdahulu yang relevan. Pada tahap awal dilakukan pengumpulan jurnal artikel yang relevan dengan pembahasan. Pada artikel 1 dengan judul “Internalisasi Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dalam Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila” (Rahayuningsih 2021), menjelaskan konsep pelajar pancasila merupakan gambaran pelajar seluruh indonesia yang memiliki sikap beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, Bergotong royong, berkebhinekaan global, kreatif, bernalar kritis, mandiri. Pada artikel 2 “Relevansi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara pada Abad ke 21” (Nurhalita dan Hudaidah 2021), menjelaskan gagasan pendidikan Ki Hajar Dewantara pada abad ke 21 yang menitik beratkan pada kreativitas peserta didik seperti menanya, mengamati, menalar, mencoba, mengkomunikasikan dan mencipta. Pada artikel 3 “Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Perkembangan Pendidikan di Indonesia” (Tarigan, dkk 2022), memaparkan gagasan Ki Hajar Dewantara dalam memberikan kebebasan peserta didik dalam berfikir. Pada artikel 4 “Analisis Evaluasi Program Kurikulum 2013 Dan Kurikulum Merdeka” (Firdaus, dkk 2022), memaparkan tentang sistem penilaian kurikulum 2013 yang rumit menjadi salah satu  dasar pembentukan merdeka belajar. Dan pada artikel 5 “Inovasi Kurikulum “Merdeka Belajar” Di Era Society 5.0” (Marisa 2021), menjelaskan bahwa kurikulum merdeka belajar dianggap sebuah terobosan baru dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan peraturan menteri nomor 21 tahun 2016 tentang standar isi pendidikan dasar dan menengah. menjadi pedoman seorang guru mengenai ruang lingkup materi yang harus diajarkan (Firdaus, dkk 2022). Penelitian dari PISA (Programme for International Student Assessment) 2019 menunjukan peserta didik Indonesia hanya menempati urutan ke 74 dari 79 negara, terutama bidang literasi dan matematika. Nadiem Makarim memaparkan terobosannya dengan empat hal pokok kebijakan baru. Pertama, Ujian Nasional (UN) tidak dijadikan syarat lulus suatu jenjang, dan akan diganti dengan asesmen kompetensi minimum serta survei karakter. Kedua, sekolah diberikan kebebasan dalam merancang dan melaksanakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN). Ketiga, guru diberikan kebebasan dalam menyusun perencanaan pembelajaran. Yang terakhir tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), yang lebih menekankan penerapan zonasi. Selain itu, pelaksanaan pembelajaran yang menitik beratkan pada pembentukan karakter. Dengan demikian kurikulum merdeka belajar ini dapat lebih menyiapkan peserta didik siap bersaing di dunia kerja, dapat berguna, dan memiliki moral tinggi di lingkungan masyarakat (Marisa 2021). Menurut Tarigan, dkk (2022) konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara diantaranya tentang Tripusat pendidikan terdiri dari pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ki Hajar Dewantara juga menjelaskan konsep Trikon yang merupakan pembelajaran budaya bangsa yang memiliki unsur, dasar kontinuitas, dasar konsentris, dan dasar konvergensi. Yang sudah diterapkan di Taman Indria (balita). Gagasan tersebut bernama Tri No yaitu, nonton, niteni, nirokke. Selanjutnya sistem pendidikan Ki Hajar Dewantara mengenai sistem among yang berasas kekeluargaan memiliki 2 landasan, yaitu kodrat alam dan kemerdekaan sebagai syarat melaksanakan pendidikan. Serta dalam Sistem Among, guru berperan sebagai Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tutwuri Handayani. Penerapan kurikulum merdeka memiliki tujuan besar untuk menciptakan peserta didik yang memiliki nilai karakter pelajar pancasila dan mengedepankan kemerdekaan. Konsep ini terinspirasi dari pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dimana seharusnya pendidikan bertujuan mengembangkan budi pekerti (ras, pikiran, roh) pada peserta didik dengan keteladanan, pembiasaan, dan pengajaran tanpa paksaan. Mendidik anak sesuai karakteristiknya, karena anak tidak terlepas dari kodrat alam yang sudah memiliki potensi. Kurikulum merdeka menjelaskan juga peran penting elemen yang terlibat seperti tugas guru di dalam kelas, tugas sekolah dalam memfasilitasi peserta didik, serta orang tua dan lingkungan masyarakat yang harus mendukung perkembangan peserta didik. Hal itu sejalan dengan pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai Tri Pusat Pendidikan. Dimana konsep tersebut mengedepankan pendidikan tidak hanya terjadi di sekolah tetapi pendidikan di keluarga sebagai pendidikan awal dan karakter, serta pendidikan di masyarakat ikut sangat berdampak pada peserta didik. Dari pemaparan diatas membuktikan bahwa kurikulum merdeka merupakan sebuah konsep yang sama seperti pemikiran pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara serta sangat relevan untuk diimplementasikan di masa sekarang. Semoga kurikulum merdeka ini dapat berjalan sebagaimana yang sudah direncanakan, sehingga tujuan kurikulum ini dapat tersampaikan dengan baik. Daftar Rujukan Firdaus, H. & Laensadi, A., M. dkk. “Analisis Evaluasi Program Kurikulum 2013 dan Kurikulum Merdeka”, Jurnal Pendidikan dan Konseling, Volume 4, 2022, Nomor 4, E-ISSN: 2685-936X dan P-ISSN: 2685-9351. Habsy, B., A. “Seni Memahami Penelitian Kualitatif Dalam Bimbingan Dan Konseling : Studi Literatur”. Jurnal Konseling Andi Matappa, Volume 1, 2017, Nomor 2.  Marisa, M. “Inovasi Kurikulum “Merdeka Belajar” Di Era Society 5.0”. Santhet: Jurnal Sejarah Pendidikan Dan Humaniora, Volume 5, 2021, Nomor 1, DOI: 10.36526/js.v3i2. Nurhalita, N. & Hudaidah. “Relevansi Pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara pada Abad ke 21”. Edukatif : Jurnal Ilmu Pendidikan Research & Learning in Education, Volume 3, 2021, Nomor 2, Halaman 298 – 303. Rahayuningsih, F. “Internalisasi Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dalam Mewujudkan Profil Pelajar Pancasila”. SOCIAL: Jurnal Inovasi Pendidikan IPS, Volume 1, 2021, Nomor 3. Tarigan, M. & Alvindi. dkk. “Filsafat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dan Perkembangan Pendidikan di Indonesia”. MAHAGURU: Jurnal Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Volume 2, 2022, Nomor 1, halaman 149-159.

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI SEBAGAI SOLUSI KEBUTUHAN BELAJAR PESERTA DIDIK YANG BERAGAM

Oleh: Eka Layli Rahmawati, S. Pd. Munculnya kurikulum pembelajaran paradigma baru memberikan guru pilihan untuk melakukan penyusunan rencana pembelajaran dan penilaian sesuai dengan karakteristik peserta didik. Kurikulum pembelajaran paradigma baru menyiapkan peserta didik aktif dalam mengikuti kegiatan apapun yang kegiatannya berpusat pada siswa (Wulandari, 2022). Pembelajaran adalah proses yang kompleks yang dilalui seseorang dalam meningkatkan kemampuan dan potensi yang ada pada diri seseorang. Seseorang mempunyai karakter dan potensi yang berbeda. Guru tidak bisa menyamaratakan peserta didik yang satu dengan yang lainnya, karena mereka memiliki potensi, bakat, dan karakter yang berbeda. Seperti yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa manusia memiliki kekuatan batin dan berkarakter, yang dapat dibedakan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Kompetensi yang diharapkan sesuai karakter dan kekuatan batin peserta didik adalah peserta didik yang cakap dalam berkomunikasi, kolaborasi, berfikir kritis, kreatif, dan inovasi, kemudian kita sebut dengan kompetensi yang sesuai dengan keterampilan abad 21. Perwujudan keterampilan abad 21 melalui proses yang sulit dan juga pengembang yang berkompeten di bidangnya. Guru menjadi fasilitator dan mediator sebagai pemberi layanan dalam mengembangkan keterampilan tersebut melalui proses pembelajaran. Guru tahu bahwa peserta didik yang akan dikembangkan adalah manusia dengan beragam karakter dan kodrat alamiahnya. Sebagai sebagai fasilitator dapat memberikan pelayanan yang baik dengan memberikan apa yang mereka butuhkan baik secara fisik maupun batiniah. Dalam perencanaan pembelajaran, guru sebelumnya harus mengetahui karakter dan bakat minat anak didiknya agar guru tahu bagaimana dan seperti apa pembelajaran yang kelak akan dilakukan untuk memberikan layanan kepada anak didiknya.  Kesesuaian kebutuhan belajar peserta didik dengan perencanaan pembelajaran yang akan dibuat oleh guru berpengaruh terhadap hasil pembelajaran nantinya. Menurut Isrotun (2022), sebagai seorang guru harus dapat mempertimbangkan jenis layanan yang akan diberikan kepada peserta didik berdasarkan kebutuhan belajarnya agar sesuai dengan bakat,minat dan kodratnya. Selain itu, pelayanan juga harus memberikan pengaruh positif terhadap kehidupan anak tersebut. Namun, kenyataanya di sekolah belum banyak berubah dalam menerapkan sistem pembelajaran yang menyamaratakan kemampuan peserta didik. Pendidikan di Indonesia sejauh ini guru hanya meruntuhkan kewajiban tanpa mendalami peran sebagai seorang guru. Selain dalam harus cakap dalam kompetensi pedagogik, guru juga harus memiliki kompetensi sosial. Peserta didik yang membutuhkan bantuan dan motivasi memerlukan bantuan guru untuk mengembangkan minat dan bakat yang ada pada dirinya. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu mengakomodir kebutuhan belajar peserta didik. Salah satu solusi yang dapat dilakukan oleh guru dalam mengatasi adanya karakter, bakat, dan minat peserta didik yang berbeda adalah dengan cara melakukan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi adalah upaya dalam penyesuaian proses pendidikan dengan mempertimbangkan kebutuhan belajar peserta didik baik minat, bakat, kemampuan, keterampilan, dan karakternya. Menurut Tomlinson dalam Ni Putu Swandewi (2021), menyebutkan bahwa pembelajaran berdiferensiasi merupakan suatu proses pembelajaran dimana guru dapat mengakomodasi, melayani, dan mengakui keberagaman peserta didik dalam belajarnya sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan karakternya.  Pembelajaran berdiferensiasi sebagai salah satu cara pembelajaran yang sesuai dengan perubahan kurikulum yang disusun akibat pandemi covid-19 yaitu pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Desy Aprima dan Sasmita Sari (2022), memperkuat pendapat bahwa pembelajaran berdiferensiasi merupakan suatu usaha dalam pelaksanaan pembelajaran yang mampu memperhatikan kebutuhan belajar peserta didik, baik dari segi kesiapan belajar peserta didik, profiling peserta didik, serta minat dan bakatnya. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan pilihan pembelajaran akibat dari adanya tatanan kurikulum baru. Kurikulum baru tersebut merupakan akibat adanya kondisi pandemi yaitu kurikulum merdeka. Kurikulum merdeka merupakan salah satu usaha yang pemerintah lakukan untuk memulihkan kondisi pendidikan.  Pembelajaran berdiferensiasi sejalan dengan pemikiran bapak pendidikan Indonesia yaitu Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan merupakan suatu proses usaha dalam memberi tuntunan kepada peserta didik sesuai dengan kodrat dan kemampuan batiniah peserta didik menuju kebahagiaan setinggi-tingginya (Hetilaniar, Subyantoro, & Rahayu Pristiwati, 2022). Peran guru sebagai pendidik adalah menuntunnya untuk menebalkan garis buram menjadi nyata tanpa merubah atau menambah garis di luar kodratnya. Pembelajaran berdiferensiasi menjadi solusi untuk guru dalam memahami untuk menuntun peserta didik menuju kebahagiaan setinggi-tingginya.  Paradigma pembelajaran berdiferensiasi melihat semua siswa mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi harus memperhatikan beberapa aspek pembelajaran berdiferensiasi agar pembelajaran berjalan secara optimal dan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan. Terdapat 4 aspek yang dapat dilakukan dalam pembelajaran berdiferensiasi. Aspek-aspek dalam pembelajaran berdiferensiasi yaitu: 1) Diferensiasi konten, pembelajaran berdiferensiasi materi yang diajarkan atau disampaikan pada peserta didik dengan mempertimbangkan pemetaan kebutuhan belajar peserta didik yaitu kesiapan belajar, minat, dan profil belajar peserta didik. Pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi aspek konten dapat dilakukan dengan melakukan langkah-langkah yaitu : a) guru merumuskan tujuan pembelajaran, b) menentukan alat evaluasi, c) melakukan evaluasi, d) mendiferensiasikan kelompok yang memiliki tingkat pemahaman sedang, mau berkembang, dan mahir, e) membantu kelompok yang kurang dalam memahami materi (Dewi Sopianti, 2022). 2) Diferensiasi proses, pembelajaran mengacu pada bagaimana peserta didik memahami materi yang diberikan guru melalui kegiatan  berjenjang. Skenario pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi aspek proses yaitu: a) melakukan kegiatan berjenjang dengan memberikan pemahaman yang sama namun dengan dukungan, tantangan, dan kompleksitas yang berbeda, b) memberikan pertanyaan pemandu sesuai dengan kemampuan, c) membuatkan agenda individu, d) memberikan variasi waktu, dan e) mengembangkan modifikasi pengelompokkan yang fleksibel sesuai kebutuhan belajar peserta didik. 3) Diferensiasi produk, guru memberikan variasi tugas dan hasil dari tugas pembelajaran dengan penilaian hasil yang berbeda pula. Tugas dan penilaian untuk masing-masing peserta didik mengacu pada tujuan pembelajaran yang sama, namun dalam bentuk yang berbeda. 4) Lingkungan belajar, mencerminkan kondisi, pengaruh, dan rangsangan yang berasal dar luar peserta didik. Lingkungan belajar yang diharapkan dalam pembelajaran berdiferensiasi ini yaitu lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan. Dengan demikian, pembelajaran berdiferensiasi merupakan paradigma baru yang dapat mengakomodir beragamnya karakteristik peserta didik, sehingga memungkinkan peserta didik untuk belajar sesuai dengan minat dan bakat yang ada pada dirinya. Daftar Rujukan Wulandari, Ade Sintia.(2022).Literature Review: Pendekatan Berdiferensiasi Solusi Pembelajaran dalam Keberagaman.Jurnal Pendidkan MIPA,12(3),682-689. Isrotun, Umi.(2022).Upaya Memenuhi Kebutuhan Belajar Peserta Didik Melalui Pembelajaran Berdiferensiasi.Proceeding STEKOM (pp. 312-321). Semarang:Seminar Nasional Teknologi dan Multidisiplin ilmu. Swandeni, Ni Putu.(2021).Implementasi Strategi Pembelajaran Berdiferensiasi Dalam Pembelajaran Teks Fabel Pada Siswa Kelas VII H SMP Negeri 3 Denpasar.Jurnal Pendidkan Deiksis,3(1),53-62. Aprima, Desy & Sasmita Sari.(2022).Analisis Penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Implementasi Kurikulum Merdeka pada Pelajaran Matematika SD.Jurnal Ilmiah Pendidkan Deiksis,13(1),95-101. Hetilaniar, Subyantoro, & Rahayu Pristiwati.(2022).Penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi pada Materi Pewara Mahasiswa Semester III Prodi Pendidikan Bahasa … Baca Selengkapnya

LITERASI PEMBELAJARAN SEKOLAH DASAR YANG BERKESAN MELALUI KETERAMPILAN LITERASI BERIMBANG

Oleh: Maftukhatur Rosidah Tantangan untuk membudayakan kegiatan membaca tidaklah mudah. Karenanya butuh semangat dan kesadaran untuk menghasilkan perubahan. Literasi membaca bukanlah sekedar kegiatan membaca biasa, melainkan sebuah kegiatan yang bisa membangun budaya itu sendiri. Kegiatan literasi memang merujuk pada kemampuan dasar seseorang dalam membaca dan menulis, sehingga strategi yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan tersebut adalah dengan cara menumbuhkan minat membaca dan menulis melalui pembiasaan. Kegiatan pembiasaan dapat berkembang menjadi literasi pengembangan dan literasi pembelajaran. Perbedaan dari literasi pembiasaan dengan literasi pengembangan dan pembelajaran terletak pada tagihan atau tugas yang diberikan setelah melakukan kegiatan literasi. Menurut hematnya, literasi pembiasaan tidak ada tagihan tugas setelahnya, sedangkan literasi pengembangan dan pembelajaran terdapat tugas setelah kegiatan berliterasi. Kemampuan literasi peserta didik dalam pembelajaran juga menentukan praktik baik dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga harus didesain secara baik serta menyesuaikan dengan kebutuhan belajar peserta didik. Desain literasi pembelajaran telah diterapkan di kelas 5B SDN Kalibanteng Kidul 01 Kota Semarang melalui kegiatan PPL 1 PPG Prajabatan Gelombang 1 Prodi PGSD Universitas Negeri Semarang (25/11/2022). Praktik Mengajar tersebut dilaksanakan melalui kegiatan pengembangan keterampilan literasi berimbang pada pembelajaran tematik materi teks nonfiksi. Untuk meningkatkan sikap gotong royong dan kemampuan berpikir kritis pada peserta didik maka diperlukan juga bantuan media pembelajaran “pohon literasi” yang telah ditempeli potongan-potongan paragraf teks nonfiksi.   Penerapan keterampilan literasi berimbang yang diimplementasikan di kelas 5B SDN Kalibanteng Kidul 01 yaitu menyederhakan 8 komponen literasi berimbang menjadi 3 komponen saja. Ketiga komponen yang digunakan diantaranya yaitu: membaca nyaring yang diintegrasikan dengan membaca bersama, dan menulis bersama (menulis interaktif). Kegiatan pembelajaran dimulai dengan pembiasaan membaca teks dengan suara nyaring. Dalam keterampilan literasi berimbang yang diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran, peserta didik dibagi menjadi lima kelompok. Peserta didik bekerja sama dengan anggota kelompoknya untuk memperoleh informasi dengan membaca sebuah penggalan paragraf yang telah di tempel pada pohon literasi. Karena keterbatasan waktu yang disediakan, sedangakan setiap peserta didik dituntut untuk menyelesaikan sebuah masalah dari teks yang sama, maka mereka harus melakukannya dengan cara membaca secara bergantian menggunakan suara yang nyaring. Sehingga anggota kelompok yang lainnya dapat menyimak dan memperoleh informasi yang di dapat secara utuh. Kegiatan selanjutnya yaitu menulis interaktif. Setelah peserta didik melakukan aktivitas membaca, mereka harus menuliskan informasi yang mereka peroleh di buku tulis masing-masing menggunakan gaya dan bahasa mereka sendiri. Semua anggota kelompok menuliskan informasi yang didapat secara bergantian sehingga akan diperoleh ide pokok dengan kalimat-kalimat yang yang sempurna dan menjadi sebuah teks yang utuh. Aktivitas penyederhanaan komponen dan mengemas kegiatan dalam sebuah permainan literasi berimbang tetap dapat diterapkan meskipun harus dimodifikasai sedemikian rupa untuk menyesuaikan situasi dan keadaan di kelas 5B tersebut. Berdasarkan beberapa tahap implementasi kegiatan literasi berimbang yang telah diterapkan, dapat disimpulkan bahwa literasi berimbang mampu menyeimbangkan dua keterampilan yaitu keterampilan membaca dan menulis serta mampu meningkatkan motivasi belajar peserta didik yang dibuktikan dengan antusias peserta didik dalam menjawab kuis dan hasil belajar yang lebih baik dari pembelajaran sebelumnya.

STRATEGI MENCIPTAKAN LINGKUNGAN FISIK KAYA TEKS DALAM UPAYA PENINGKATAN MINAT BACA PESERTA DIDIK SEKOLAH DASAR

Oleh: Siti Munifatul Khasanah, S.Pd. Keterampilan literasi merupakan kebutuhan yang harus dimiliki seseorang supaya dapat bersaing secara global. Salah satu dasar majunya sumber daya manusia ditandai dengan kemampuan di bidang literasinya. Literasi dijadikan salah satu prasyarat kecakapan hidup pada abad ke 21 selain yang berkaitan dengan teknologi.  Kecakapan dalam hal literasi digunakan untuk membantu individu mendapatkan keterampilan dasar untuk menunjang kesuksesan dalam hidupnya. Keterampilan membaca memiliki peran penting dalam kehidupan setiap individu. Hal ini karena berbagai informasi, pengetahuan dan pengalaman didapatkan melalui kegiatan membaca. Sesuatu yang dibaca tersebut akan meningkatkan daya pikiran, membuat wawasan semakin luas, dan pandangan terhadap sesuatu semakin tajam. Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Indonesia ternyata memiliki  kemampuan literasi dan minat baca yang termasuk terendah di dunia. Kemampuan membaca yang dimiliki masyarakat Indonesia masih berada di urutan bawah dari negara-negara lain menurut PISA (Program for International Students Assesmet). Data menurut World’s Most Literate Nations pada tahun 2017, Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei dalam hal kemampuan literasi. Selain data tersebut, diungkapkan juga bahwa literasi pada kemampuan membaca peserta didik Indonesia berada pada kategori kurang yaitu 46,3%, pada kateri baik 6,06% dan kategori cukup 47,11% hasil dari pusat penelitian pendidikan kemendikbud yaitu Indonesia National Assesment Program pada tahun 2016. Melihat dari data tersebut dapat dipahami bahwa masih rendahnya literasi pada kemampuan membaca peserta didik Indonesia, maka diperlukan langkah untuk meningkatkannya. Upaya dalam meningkatkan minat membaca peserta didik diperlukan suasana lingkungan fisik baik kelas maupun sekolah yang akan kaya teks seperti pengadaan teks cetak, visual, maupun digital yang mudah dijelajahi oleh seluruh elemen sekolah, pengoptimalan perpustakaan, pojok baca dan penyediaan tempat yang nyaman untuk membaca buku. Upaya tersebut bertujuan untuk menumbuhkan rasa cinta baca peserta didik dan pengalaman belajar berbasis literasi yang menyenangkan sehingga dapat dirasakan peserta didik. Peran kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolahan dan guru sebagai orang yang secara langsung berinteraksi dengan peserta didik ini perannya sangat diperlukan  meningkatkan minat baca peserta didik. Salah satu langkah yang dapat dilakukan sekolah yaitu penciptaan lingkungan fisik yang kaya teks dengan harapan dapat meningkatan minat baca peserta didik sekolah dasar. Lingkungan fisik kaya teks dimaksudkan sebagai lingkungan dimana peserta didik berhubungan langsung dengan berbagai bentuk bacaan cetak yang di pasang ditempat-tempat yang strategis di sekolah. Bentuk bacaan cetak dapat berupa tanda, simbol, sudut baca yang berlabel, mading, cerita dinding, buletin, poster, display kata, puisi, mural serta berbagai bahan cetak lainnya. Menciptakan lingkungan sekolah kaya teks dapat dimulai dari tempat awal peserta didik masuk ke gerbang sampai peserta didik memasuki ruang kelas. Area-area tertentu yang sekiranya strategis untuk dapat diletakkan teks-teks yang kemudian dapat dibaca oleh peserta didik seperti pintu gerbang, aula, parkiran sekolah, area baca, UKS, didalam maupun di luar kelas, lorong-lorong kelas sampai dengan toilet kelaspun dapat dijadikan tempat untuk menciptakan lingkungan sekolah yang kaya teks. Lingkungan fisik menjadi bahan yang penting untuk dikembangkan karena lingkungan fisik adalah yang pertama di lihat oleh peserta didik Strategi menciptakan lingkungan fisik kaya teks diantaranya yang pertama membuat bagan-bagan pendukung literasi. Sebuah sekolah yang kaya teks perlu memajang berbagai jenis teks yang dapat digunakan sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Perlunya bagan-bagan pendukung literasi di setiap kelas dapat digunakan sebagai media pembelajaran dan memfasilitasi peserta didik untuk terlibat dalam pembelajaran literasi. Strategi yang kedua dapat membuat bagan-bagan fungsional untuk komunikasi di kelas. Tanda atau label yang mempunyai fungsi untuk alat komunikasi informasi di kelas. Bagan fungsional sebagai sarana komunikasi kegiatan sehari-hari di kelas berupa jadwal harian, daftar piket kelas, tata tertib kelas, bagan kehadiran peserta didik, dan daftar peserta didik di kelas dan masih banyak lagi. Strategi ketiga guru dapat memajang tulisan-tulisan peserta didik. Hasil karya tulisan peserta didik yang dipajang dikelas maupun di lingkungan sekolah, hal ini akan membuat peserta didik termotivasi untuk menulis lebih banyak karena mereka merasa berkontribusi dan karyanya dihargai serta ditampilkan untuk dilihat oleh semua warga sekolah. Hasil tulisan yang dipajangpun dapat bermanfaat untuk peserta didik yang lain karena dapat membacanya setiap saat sehingga kemampuan membaca dan menulispun dapat meningkat. Karya peserta didik yang dipajang dapat berupa puisi, pantun, cerita pendek yang ditulis oleh peserta didik maupun lembar kerja atau tugas kelas dalam bentuk menulis. Strategi keempat menciptakan tulisan-tulisan yang berisikan kata-kata motivasi yang diletakkan di sepanjang lingkungan sekolah mulai dari gerbang sekolah sampai dengan ujung sekolah. Melalui tulisan-tulisan singkat yang di pasang, harapannya peserta didik akan familiar dan terbiasa dengan kata-kata tersebut sehingga rasa cinta terhadap literasi dapat tumbuh secara tidak langsung. Sebagai contoh dari awal gerbang peserta didik masuk sudah tertera kata selamat datang di sekolah konservasi, ataupun papan yang tertulis senyum, sapa, salam, sopan, dan santun. Di lorong-lorong kelas yang dapat dipajang tulisan motivasi untuk giat belajar. Kemudian ruang UKS yang dapat dipajang tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kesehatan. Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa membentuk literasi membaca bukan hal yang mudah dilaksanakan, yang pasti adanya kemauan untuk berubah dan melaksanakannya. Upaya-upaya yang dapat dilakukan disekolah untuk membentuk literasi sehingga terjadi peningkatan minat baca peserta didik diantaranya yaitu menciptakan lingkungan sekolah yang kaya teks. Adapun tempat-tempat yang dapat dilakukan mulai dari pintu gerbang sekolahan, area parkir, lorong-lorong kelas, ruang kelas di dalam maupun luar kelas, UKS, hingga toilet, hasil karya peserya didik turut menghiasi dinding-dinding setiap sudut sekolahan. Lingkungan fisik yang kaya akan teks diharapkan minat peserta didik dalam belajar literasi dapat tumbuh terutama membaca dan menulis.

PEMBELAJARAN YANG SESUAI SIFAT ALAM DAN SIFAT ZAMAN

Oleh: Muhammad Zulfikar Amiruddin Menurut konsep pendidikan ki Hajar Dewantara, ketiga fokus pendidikan tersebut adalah tigapusat pendidikan, yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkunganmasyarakat, yang semuanya memiliki peran dan tanggung jawab sinergis dalam mengembangkanpendidikan. Manusia merdeka, menurut KHD, adalah manusia yang hidupnya tidak bergantung padaorang lain, baik secara fisik maupun mental, tetapi pada kekuatannya sendiri. Di dalam kelas,anakanak harus belajar dengan bebas, tanpa ditekan, tanpa takut disalahkan, bebas mengemukakanpendapat, dan bebas mengembangkan kreativitasnya. Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai upaya untuk mengarahkan semuakekuatan alam yang ada pada peserta didik sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agarmereka dapat mencapai kesempurnaan dalam hidup. Proses pendidikan secara umum akandipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hakikat keluarga, hakikat perguruan tinggi (sekolah), dan hakikatgerakan pemuda adalah lingkungan sosial yang dimaksud (masyarakat). Ia mengingatkan para guruuntuk tetap terbuka dan up to date, namun tidak semua yang baru itu baik, sehingga harus diselaraskanterlebih dahulu. Indonesia juga memiliki potensi budaya yang dapat dimanfaatkan untuk belajar. KHD menjelaskan bahwa hakikat alam dan hakikat zaman merupakan inti dari pendidikan anak. Sifatlingkungan di mana anak berada terkait dengan sifat dan bentuk lingkungan, sedangkan sifat zamanterkait dengan konten dan ritme. Ini berarti bahwa setiap anak sudah membawa sifat atau karakteristikmereka sendiri; oleh karena itu, sebagai guru, kita tidak dapat menghilangkan sifat-sifat dasar ini;sebaliknya, kita dapat menunjukkan dan membimbing mereka sehingga sifat-sifat baik merekatampak menutupi / mengaburkan sifat-sifat jelek mereka. Anak-anak usia sekolah dasar, menurutsifatnya, masih menikmati bermain. Mereka akan senang jika bermain; Sebagai guru, merekaberkolaborasi dalam permainan dalam pembelajaran dengan harapan pembelajaran akan bermaknabagi anak dan mereka akan bahagia. Sifat zaman dapat diartikan bahwa kita, sebagai guru, harus membekali siswa denganketerampilan yang sesuai dengan zamannya agar mereka dapat hidup, bekerja, dan menyesuaikan diri.Ya, kita harus membekali siswa dengan keterampilan Abad 21 dalam konteks pembelajaran hari ini.Etika juga harus menjadi komponen penting dari pendidikan dan pengajaran yang kita lakukansebagai guru. Dalam mengembangkan etika, guru harus selalu memberikan contoh yang baik bagisiswanya. Di sekolah, kita juga dapat melakukan kegiatan pembiasaan untuk menanamkan nilai-nilaietika/moral yang luhur pada anak.Hal terpenting yang harus dilakukan seorang guru adalahmenghormati dan memperlakukan anak dengan sebaik-baiknya sesuai kodratnya, melayani merekadengan setulus hati, memberikan teladan (ing ngarso sung tulodho), membangun semangat (ingmadyo mangun karso) dan memberikan dorongan (tut wuri handayani) bagi tumbuh kembangnyaanak. Menuntun mereka menjadi pribadi yang terampil, berakhlak mulia dan bijaksana sehinggamereka akan mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Guru dapat merancang kegiatan pembelajaran dengan menyesuaikan penggunaan pendekatan, strategi, metode, teknik pembelajaran media yang mampu melayani berbagai gaya belajar baik audio, visual, dan kinestetik, serta menyesuaikan dengan kearifan budaya lokal apa yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga akan terbentuk manusia indonesia yang merdeka, mandiri, inisiatif, berpikir kreatif, berinovasi, berkarya, serta berbudi pekerti luhur. Generasi Z saat ini sedang berada di generasi digital, semua kemudahan dan keceapatan dalam duniateknologi bisa guru manfaatkan dalam kegiatan pembelajaran. Misalnya memanfaatkan perpustakaanonline dalam kegiatan literasi, membuat konten pembelajaran menggunakan aplikasi edit video,gambar dan membagikannya di akun sosial media. Dengan kerjasama dan bimbingan antar guru danorang tua diharapkan teknologi digital dapat berdampak positif bagi perkembangan anak.

KONSEP DAN FILOSOFI KI HADJAR DEWANTARA

Oleh: Aliya Rahmawati Pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang dunia pendidikan sesuai dengan kondisi masyarakat di Indonesia, bahkan pemikirannya masih relevan hingga saat ini. Benar adanya yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara yang pada intinya kita harus bisa bangga atas apa yang kita punya, tidak usah meniru orang lain. Belum tentu milik orang lain sesuai dan cocok untuk diri kita sendiri. Tetapi, kita juga harus belajar untuk memaksimalkan apa yang kita punya. Pemikiran yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dapat menjadi landasan dalam menentukan Kebijakan Pendidikan yang diambil dalam pelaksanaan Pendidikan nasional. Karena, didalam pemikiran Ki Hajar Dewantara terdapat makna filosofi, kultural yang sesuai bagi masyarakat bumi pertiwi Indonesia. Pelaksanaan Pendidikan perlu adanya landasan Pendidikan yang mampu memberikan ciri khas sesuai dengan falsafah kehidupan bangsa. Seperti pemikiran-pemikiran oleh Ki Hajar Dewantara.  Ki Hajar Dewantara adalah sosok pemikir dan penggiat Pendidikan. Ia juga dijuluki sebagai bapak Pendidikan nasional yang hari kelahirannya diperingati sebagai hari Pendidikan nasional yakni setiap tanggal 2 Mei. Pada mulanya, Ki Hajar dewantara terkenal akan tulisan-tulisannya yang berbau politik dan menggugah semangat perjuangan bangsa. Setelah itu, Ki Hajar Dewantara memberikan perhatian terhadap Pendidikan dan pengajaran. Pemikiran-pemikirannya serta perhatiannya terhadap dunia Pendidikan menjadikan Ki Hajar Dewantara menjadi salah satu tokoh peletak dasar Pendidikan Bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia, masyarakat merasa memiliki kewajiban untuk memajukan dan memperbaiki berbagai hal dalam pendidikan. Namun tidak ada contoh yang baik untuk diterapkan di sekolah. Kemudian tidak ada cukupnya motivasi untuk mencari pengetahuan sendiri dan hanya berfokus pada nilai yang tinggi pada rapor. Indonesia hanya dipandang sebagai objek perdagangan selama masa penjajahan. Kemudian terdapat intruksi untuk mengajarkan kepada rakyat untuk belajar membaca, menulis dan berhitung seperlunya sajaguna membantu jalannya perusahaan. Pemberian pengajaran bebas hanya bisa untuk bangsa Eropa. Di saat bersaman didirikan juga “sekolah-sekolah kabupaten” yang hanya untuk mendidik calon pegawai. Ki Hadjar Dewantara bertekad untuk meluaskan semangat pendidikan kepada generasi muda. Upaya untuk mendidik kaum muda merupakan syarat utama dalam membebaskan diri dari jeratan penjajah. Pendidikan yang mendasarkan kebudayaan nasional dapat menghindari dari kebodohan. Pendidikan yang ada pada masa kolonial tidak mencerdaskan, melainkan mendidik manusia untuk tergantung pada nasib dan bersikap pasif. Kondisi tersebut justru membuat Ki Hajar Dewantara tergerak untuk mendirikan sekolah untuk rakyat. Sistem pendidikan masa kolonial tidak dapat menjadikan warga pribumi belajar sepenuhnya. Melihat fenomena tersebut, Suwardi Suryaningrat atau dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara mengorganisir dan memperbarui pendidikan nasional dengan mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan terlihat dari konsep mengenai Tri Pusat Pendidikan, bahwa dalam kehidupan anak-anak, terdapat tiga tempat penting yang menjadi pusat pendidikan bagi mereka, yaitu alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda. Pada saat yang bersamaan didirikanlah sekolah Bumiputera yang hanya memiliki 3 kelas dimana anak-anak diajarkan membaca, menulis dan berhitung seperlunya guna membantu usaha dagang mereka. Selain itu mereka juga memberikan pendidikan bagi calon mudir dokter untuk kepentingan mereka, yaitu guna menangani wabah cacar air disepanjang pantai utara pulau Jawa karena khawatir angka kematian penduduk yang tinggi akan berdampak pada hasil panen mereka. Sistem pendidikan masa kolonial tidak dapat menjadikan warga pribumi belajar sepenuhnya. Melihat fenomena tersebut, Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara mengorganisir dan memperbarui pendidikan nasional dengan mendirikan Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan terlihat dari konsep mengenai Tri Pusat Pendidikan, bahwa dalam kehidupan anak-anak, terdapat tiga tempat penting yang menjadi pusat pendidikan bagi mereka, yaitu alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda. Dari konsep tersebut lahirlah istilah Tripusat Pendidikan yang menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional meliputi tiga hal, yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat. Selain konsep Tri Pusat Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara juga mencetuskan lima asas pendidikan yang dikenal dengan Pancadharma, yaitu 1) Kodrat alam; 2) Kemerdekaan; 3) Kebudayaan; 4) Kebangsaan; dan 5) Kemanusiaan. Asas kodrat alam memiliki makna bahwa secara lahiriah akal pikiran manusia dapat berkembang dan dikembangkan. Kemudian asas kemerdekaan dapat diartikan bahwasanya para peserta didik diarahkan untuk merdeka secara lahir dan batin baik pikiran maupun tenaganya dimana mereka tidak hanya diberikan pengetahuan searah, tetapi juga diberi kebebasan untuk merdeka dalam mengembangkan diri mereka secara mandiri. Asas ketiga ialah kebudayaan, yaitu asas yang menyadarkan peserta didik bahwa pendidikan didasari sebagai sebuah proses yang dinamis. Selanjurnya adalah asas kebangsaan yang artinya dalam belajar peserta didik harus menimbuhkan rasa cinta tanah air dalam dunia mereka. Terakhir adalah asas kemanusiaan dimana diharapkan pendidikan dapat mengatasi segala perbedaan dan diskriminasi daerah, suku, keturunan dan agama. Konsep dan filosofi Ki Hadjar Dewantara inilah yang menjadi pedoman serta acuan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Salah satunya adalah dikembangkannya Kurikulum Merdeka supaya siswa dapat memilih apa yang diminatinya dalam pembelajaran sehingga nantinya tujuan dari pendidikan nasional tercapai, yaitu merdeka belajar, merdeka mengajar untuk Indonesia merdeka sesungguhnya. Pendidikan menjadi salah satu bidang yang juga sangat terpengaruh oleh perkembangan IPTEK. Dalam konteks mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa yang akan datang yang begitu lekat dengan penggunaan teknologi, maka pendekatan IPTEK di bidang pendidikan amat sangat diperlukan. Ki Hadjar Dewantara menyatakan bahwa “Untuk mendapatkan sistem pengajaran yang berfaedah bagi perikehidupan bersama, haruslah sistim itu disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat serta pentingnya asas menurut keadaan (natuurlijkheid), dalam arti segala alat, usaha dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodratnya keadaan.” Makna yang tersirat dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut adalah pentingnya kontekstualitas dalam pendidikan, pendidikan yang sesuai dengan zamannya, atau asas menurut keadaan (natuurlijkheid). Para siswa dan anak-anak kita yang saat ini sedang belajar adalah generasi penerus bangsa yang kelak akan mewarnai kehidupan dan peradaban bangsa Indonesia. Maka dari itu, perikehidupan dan kehidupan yang “serba teknologi” harus dipersiapkan sejak dini, supaya para generasi penerus kita tidak gagap teknologi sekaligus tidak kehilangan moral pijakan sebagai bangsa Indonesia.