Jowonews

Media Pembelajaran Inovatif

Oleh: Tri Ristianawati Arah pendidikan di Indonesia, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memerlukan konsep “merdeka belajar”. Konsep kebebasan dan pembelajaran dipandang sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang bebas sebagai sebuah ekspresi peserta didik dapat lebih mandiri, dapat belajar lebih banyak untuk mendapatkan pengetahuan. Belajar adalah kegiatan dimana seseorang berusaha mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan sumber belajar yang bermacam-macam. Penggunaan sumber belajar dalam hubungannya dengan lingkungan belajar yaitu bagaimana mentransfer atau mendistribusikan materi dari guru sesuai rencana sehingga peserta didik belajar secara efektif dan efisien. Di samping itu media pembelajaran juga berperan sangat penting di dalam keegiatan belajar. Media adalah alat untuk menyampaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru untuk mempermudah dan memperjelas penyampaian materi pembelajaran agar lebih mudah diterima dan diingat oleh siswa. Pada artikel ini mari kita diskusikan mengenai pengertian, manfaat, jenis-jenis media pembelajaran, dan contoh media pembelajaran inovatif. Karena sifatnya teoritis, mungkin artikel ini agak membosankan. Tapi saya pikir konsep ini penting untuk dipahami agar kita memiliki landasan untuk mengembangkannya. Sudjana dan Rivai (2017:1) mengemukakan bahwa media pengajaran sebagai alat bantu mengajar dalam komponen metodologi, yaitu sebagai salah satu lingkungan belajar yang diatur oleh guru. Hamdani (2010: 244) menyebutkan bahwa media pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi terhadap siswa dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran dapat dikatakan sebagai alat yang digunakan untuk merangsang siswa dalam proses belajar. Sudjana & Rivai (2017: 43) menyatakan kegunaan/manfaat media pembelajaran dalam proses pembelajaran yaitu: 1) Siswa akan merasa tertarik dengan pembelajaran tersebut dan dapat membangkitkan motivasi belajar peserta didik, 2) Bahan pembelajaran akan mudah dipahami, sehingga peserta didik dapat menguasainya dan mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, 3) Metode pembelajaran bervariasi dan tidak monoton sehingga membuat peserta didik tidak semakin bosan, 4) Peserta didik akan semakin aktif dalam pembelajaran. Dengan merujuk pada teori kognitif Piaget yang dapat diketahui bahwa anak usia sekolah dasar memasuki tahapan operasional konkret. Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir dengan menggunakan logika namun masih dalam bentuk benda konkrit. Pada tahap ini anak dapat melakukan pengelompokkan, membandingkan tetapi belum sepenuhnya dapat memecahkan masalah abstrak. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan, karena dalam proses berpikirnya sudah mampu untuk menyusun serta mengkombinasikan berbagai hubungan secara logis sehingga dapat memahami kesimpulan tertentu. Dan pada usia ini, anak menunjukkan perilaku belajar, menurut Susanto (2016) yang ditandai dengan ciri-ciri: (1) anak dapat memandang dunia secara objektif; (2) anak dapat berpikir dengan benda konkrit; (3) anak dengan menggunakan berpikir operasionalnya dapat mengelompokkan benda-benda yang bervariasi berdasarkan tingkatannya; (4) anak dapat menghungkan sesuatu dengan menggunakan sebab akibat. Menurut (Briggs dalam Hamdani 2010: 243) media pembelajaran dapat berupa alat yang berfungsi untuk menyampaikan materi pengajaran yang meliputi buku, tape recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide (gambar), foto, gambar, grafik, televise, dan computer. Media adalah komponen sumber belajar yang berisi materi instruksional di lingkungan siswa, yang digunakan merangsang siswa untuk belajar. Menurut Hamdani (2011: 248) media pembelajaran dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1) Media Visual. Media visual adalah media yang hanya dapat dilihat dengan menggunakan indera penglihatan. Media visual terdiri atas media yang tidak dapat diproyeksikan (non projected visuals) dan media yang dapat diproyeksikan (project visuals). Contoh media pembelajaran yang dapat diproyeksikan adalah gambar diam (still pictures) atau bergerak (motion pictures). Sedangkan contoh media yang tidak dapat diproyeksikan adalah gambar tentang manusia, hewan, tumbuhan, atau lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran;  2) Media Audio. Media audio adalah media yang hanya dapat di dengar dengan menggunakan indera pendengaran yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhartian, dan kemampuan peserta didik dalam memahami bahan ajar. Contoh media audio dapat berbentuk seperti kaset suara dan radio; 3) Media Audio Visual. Media audio visual merupakan gabungan dari audio dan visual. Penyajian media audio visual pada peserta didik semakin kompleks dan optimal. Dalam menggunakan media audio visual, guru hanya sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan peserta didik dalam belajar. Contoh media audio visual adalah video, televise, dan program slide suara (soundslide). Contoh media pembelajaran inovatif adalah pengembangan media wayang hewan berkarakter. Menurut Mertosedono (1990: 6) wayang merupakan seni budaya atau hasil dari kreasi kebudayaan orang Jawa (bangsa Indonesia). Di dalamnya terdapat sebuah ajaran yang mencerminkan karakter dari manusia, sehingga sangat effektif sebagai saran penerangan, sarana pendidikan, dan sebagai hiburan. Menurut Prof. Kern (dalam Mertosedono 1994: 28) mengatakan bahwa wayang berasal dari kata wod dan yang. Yang mempunyai arti gerakan yang dilakukan berulang-ulang atau tidak tetap. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hakikat wayang adalah bayangan yang bergerak secara bolak-balik atau berulang-ulang atau mondar-mandir tidak tetap pada tempatnya. Media wayang adalah alat perantara media visual yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi guru dengan siswa dalam menyampaikan materi dongeng yang digerakkan dengan tangan dan berbentuk gambar. Media wayang merupakan salah satu media yang tepat untuk meningkatkan kemampuan menyimak. Hal tersebut didasarkan pada beberapa hal, antara lain dengan warna-warna mencolok yang dapat menarik perhatiaan siswa, serta bentuk wayang yang lucu dapat menarik minat anak untuk memainkannya. Media wayang ini dapat membantu pembelajaran yang digunakan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran menyimak cerita yang terbuat dari kertas yang berbentuk gambar kartun atau gambar asli yang diberi tangkai untuk menggerak-gerakkannya. Wayang yang digunakan bisa disesuaikan dengan tema cerita. Penggunaan media wayang dapat membuat pembelajaran menjadi menarik sehingga anak akan merasa senang dan tertarik untuk mendengarkan serta menyimak cerita. Media ini bertujuan untuk mengembangkan media pembelajaran pada materi dongeng serta dapat meningkatkan hasil belajar pada materi dongeng. Di samping itu media ini bertujuan untuk memberikan contoh karakter yang dibuat dan sesuai dengan cerita. Merujuk pada landasan teori media berbentuk kerucut oleh Edgar Dale diketahui bahwa pengalaman langsung akan memberikan informasi yang terdapat dalam pengalaman itu sendiri, serta melibatkan semua indra yang dimiliki. Media wayang hewan berkarakter memberikan pengalaman langsung kepada siswa terkait materi memahami teks bacaan dongeng. Hal ini dapat membuat siswa lebih memahami dengan materi yang disampaikan dan mampu mempengaruhi hasil belajar siswa. Jadi guru perlu menciptakan/merancang media pembelajaran yang inovatif sesuai dengan karakteristik materi, tujuan pembelajaran, dan metode yang digunakan sehingga dapat bermanfaat bagi peserta didik. Pengoptimalan … Baca Selengkapnya

MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA DENGAN PEMBELAJARAN INTERAKTIF

Oleh Damayanti Purnama Putri, S.Pd Setiap manusia pasti pernah menghadapi kesulitan dalam hidupnya. Tidak jarang juga karena terlalu sering melalui kesulitan itu, seseorang justru terbiasa untuk berfikir kreatif. Dorongan untuk mempertahankan hidupnya telah mengasah kreativitas seseorang. Dalam latar belakang dokumen kurikulum 2013 menyebutkan bahwa peserta didik menjadi manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, maka diperlukan pengembangan kurikulum yang berbasis kompetensi yang merupakan strategi pembangunan Pendidikan nasional. Berkaitan dengan hal itu Lembaga Pendidikan memiliki peran penting dalam pembinaan kreativitas peserta didik. Ada beberapa ciri-ciri kreativitas yang dimiliki oleh individu yang kreatif yaitu dengan membedakan antara ciri-ciri kognitif (aptitude) yaitu yang berhubungan dengan kognisi, meliputi proses berpikir dan kelancaran, kelenturan dalam berpikir, mengembangkan suatu gagasan. Sedangkan ciri-ciri afektif (non-aptitude) yaitu berkaitan dengan sikap atau perasaan, rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, berani mengambil resiko dan saling menghargai. Para pendidik atau guru dapat melakukan pembinaan kreativitas terhadap peserta didik, dengan pembiasaan ini akan membuat peserta didik terbiasa berpikir atau menggunakan pemahaman untuk terus mengembangkan kreativitasnya. Guru dapat memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan untuk memudahkan guru dalam mengimplementasikan pembelajarannya melalui laptop, LCD yang menggunakan jaringan internet.  Pembelajaran interaktif adalah suatu pendekatan yang merujuk pada pandangan konstruktif. Pembelajaran interaktif menitikberatkan pada pembelajaran aktif yang melibatkan diri dalam keseluruhan proses dalam fisik maupun mental. Pembelajaran interaktif dirancang agar siswa aktif bertanya, dan menemukan jawaban mereka sendiri. guru berperan sebagai pengajar, motivator, fasilitator, mediator, evaluator, dan pembimbing. Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kreativitas peserta didik, peran guru sangat penting dalam mengelola pembelajaran dengan cara membina kreativitas peserta didik dengan cara penerapan pembelajaran interaktif, dalam hal ini pesera didik diberikan kebebasan dan kesempatan untuk melibatkan keingintahuannya dengan cara melakukan penyelidikan mengenai permasalahan itu sendiri dan menyelesaikannya dengan kreativitas masing-masing peserta didik.

PRAGMATISME PADA PEMBELAJARAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN

OLeh FEBY ANDRIANI Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu “pragma” yang memiliki arti Tindakan atau perbuatan. Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang memiliki pandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu adalah, apakah sesuatu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata. Oleh sebab itu keenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak. Suatu konsep atau peraturan sama sekali tidak dapat memberikan kegunaan bagi masyarakat tertentu, tetpai dapat dibuktikan berguna bagi masyarakat. Manusia memiliki kemampuan untuk bekerja sama. Pragmatisme mempunyai keyakinan bahwa manusia mempunyai kemampuan yang wajar. Menurut pragmatisme, Pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan potensi yang ada dalam diri anak tersebut, juga jangan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan laten yang memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan keinginan dan tujuan anak tersebut. Pragmatisme Pendidikan dipelopori oleh filsuf Amerika John Dewey didasarkan pada perubahan, proses, relatifitas, dan rekonstruksi pengalaman. Pragmatisme Pendidikan Dewey cukup dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin bahwa semua makhluk hidup baik secara biologis maupun sosiologi memiliki naluri untuk bertahan hidup dan dapat berkembang. Dalam filsafat Pendidikan John Dewey, pengalaman adalah kata kunci. Pengalaman dapat didefinisikan sebagai interaksi antara makhluk manusia dengan lingkungannya. Menurut Darwin, hidup adalah ketergantungan dari kemampuan memecahkan masalah-masalah, maka Dewey memandang bahwa Pendidikan menjadi tempat pelatihan bagi ketrampilan dan metode pemecahan masalah atau (problem solving skills and methods). Penerapan Pragmatisme dalam Pendidikan, proses dari Pendidikan dalam pragmatisme bertujuan untuk memeberikan pengalaman empiris kepada siswa sehingga terbentuk suatu pribadi yang belajar,berbuat (learning by doing). Proses ini dapat berlangsung selamanya. Dalam pandangan filsafat pragmatisme, siswa memiliki akal dan kecerdasan. Artinya siswa secara naluriah dan alamiah sudah memiliki kecenderungan untuk terus berkreatif dan dinamis dalam perkembangan zaman. Siswa memiliki bekal untuk dapat menghadapi dan memecahkan masalah yang dihapadapi. Dalam pembelajaran, Pendidikan pragmatisme terus selalu menekankan pada pengalaman hidup dan cara bagaimana menghadapi masalah dimanapun siswa tersebut berada. Nantinya siswa akan dapat berfikir kritis dan berhasil beradaptasi dengan segala perubahan- perubahanpada kehidupan dunia. Peran dari guru dalam Pendidikan pragmatisme merupakan sebagai pengawas serta pembimbing dalam pembelajaran pengalaman tanpa mengaggu minat dari siswa. Dan pihak sekolah harus mampu memberikan dan mneyesuaikan segela aspek, karena peranya sebagai tempat untuk mengajarkan pengalaman kehidupan yang terus berubah- ubah dan seharusnya sekolah juga lebih memperioritaskan dan mengedepankan muatan pengalaman pembelajaran dibandingkan muatan materi dan nilai akhir. Tujuan dari pragmatisme yaitu adalah aliran yang mau menerima segala hal, asal hal tersebut berakibat baik dan berguna. Aliran ini mementingkan kegunaan suatu pengetahuan dan bukan kebenaran objektif dari pengetahuan. Dalam Pendidikan tidak ada tujuan khusus yang dapat ditentukan sebelumnya dan berlaku baik dan juga benar untuk semua anak sepanjang waktu, tempat dan situasinya. Tujuannya untuk mendukung anak sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan dibidang kegiatan akademik agar mereka tumbuh dan berkembang dengan berhasil dan mencapai kehidupan yang lebih Bahagia. Pendidikan Pragmatisme berwatak humanis dan juga manusia merupakan ukuran segalanya. Rasio manusia tidak pernah terpisah dari dunia, bahkan menjadi bagian dari dunia itu sendiri. Pengetahuan dari manusia harus dinilai dan dapat diukur dengan kehidupan yang praktis, juga benar tidaknya hasil dari pemikiran manusia akan terbukti di dalam penggunaanya dalam praktek. Jadi teori dikatakan benar jika dapat berfungsi praktis bagi kehidupan manusia. Dalam Pendidikan pragmatisme, semua dari materi dapat disajikan dengan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah dilakukan observasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, juga materi tersebut dimungkinkan mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan tersebut. Peran dari guru hanyalah sebagai fasilitator dan motivator kegiatan siswa. Semua kegiatan siswa dilakukan dengan sendiri seiring dengan minat dan bakat yang dimiliki siswa tetapi guru tetap memberikan arahan yang memungkinkan siswa tersebut dapat berkembang sesuai dengan keinginan dan bakat minat yang dimiliki. Daftar Pustaka Andriani, Fera. 2017. Pragmatisme: Menepis Keraguan, Memantapkan Keyakinan. Syaikhuna Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, 8(2), 240-249. Istiqomah, Murwati dkk. 2022. Implikasi Aliran Pragmatisme dalam Pendidikan. Media Penelitian Pendidikan: Jurnal Penelitian dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran, 16(02), 102-106.

Pembelajaran Berdiferensiasi Sebagai Jembatan Kembalinya Fitrah Anak dan Fitrahnya Pembelajaran

Oleh: Zhahira Mulkiyatillah Tantangan semakin besar yang dialami pada zaman yang semakin maju. Salah satu tantangannya adalah para orang tua dan guru yang masih menuntut anak untuk unggul dalam segi pengetahuan/kognitifnya an mengejar nilai yang bagus tanpa memahami rahasia atau anugerah potensi apa yang diberikan pada anak dari sang Pencipta. Orang tua atau pun guru yang mendidik anak dengan baik sekarang, belum tentu anak tersebut dimasa mendatang akan selalu terjaga fitrahnya dengan baik. Padahal semua bayi yang dilahirkan ke bumi memiliki fitrah untuk belajar dan mereka adalah pembelajar yang tangguh. Lihatlah bayi yang tidak menyerah belajar merangkah, lalu berjalan kemudian berlari yang bebas untuk mencoba tanpa peduli berapa kali dia terjatuh, tetapi kenapa semakin lama belajar bisa jadi membosankan, merasa ketidaknyamanan serta mengantisipasi waktu pulang belajar. Begitupun kendala terhadap guru yang sering kali masih menggunakan metode konvensional tanpa memberikan kesempatan kepada siswanya untuk berpartisipasi aktif dalam belajar sehingga mucul kurang minatnya siswa pada pelajaran yang sedang diajarkan. Pembelajaran berdiferensiasi dapat menjadi salah satu solusi ketika guru dihadapkan masalah tersebut. Pembelajaran berdiferensiasi merupakan suatu rangkaian pembelajaran yang mengakomodir kebutuhan belajar dan karakteristik setiap siswa yang bertujuan memberikan kesempatan siswa untuk berkembang lebih optimal sesuai fitrah tumbuh kembangnya. Sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara terhadap pembelajaran berdiferensiasi yaitu adanya sistem among, guru harus dapat mendampingi siswa untuk berkembang sesuai dengan fitrah manusia. Pembelajaran berdiferensiasi adalah fitrahnya pembelajaran sejak dulu yang terus diupayakan. Ada 5 karakteristik pembelajaran berdiferensiasi yaitu: 1) lingkungan belajar menumbuhkan ketertarikan untuk belajar; 2) kurikulum memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas; 3) kebutuhan siswa direspon dengan tanggap oleh guru; 4) manajemen kelas yang efektif; 5) berkelanjutannya dalam penilaian atau evalauasi pembelajaran. Penerapan pembelajaran berdiferensiasi, guru akan memulai mengajar berdasarkan kebutuhan, kesiapan, dan gaya belajar siswa sesuai pemetaan yang telah dilakukan. Karena yang menjadi tujuan utama pembelajaran berdiferensiasi adalah membantu siswa memenuhi kebutuhannya melalui gaya belajar yang berbeda dengan mencapai tujuan pembelajaran yang bermakna. Tidak hanya itu pembelajaran berdiferensiasi juga dapat memaksmimalkan potensi siswa, memberikan kesempatan kepada mereka untuk mempelajari nilai-nilai kehidupan yang penting dan mencapai kebahagian setinggi-tingginya. Pada hakikatnya guru perlu melakukan pembelajaran berdiferensiasi menginat betapa heterogennya siswa yang ada di kelas. Strategi pembelajaran berdiferensiasi yang dapat diterapkan oleh guru antara lain: 1) diferensiasi konten, berkaitan materi yang akan diajarkan kepada siswa dengan mempertimbangkan pemetaan kebutuhan belajar baik dari segi kesiapan belajar, minat siswa, profil belajar ataupun kombinasi dari ketiganya; 2) diferensiasi proses, berkaitan dengan proses belajar yang dilaksanakan oleh guru. Guru harus memahami apakah siswanya akan belajar secara berkelompok atau mandiri berdasarkan LKPD yang telah dirancang yang mencakup kegiatan yang bervariasi; 3) diferensiasi produk, berkaitan produk yang akan dihasilkan oleh siswa dari proses belajarnya. Paling utama dari produk tersebut yang mencerminkan keterkaitan antara pemahaman siswa dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan, Pembelajaran berdiferensiasi akan memberikan dampak yang besar bagi sekolah, bagi skelas maupun siswa yaitu tercermin pada setiap orang merasa disambut dengan baik, saling menghargai, peluang harapan untuk tumbuh, merasa aman, keadilan dalam bentuk nyata, tercapainya tujuan pembelajaran yang diajarkan oleh guru secara optimal.

IMPLEMENTASI MEDIA SOSIAL SEBAGAI MEDIA PENINGKATAN LITERASI PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

Oleh : Muhammad Habib Ridwan, S.Pd. Globalisasi memungkinkan media digital untuk dapat diakses siapa saja dan kapan saja, sehingga memungkinkan informasi menyebar dengan sangat cepat, perubahan ini memberikan banyak sekali dampak di dalam kehidupan terutama pada generasi muda saat ini yang mendapatkan berbagai kemudahan  dan kebebasan di dalam mencari dan mendapatkan informasi melalui media digital karena hampir setiap orang memiliki akses dengan gadget mereka untuk memudahkan dalam mengakses informasi di berbagai platform digital. Sosial media merupakan salah satu media digital  yang sangat erat digunakan di dalam kehidupan sehari-hari oleh generasi muda termasuk pada anak usia sekolah dasar dikarenakan media sosial merupakan forum publik gratis oleh sebab itu penyebaran informasi melalui media sosial kurang dapat dipertanggung jawabkan kebenaran dan kekuatannya sehingga sangat besar kemungkinan penyebarluasan berita palsu, sehingga masyarakat dan juga generasi muda seringkali dibuat kebingungan serta tidak mampu memilah informasi dan termakan oleh berita palsu. Salah satu penyebab mudahnya generasi muda kesulitan di dalam memilah informasi yang ada di media sosial adalah rendahnya tingkat kesadaran literasi pada sosial media yang dimiliki oleh generasi muda, hal ini dibuktikan dengan indonesia menduduki urutan ke 60 dari 61 negara untuk budaya literasi menurut World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada maret 2016, oleh sebab itu sangat penting bagi generasi muda untuk memiliki kesadaran berliterasi.  Sebagai seorang pendidik di sekolah dasar sangat penting untuk menyadarkan pentingnya kesadaran berliterasi apalagi di era serba digital dimana sosial media tidak dapat dipisahkan dari kehidupan generasi muda, pendidik bertanggung jawab dalam membentuk generasi muda yang sadar akan literasi digital yang mana menurut Ahsani (2021) literasi digital merupakan keterampilan dalam pemanfaatan teknologi dan informasi dengan media yang berbasis digital di dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk pada proses kegiatan pembelajaran di sekolah. Pengembangan penguasaan literasi digital dalam pembelajaran diharapkan dapat menjadi pendukung dalam mengembangkan kemampuan peserta didik dan menyiapkan peserta didik yang mampu menghadapi tuntutan zaman sehingga generasi muda mampu menyeleksi informasi secara akurat saat ini masih banyak generasi muda yang belum menyadari  dampak yang dapat terjadi akibat perbuatan mereka di media sosial, konten pada media digital dapat secara implisit maupun eksplisit memberikan tuntunan terhadap tindakan seseorang. Guru sebagai pendidik dapat menyadarkan pentingnya literasi digital kepada generasi muda melalui pemanfaatan sosial media sehingga dapat mengurangi dampak buruk informasi yang kurang tepat bagi siswa sekolah dasar, Menurut (Basori, 2016) seiring pesatnya perkembangan media informasi dan komunikasi peran guru tidak lagi mendominasi dalam terlaksananya proses belajar mengajar, namun guru memerlukan media penunjang lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai penunjang dalam proses pemberian informasi, pesan atau konten yang dibelajarkan. Salah satu jenis teknologi yang bisa dipergunakan dalam pembelajaran adalah media sosial, media sosial adalah media berbasis Internet yang memungkinkan pengguna berkesempatan untuk berinteraksi dan mempresentasikan diri, baik secara seketika ataupun tertunda (Sari, 2021). Salah satu media sosial yang sering digunakan generasi muda adalah Instagram, menurut Sari (2021) Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto dan video yang memungkinkan pengguna mengambil foto, mengambil video, menerapkan filter digital, dan aktivitas berjejaring lainnya, guru dapat memanfaatkan fitur yang ada di instagram dengan membuat akun khusu untuk siswa yang diajarkan guru dapat memberikan informasi untuk bahan berliterasi siswa, sehingga siswa yang mengikuti akan terhindar dari informasi yang bersifat kurang bertanggung jawab, guru dapat membagikan cerita mengenai pembelajaran, infografis, video pembelajaran serta tutorial dan informasi bermanfaat lainya kepada siswa. Selain itu guru juga dapat membimbing siswa untuk berkreasi dengan membuat projek kelompok atau membuat karya dan hasilnya di upload di akun instagram bersama sehingga bisa memperoleh respon dari teman-temannya, guru dapat membimbing siswa untuk memberikan respon secara baik dan sopan dimana saling berkomentar akan memberikan masukan positif bagi siswa dan juga hal ini anak meningkatkan kreativitas bagi generasi muda. Daftar Rujukan  Ahsani, E, L, F, et al. (2021). Penguatan Literasi Digital dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar Indonesia Den Haag. Elementary School :Jurnal Pendidikan dan Pembelajaranke-SD-an, volume 8(2), 228-236. Basori, M. (2016). Pengembangan Multimedia Interaktif untuk Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sekolah dasar kelas V. Jurnal Pendidikan Dasar Nusantara, volume 1(2), 75-87. Sari, Yunita (2021). Literasi Media Digital Pada Remaja, Ditengah Pesatnya Perkembangan Media Sosial. Jurnal Dinamika Ilmu Komunikasi, Volume 8(1), 12-25.

Sinergitas Tripusat Pendidikan dalam Membumikan Nilai Pancasila

Oleh Lukmi Maulana Globalisasi tidak mungkin dihindari oleh masyarakat dunia khususnya pada masyarakat Indonesia. Globalisasi banyak berdampak secara langsung terhadap perubahan kehidupan di setiap negara. Salah satu dampak globalisasi di Indonesia yaitu tergerusnya nilai-nilai Pancasila. Karakter yang jauh dari nilai-nilai pancasila semakin terlihat seperti kenakalan anak dan remaja, dekadensi moral, intoleransi, free sex, korupsi, vandalis, dan lainnya. Hampir semua tingkatan pendidikan terjadi dekadensi moral baik pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi (Cahyo, 2017). Tindakan siswa sekolah dasar juga sangat miris seperti tindakan bulying, pemalakan hingga perkelahian siswa. Hal tersebut menjadi tanggung jawab bagi kita semua. Globalisasi menciptakan generasi muda yang hilang jati diri dan karakter sebagai negara Indonesia. Fenomena ini telah nampak dengan adanya dekadensi atau kemerosotan moral serta yang terjadi pada generasi saat ini. Tergerusnya nilai-nilai Pancasila akan sangat mempengaruhi pembangunan bangsa (Padilah & Dewi, 2021). Kita kurang dapat mengolah budaya dari luar ke Indonesia. Pada dasarnya bangsa ini mempunyai pancasila sebagai karakter bangsa yang saat ini mulai memudar semangatnya dalam kesadaran untuk menghayatinya. Pesatnya arus globalisasi menyebabkan semakin besar kemungkinan lunturnya nilai Pancasila pada generasi masa depan. Pancasila terdiri dari berbagai aspek kehidupan manusia, sudah seharusnya kita meneguhkan kembali pancasila sebagai jati diri bangsa ini. Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk menuju kesuksesan pembangunan bangsa. Peran utama pendidikan suatu bangsa dalam membentuk manusia yang berkarakter akan berbanding lurus dalam memajukan bangsa. Peran strategis dunia pendidikan sangat dibutuhkan dalam tahap ini, salah satu caranya yaitu membumikan nilai pancasila pada berbagai tingkatan pendidikan, sehingga akan lebih optimal dalam melaksanakan fungsi pendidikan dan pengajarannya. Pancasila sebagai ideologi bangsa sangat berguna bagi generasi muda sebagai panduan moral pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga dapat mencegah dekadensi moral. Hal tersebut menunjukan pentingnya membumikan nilai-nilai pancasila melalui sinergitas 3 ranah lingkungan pendidikan yaitu pendidikan keluarga (informal), sekolah (formal) dan masyarakat (non formal). Lingkungan akan terus berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Ki Hajar Dewantara (1990) menyebutkan proses pembelajaran dipengaruhi oleh lingkungan yang disebut Tripusat Pendidikan meliputi keluarga, pendidikan, dan masyarakat. Sejalan dengan UU No 20 Tahun 2003 pada pasal 13 ayat 1 tentang sistem pendidikan Nasional menjelaskan bahwa jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, non formal dan informal yang mampu untuk saling memperkaya dan melengkapi. Ki Hajar Dewantara menjelaskan ketiga lingkungan tersebut mempunyai peran penting ditempatnya masing-masing. Sinergitas ketiga lingkungan tersebut yaitu orang tua yang mempunyai peranan untuk memberikan pendidikan anak dalam lingkungan keluarga, karena orang tua memiliki keterbatasan dalam memberikan pendidikan anak di keluarga, maka kemudian proses pendidikan diberikankan kepada sekolah dan juga masyarakat mempunyai peranan dalam memfasilitasi anak untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya Ketiga lingkungan berpengaruh satu sama lain dalam memberikan nilai yang baik. Peran utama dalam membumikan nilai Pancasila yaitu didalam keluarga, keluarga merupakan bimbingan dan pendidikan pertama yang diperoleh anak. Pendidikan di keluarga akan terlaksana dengan sendirinya sesuai karakteristik didalamnya sehingga mempunyai pengaruh besar kepada perkembangan anak. Pendidikan dasar seperti kasih sayang, kewibawaan, dan nilai-nilai kepatuhan terdapat dalam pendidikan keluarga. Walaupun dengan cara sederhana, pendidikan keluarga mempuyai peranan paling penting yang sifatnya pribadi, berasal dari manusia itu sendiri yang memiliki keinginan untuk melakukan pendidikan terbaik bagi anak keturunannya secara jasmani dan rohani. Lingkungan kedua yaitu sekolah yang terdiri dari lingkungan fisik dan non fisik. Lingkungan fisik meliputi fasilitas dalam kegiatan membumikan nilai pancasila seperti gedung dan alat pendukung lainnya. Sedangkan lingkungan non fisik meliputi lingkungan yang berpengaruh kepada peserta didik melalui proses pembelajaran. Desain lingkungan non fisik berperan sebagai tempat membumikan nilai-nilai warisan bangsa Indonesia yang berkembang di masyarakat untuk ditanamkan kepada peserta didik terutama membumikan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Lingkungan ketiga yaitu masyarakat mempunyai pengaruh dan peranan yang penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Membumikan nilai pancasila di sekolah harus sejalan dengan nilai yang berkembang di masyarakat. (Untari et al., 2020) Proses sinergitas antar ketiga lingkungan tersebut dapat dilakukan dengan (a) menciptakan dialog, (b) menciptakan visi bersama, (c) menumbuhkan kepercayaan, (d) menumbuhkan komitmen dan (e) berbagi wawasan. Proses sinergitas ketiga pihak dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi yang baik dalam memperkenalkan dan mengamalkan nilai Pancasila. Hakekat sinergitas adalah proses bersama yang memiliki tujuan untuk mencari perubahan lebih baik dan mejalankan berbagai program yang telah disusun bersama. Peserta didik merupakan pusat dari sinergitas antara tripusat pendidikan. Hal tersebut berarti bahwa kepentingan peserta didik menjadi tujuan utama dalam kegiatan sinergitas ketiga pilar pendidikan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Cahyo, E. D. (2017). Pendidikan Karakter Guna Menanggulangi Dekadensi Moral Yang Terjadi Pada Siswa Sekolah Dasar. EduHumaniora | Jurnal Pendidikan Dasar Kampus Cibiru, 9(1), 16. https://doi.org/10.17509/eh.v9i1.6150 Padilah, A. N., & Dewi, D. A. (2021). Nilai moral Pancasila untuk membangun bangsa di era globalisasi. Jurnal Citizenship: Media Publikasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, 4(2), 82. https://doi.org/10.12928/citizenship.v4i2.20536 Untari, S., Maisyaroh, Chusniyah, T., Saputra, M., Nurcahyo, H., & Choiri, I. (2020). Kolaborasi Terpusat Pendidikan Dalam Penataan Budaya Sekolah Berbasis Pembudayaan Nilai Pancasila Untuk Membangun Siswa Berkarakter. Magetan: CV. AE MEDIA GRAFIKA.

Pembelajaran Berdiferensiasi di Sekolah Dasar

Oleh Citra Dwi Pitaloka Peserta didik pastinya memiliki karakteristik yang berbeda-beda, unik, dan khas. Karakteristik peserta didik siswa sekolah dasar meliputi minat, gaya belajar, sikap, motivasi, perkembangan kognitif, budaya, suku, agama, latar belakang keluarga, dan lain-lain. Perbedaan karakteristik tersebut dapat mempengaruhi peserta didik dalam pembelajarannya, unruk itu guru perlu mengetahui karakteristik masing-masing peserta didik agar pembelajaran dapat sesuai  dengan kebutuhan peserta didik. Melalui asesmen diagnotik guru bisa mengetahui karakteristik peserta didik seperti kemampuan awal, gaya belajar, minat, dan bakat. Setelah guru mengetahui karakteristik peserta didik guru bisa membuat perencanaan pembelajaran yang efektif untuk peserta didik. Untuk mengatasi perbedaan karakteristik tersebut guru perlu menyesuaikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Lalu, bagaimana cara guru agar pembelajaran bisa sesuai dengan peserta didik pada tingkat sekolah dasar? Melalui pembelajaran berdiferensiasi guru bisa membuat pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik, mengapa? Karena pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang didesain sesuai dengan kebutuhan peserta didik . pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Pada pembelajaran berdiferensiasi sebelum memulai pembelajaran dengan menggunakan data asesmen diagnostik guru dapat mengelompokkan kelas menjadi beberapa kelompok sesuai dengan gaya belajar peserta didik, misalnya gaya belajar kinestetik, visual, dan auditori. Untuk peserta didik yang memiliki gaya belajar kinestetik guru bisa memfasilitasi dengan mempersilakan peserta didik untuk berbicara didepan kelas atau dengan presentasi di depan kelas, lalu untuk tugas akhir pada kelompok yang memiliki gaya belajar kinestetik guru bisa memberikan tugas untuk mempraktikkan atau bermain peran sesuai dengan materi yang ada. Untuk kelompok yang memiliki gaya belajar visual guru bisa memfasilitasi dengan menggunakan media video, media gambar, media power pint, untuk kelompok dengan gaya belajar visual guru bisa memberika tugas mencocokan gambar atau biasa disebut make a match. Lalu, untuk kelompok yang memiliki gaya belajar auditori guru bisa memfasilitasi dengan menggunakan kegiatan belajar membaca Bersama. Untuk penugasan guru bisa memberikan tugas presentasi di depan kelas. Penerapan pembelajaran berdiferensiasi terdapat 3 perbedaan yang dirancang dengan membedakan konten, proses, dan produk. Diferensiasi konten menjelaskan bahwa diferensiasi merujuk pada pengetahuan dan ketrampilan yang dipelajari peserta didik. Dalam merancang pembelajaran berdiferensiasi konten terdapat 3 hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) guru harus menggunakan Tindakan, konsep, generalisasi, prinsip-prinsip, sikap dna ketrampilan; (2) menyelaraskan tugas dengan tujuan pembelajaran; dan (3) konten instruksi harus membahas konsep yang sama pada semua peserta didik, tetapi tingkat kompleksitas harus disesuaikan dengan keberagaman peserta didik. Diferensiasi berdasarkan proses yaitu kegiatan peserta didik sekolah dasar dalam rangka memahami isi yang meliputi penggunaan aktivitas berpikir tingkat tinggi, instruksi kelompok kecil, multiple intelligence, pemusatan pembelajaran, mind-mapping, dan tugas kooperatif. Diferensiasi berdasarkan produk yaitu hasil belajar peserta didik yang merupakan hasil latiha, penerapan, dan pengembangan apa yang telah dipelajari peserta didik. Pembelajaran berdiferensiasi berdasarkan produk meliputi: tugas berjenjang, rubrik, penilaian alternatif, pekerjaan rumah yang dimodifikasi, dan proyek independent. Pembelajaran berdiferensiasi sangat dibtuhkan dalam pembelajaran di kelas utamanya di lingkungan Sekolah Dasar. Karakteristik peserta didik Sekolah Dasar tentunya masih susah untuk dipahami oleh orang dewasa. Untuk mengetahuinya seperti yang saya katakana tadi, guru perlu melakukan analisis diganostik atau asesmen diagnostic sebelum pembelajaran agar mengetahui kebutuhan peserta didik. Pembelajaran berdiferensiasi dapat digunakan guru untuk mengatasi heterogen yang terjadi di dalam kelas. Terdapat 3 perbedaan yang dirancang dalam pembelajaran diferensiasi yaitu diferensiasi konten, produk, dan proses. Semua rancangan pembelajaran diferensiasi dapat menjadi solusi untuk guru sekolah dasar agar tujuan pembelajaran dapat tercapai tetapi masih melihat kemampuan dari masing-masing peserta didik. Referensi:https://www.gurusiana.id/read/herianto234951/article/penerapan-pembelajaran-diferensiasi-murid-kelas-6-sdn-85-kota-jambi-5396375 

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KURIKULUM MERDEKA

Oleh Misbakhul Munir, S.Pd Menurut Elkind (2004) Pendidikan karakter adalah segala bentuk sikap atau tindakan yang dilakukan oleh guru, yang mana tindakan tersebut dapat mempengaruhi karakter peserta didik. Pendidikan karakter sekarang ini semakin disadari pentingnya bagi pertumbuhan sumberdaya manusia. Secara teoretis, sudah cukup banyak studi yang menunjukkan pentingnya pendidikan karakter dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Berdasarkan studi yang dilakukan Marvin Berkowitz dan Melinda C Bier (2005) dari University of Missouri Saint Louis, Amerika, menunjukkan sekolah – sekolah yang menerapkan pendidikan karakter secara komprehensif mempunyai pengaruh positif terhadap peningkatan motivasi peserta didik dalam meraih prestasi akademik serta penurunan yang signifikan pada perilaku negatif yang menghambat keberhasilan akademik. Guru dalam membantu membentuk karakter peserta didik dapat dilakukan dalam keteladanan perilaku, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Untuk itu dalam mewujudkan pendidikan berkarakter maka diperlukan penerapan Kurikulum Merdeka yang sesuai dengan Kepmendikbudristek No. 56 Tahun 2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam rangka Pemulihan Pembelajaran (setelah pandemi). Satuan Pendidikan perlu mengembangkan kurikulum dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan kondisi satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik yang tujuannya mewujudkan Profil Pelajar Pancasila sesuai dengan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 mengenai Profil Pelajar Pancasila.  Merdeka belajar merupakan sebuah gagasan yang membebaskan para guru dan peserta didik dalam menentukan sistem pembelajaran. Merdeka belajar juga menekankan pada aspek pengembangan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Dalam (kemendikbud) kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Guru memiliki keleluasaan dalam memilih berbagai perangkat atau modul ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat setiap peserta didik. Dari penjelasan diatas mengenai konsep merdeka adalah kebebasan dalam proses pembelajaran yangg mana seorang guru dan peserta didik memiliki ruang yang sangat lebar dalam proses pembelajaran. Disamping itu kurikulum merdeka menekankan Pendidikan Karakter yang dapat dimaknai sebagai suatu proses internalisasi sifat-sifat utama yang menjadi ciri khusus dalam suatu masyarakat ke dalam diri peserta didik sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Kurikulum merdeka memberikan potensi dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Dalam buku projek penuatan profil pelajar pancasila, pelajar Pancasila adalah karakter dan kemampuan yang dibangun dalam keseharian dan dihidupkan dalam diri setiap individu peserta didik melalui budaya satuan pendidikan, pembelajaran intrakurikuler, projek penguatan profil pelajar Pancasila, dan ekstrakurikuler. Kurikulum merdeka juga dirancang untuk membentuk karakter yang mana disebut profil pelajar pancasila, dalam pengbentuka profil pelajar Pacasila menurut penjelasan diatas dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya melalui budaya satuan pendidikan, pembelajaran intrakurikuler, projek penguatan profil pelajar Pancasila, dan ekstrakurikuler dengan output sikap bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Kendala dalam implementasi kurikulum merdeka antara lain belum dipahaminya esensi “merdeka belajar”, sulitnya menghilangkan kebiasaan lama yakni masih mendominasinya metode ceramah, kesulitan dalam pembuatan modul ajar dan ketidaksesuaian platform belajar dengan apa yang ada di dalamnya serta guru mengalami kesuitan dalam pembuatan assesmen. Dalam artikel ini penulis hanya fokus dalam kesulitan implementasi kurikulum merdeka. Kurikulum yang dirasa baru pasti memui polemik dikalangan guru, maka dari itu pemerintah harus menggalakkan pelatihan-pelatihan yang intens kepada seluruh guru sehingga penerapan kurikulum merdeka yang diharapkan bisa terlaksana dengan baik. Terkendala pengimplementasian kurikulum bisa mengakibatkan karakter yang akan ditanamkan akan terabaikan. Akibatnya pendidikan akan berjalan monoton tanpa mencapai tujuan pendidikan dan karakter yang akan ditanamkan hanya angan-angan semata. Daftar Rujukan Al Kahar, Aris Armeth Daud. 2021. Pendidikan Karakter Multidimensi Sebagai Aplikasi Konsep Merdeka Belajar Dalam Menyambut Bonus Demografi. An-Nur: Jurnal Studi Islam Vol. 13 No. 1 (January – June 2021) P-ISSN 1829-8753 – E-ISSN 2502-0587 di Unduh pada 15 Januari 2023 Pukul 09.00. David Elkind & Freddy Sweet (2004). How to do character education. (http://www.goodcharacter.com/Article_4.html) (Diunduh 15 Januari 2023) Permendikbud Nomor 24 Tahun 2016 Pasal 2 Ayat 1. 2016. Kompetensi Inti pada Kurikulum 2013. Kemedikbud: Jakarta. Rau, Deissy Wenda. Dkk. 2022. Penerapan Kurikulum Merdeka Dalam Membentuk Karakter Peserta Didik Yang Berorientasi. Jurnal Fakultas Ekonomi Vol 11 No 4, Oktober,2022 di Unduh pada 15 Januari 2023 Pukul 09.05. Susilowati, Evi. 2022. Implementasi Kurikulum Merdeka Belajar dalam Pembentukan Karakter Siswa pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam. Jurnal Al Maskawaih juornal of science Volume I Nomor 1, Juli 2022 di Unduh pada 15 Januari 2023 Pukul 09.10.