Jowonews

Menggali Makna “Kemerdekaan” dalam Kurikulum Merdeka

Oleh : Faizatur Rifqiyah Pendidikan di Indonesia saat ini tengah berada pada masa pemulihan kembali setelah badai Pandemi Covid-19 yang dapat dinilai berhasil Indonesia lalui, kondisi pendidikan Indonesia di masa pandemi yang menjadikan seluruh kegiatan pembelajaran beralih menjadi moda daring dengan segala keterbatasan dan tantangan yang dihadapi oleh seluruh pendidik dan juga peserta didik di Indonesia khususnya. Wilayah Indonesia yang luas dengan kekayaan geografis serta keragaman latar belakang ekonomi turut menyumbang kendala besar bagi terlaksananya pembelajaran di masa pandemi, ketidakmampuan dalam menyelenggarakan pembelajaran efektif menggunakan moda daring menjadi permasalahan yang sangat sulit diselesaikan sehingga berdampak pada menurunnya kualitas pembelajaran yang dilakukan selama pandemi Covid-19 yang secara langsung memberikan pengaruh pada kualitas Pendidikan Indonesia.  Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang menempatkan Indonesia dalam urutan ke 74 yang merupakan peringkat keenam dari bawah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa 7-% siswa berusia 15 tahun berada di bawah kompetensi minimum dalam memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar. Skor PISA Indonesia tersebut tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam sepuluh hingga lima belas tahun terakhir. Kondisi tersebut diperparah dengan kondisi pandemi Covid-19 yang menjadikan adanya ketertinggalan pembelajaran (learning loss). Pemerintah berupaya mengatasi permasalahan tersebut dengan melakukan pemulihan pembelajaran, pemulihan tersebut dengan dilaksanakan Kurikulum Merdeka yang dikembangkan sebagai kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi peserta didik. Konsep kurikulum merdeka sebenarnya telah selaras dengan pandangan Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus memperhatikan kodrat alam dan juga kodrat zaman. Ki Hadjar Dewantara (Eko Mujito, 2017) dalam Handiyani (2022) menjelaskan mengenai konsep pembelajaran adalah pembelajaran yang tidak menyalahi kodrat keberagaman telah manusia miliki, oleh karena hal tersebut pendidikan harulah tetap menjaga keberagaman yang ada dan tidak melakukan penyamarataan terhadap hal-hal yang tidak dapat disamakan.  Indarta dkk (2022) menjabarakan bahwa guru mempunyai hak dan kebebasan secara mandiri dalam memaknai kurikulum sebelum dilakukan pengajaran kepada peserta didik sehingga guru mampu mengakomodir setiap kebutuhan belajar peserta didik ketika proses pembelajaran. Kurikulum Merdeka Belajar merupakan langkah pendidikan Indonesia dalam upaya mengatasi persaingan sumber daya manusia secara global yang makin meningkat di abad-21. Kurikulum merdeka mengimplementasikan proses pembelajaran yang aktif serta kreatif. Pelaksanaan kurikulum ini bukan untuk mengganti kurikulum sebelumnya, namun sebagai upaya melaksanakan perbaikan sistem dari yang telah dijalankan (Achmad et al., 2022) dalam Aprima (2022:96).  Kemerdekaan yang ditawarkan dalam kurikulum Merdeka ini adalah bentuk kemerdekaan bagi guru sebagai pendidik dalam menyelenggarakan pembelajaran yang menyesuaikan dengan kebutuhan belajar dan tingkat pemahaman belajar peserta didik karena mengacu pada learning loss yang terjadi selama Pandemi. Diberikannya kemerdekaan tersebut diharapkan mampu mengejar kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah maupun di setiap sekolah, kemerdekaan lainnya yang digaungkan dalam kurikulum ini adalah menitikberatkan pada pengetahuan yang esensial dan pengembangan peserta didik sesuai tingkat berpikirnya atau fase.  Kemerdekaan lain yang diberikan pada kurikulum ini adalah kemerdekaan bagi peserta didik khususnya pada jenjang SMA yang tidak lagi ditentukan mata pelajaran peminatan, namun peserta didik dibebaskan untuk memilih sendiri mata pelajaran yang diminatinya. Untuk sekolah pada penerapan kurikulum merdeka ini diberikan wewenang dalam pengembangan dan pengelolaan kurikulum serta proses belajar-mengajar yang disesuaikan dengan karakter satuan pendidikan dan peserta didik. Kemerdekaan lainnya yang dapat dirasakan dalam Kurikulum Merdeka ini adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan kebebasan yang kreatif, guru bisa kreatif dan inovatif dalam pembelajaran, selain itu ada project kelas yang harus dikerjakan oleh siswa sehingga membuat siswa tertantang untuk belajar. Materi pembelajaran kepada anak diberikan dengan kebebasan, bebas untuk disampaikan dari a sampai bisa diacak tergantung dari mana dulu yang harus kita kuasai dan kita kuasai oleh siswa.  Pada mata pelajaran matematika, hasil analisis diagnostik anak belum bisa konsep pembagian, maka guru bisa mengajarkan materi lain terlebih dahulu misalnya tentang sudut. Istilah RPP sekarang diganti dengan Modul Ajar. Modul ajar yang digunakan bisa sesuai dengan yang dari pemerintah atau berkreasi sendiri atau modifikasi dari yang dikeluarkan pemerintah. Sementara, di sekolah memanfaatkan modul ajar yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Capaian Pembelajaran, Tujuan, Alur Tujuan Pembelajaran kita masukan ke modul ajar. Satu Modul ajar bisa digunakan dalam satu semester dan cukup satu kali membuatnya. Hingga saat ini selama dilaksanakannya Implementasi Kurikulum Merdeka di seluruh jenjang pendidikan, terdapat perubahan-perubahan nyata yang dirasakan oleh siswa dan juga guru. Dampak yang dirasakan oleh guru dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka, yaitu: (1) Guru dituntut untuk kreatif inovatif dalam metode, media, dan teknik pembelajaran; serta (2) Pola pikir guru berubah dalam melaksanakan pembelajaran. Sedangkan bagi siswa, yaitu: (1) Siswa belajar dengan menyenangkan; (2) Siswa lebih bergairah jika tatap muka; serta (3) Ada Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Contoh Proyek Pengelolaan sampah; Proyek langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Siswa dibiasakan seefektif mungkin untuk memanfaatkan sampah, dan ini cocok untuk pendidikan karakter. Dampak yang dirasakan dengan adanya Merdeka Belajar pada kurikulum ini adalah membawa kegembiraan pada diri siswa dari awal masa pandemi hingga sekarang. Implementasi Kurikulum Merdeka yang dilaksanakan saat ini adalah bentuk upaya pemerintah dalam mengatasi ketertinggalan pembelajaran (Learning loss) yang terjadi di Indonesia dan diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 yang secara nyata memberikan pengaruh pada menurunnya kualitas pendidikan Indonesia. Pelaksanaan kurikulum merdeka saat ini masih satu tahun pelaksanaan telah memberikan kondisi serta dampak yang baik dalam hal peningkatan kreativitas dan inovasi pendidik serta peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran. Selain itu dengan pelaksanaan kurikulum merdeka ini guru diberikan kemerdekaan dengan bebas menentukan strategi, model dan pembelajaran yang seperti apa yang akan diterapkan, serta kebebasan kepada peserta didik untuk belajar dengan cara yang bebas sesuai dengan karakteristiknya.  Daftar Pustaka  Handiyani, M., Muhtar, T. (2022). Mengembangkan Motivasi Belajar Siswa Melalui Strategi Pembelajaran berdiferensiasi: Sebuah Kajian Pembelajaran dalam Persepektif Pedagogik-Filosofis. Jurnal basicedu. Vol. 6(4), 5817–5826. Indarta, Y., Jalinus, N., Samala, A. D., Riyanda, A. R., & Adi, N. H. (2022). Relevansi Kurikulum Merdeka Belajar dengan Model Pembelajaran Abad 21 dalam Perkembangan Era Society 5 . 0. EDUKATIF : JURNAL ILMU PENDIDIKAN Vol.4(2), Hal. 3011–3024. Aprima, D., Sari, Sasmita. (2022). Analisis Penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Implementasi Kurikulum Merdeka pada Pelajaran Matematika SD. Cendikia : Media Jurnal Ilmiah Pendidikan. Vol 13(1), Hal. 95–101.

BEST PRACTICE OF STORY TELLING SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER KEBANGSAAN

Oleh : Dewi Fitriana Perkembangan teknologi saat ini tidak menutup kemungkinan berdampak positif maupun negatif pada perkembangan anak, Kecanggihan teknologi dengan keragaman aplikasi yang ditawarkan oleh pembuat jasa menjadi daya tarik orang tua membelikan untuk anaknya. Orang tua beranggapan bahwa teknologi akan memberi kemudahan anaknya dalam beraktivitas maupun belajar. Disisi lain, orang tua orang tua juga beranggapan bahwa adanya teknologi tersebut memberi ruang dalam bekerja dan anak lebih diam di rumah.  Kebiasaan anak menggunakan gadget juga akan mengikis kebiasaan yang dulu pernah dilakukan orang tua di rumah. Contohnya peran ibu bercerita atau mendongeng kepada anak-anaknya sebelum tidur. Kedekatan emosional anak terhadap orang tua terjalin baik. Akan tetapi, kondisi ini berubah ketika perkembangan teknologi yang tidak diimbangi filter orang tua. Kebiasaan-kebiasaan yang dulu sering dipakai orang tua dalam mendidik karakter anak sekarang sudah ditinggalkan. Padahal dengan kondisi yang demikian, orang tua sudah kehilangan momen indah dalam kehidupan anak-anak mereka. Tidak ada kedekatan antara orang tua dan anak. Kepekaan sosial hilang tergantikan dengan manusia-manusia robot yang tanpa perasaan. Permasalahan tersebut menjadi persoalan yang perlu ditangani. Mindset orang tua terhadap perkembangan teknologi juga perlu diarahkan dengan baik. Membudayakan kegiatan yang dulu pernah ada perlu diterapkan lagi. Salah satunya kebiasaan mendongeng atau story telling sebelum tidur. Story telling menjadi media yang tepat untuk membangun karakter dan penanaman nilai moral dan etika pada diri anak. Melalui aktivitas bercerita anak dapat memahami karakter dari setiap tokoh yang ada dalam buku, bahkan anak dapat secara mandiri mengenal tokoh baik dan tokoh jahat dari sebuah cerita. Secara tidak langsung anak-anak dapat membedakan mana tokoh yang memiliki sifat baik dan mana tokoh yang memiliki sifat buruk. Melalui kegiatan story telling, anak akan terbiasa menyerap pengetahuan dan pengalaman berbeda.  Story telling memberikan pengalaman bagi anak dalam proses pembelajarannya. Kegiatan story telling mendukung pemahaman anak dan sangat penting dalam perkembangan bahasa anak. Selain itu juga dengan kegiatan story telling membantu anak memahami berbagai perbedaan multicultural. Story telling menjelaskan ada empat aspek yang mendasari cerita pada anak diantaranya adalah (1) mengingat informasi penting lebih banyak dan lebih luas ketika guru berbicara tentang cerita yang sudah dibaca; (2) ambil peran yang mereka ketahui ketika menceritakan kisah; (3) tempatkan kegiatan bercerita dengan urutan yang benar; (4) gunkan bahawa bercerita ketika menceritakan kembali sebuah cerita. Kegiatan story telling pada anak sama dengan memberikan mereka referensi positif sekaligus menstimulasi otak anak. Anak kemudian mempunyai role model yang mereka jadikan teladan dan jika referensi positif ini tidak diberikan maka kemungkinan besar anak berkembang dengan karakter yang buruk. Story telling erat kaitannya dengan naskah atau teks yang akan dibacakan. Untuk itu, pemilihan buka merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan. Maka dalam memilih buku atau cerita disesuaikan usia anak serta didalamnya berisi nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada anak. Konten buku cerita akan memberi pengaruh pada pembentukan karakter anak. Oleh karena itu, peran orang tua dalam menyortir buku juga diperlukan. Tidak sekedar hanya bercerita saja melainkan banyak peran yang perlu dilakukan. Untuk itu, menganalisis buku cerita sebelum dibacakan merupakan tahapan yang perlu dilakukan.   Sukses atau tidaknya dalam menerapkan pendekatan story telling pada anak dipengaruhi beberapa hal. Pertama habituasi (mendidik bukan mendadak), artinya membiasakan sejak dini story telling sebelum tidur. Memberi waktu untuk terbiasa dan kebiasaan ini harus dilakukan dengan “pendampingan”. Dukungan orang tua sangat diperlukan dalam menanamkan pendidikan karakter lewat media story telling. Hal ini dikarenakan mendidik itu butuh waktu dan proses. Orang tua harus lebih sabar dan telaten dalam pembiasaan bercerita. Kedua, karakter itu erat kaitannya dengan pendidikan. Artinya mendidik itu tidak sekedar “transfer of knowledge” tetapi lebih dari itu “transfer of character”. Story telling tidak hanya pengetahuan yang didapatkan melainkan nilai-nilai karakter juga didapatkan. Pengetahuan ini yang biasanya orang tua atau masyarakat salah mengartikan dari kegiatan bercerita. Penanaman nilai karakter dengan kegiatan story telling merupakan sebuah dasar dalam penanaman nilai karakter di sejak dini.

BELAJAR ASIK SAMBIL BERMAIN

Oleh : Ida Royani Ketika mendengar kata anak-anak, biasanya tidak akan terpisah dengan kata bermain. Begitu pula dengan anak-anak yang sudah memasuki kelas 1 sekolah dasar. Ketika mendengar anak kelas 1 tentunya kita langsung menghubungkannya dengan kegiatan bermain juga. Biasanya anak kelas 1 sekolah dasar berada pada  usia 6-7. Pada usia tersebut anak-anak masih berada pada masa bermain. Ketika anak usia 6-7 memasuki sekolah, dunia bermainnya masih terbawa sampai ke sekolah.  Seringkali anak kelas satu akan merasa cepat bosan ketika pembelajarannya monoton atau hanya duduk di dalam kelas saja. Dengan peserta didik mudah bosan dalam pembelajaran, hal ini akan membuat peserta didik sulit menerima materi yang disampaikan oleh guru. Kemudian peserta didik akan mengalami ketertinggalan materi. Terkadang saat pembelajaran sedang berlangsung, juga ada peserta didik yang bermain sendiri. Sehingga akan mengganggu teman lainnya yang sedang belajar. Hal ini dapat terjadi karena peserta didik kelas 1 sekolah dasar masih di usia bermain. Berdasarkan hasil pengamatan pada pelaksanaan pembelajaran di kelas 1. Sering terlihat peserta didik yang suka bermain sendiri saat pembelajaran berlangsung. Dengan begitu peserta didik tersebut akan mengganggu guru serta teman lainnya pada saat pelaksanaan  pembelajaran. Terkadang ada juga peserta didik yang tidak memiliki motivasi untuk mengikuti pembelajaran, karena pembelajaran terasa membosankan. Sehingga untuk mengikuti pembelajaran sangat sulit bagi mereka. Peserta didik juga terkadang selalu bertanya “Mainnya kapan Bu guru?”. Nah berdasarkan data tersebut belajar sambil bermain sangat penting untuk keberlangsungan pembelajaran yang efektif. Untuk membuat pembelajaran yang menyenangkan guru harus kreatif dalam memodifikasi pembelajaran. Guru dapat menyusun strategi, model, metode pembelajaran dengan dunia peserta didik kelas 1 sekolah dasar yaitu bermain. Hal ini guru dapat membuat strategi  pembelajaran yang didalamnya terdapat sebuah permainan. Atau yang biasanya sering kita dengar yaitu dengan istilah belajar sambil bermain. Pada umumnya, dalam proses pembelajaran untuk anak usia 6-7 tahun dilakukan dengan menggunakan metode belajar sambil bermain.hal ini karena pada usia tersebut dunia anak masih bermain. Dalam buku Darmadi (2018) yang berjudul “Asiknya Belajar Sambil Bermain” menyatakan bahwa metode pembelajaran bermain merupakan suatu metode pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Metode pembelajaran sambil bermain mengutamakan kerjasama dalam menyelesaikan permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Permainan merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan anak-anak. Banyak sekali macam-macam permainan yang dapat kita terapkan dalam pembelajaran.  Darmadi (2018) menuliskan beberapa permainan yang digunakan dalam pembelajaran diantaranya: bisik berantai, menebak benda misterius, memasangkan gambar dengan teks, berbalas pantun, dan lain-lain. Guru juga dapat melakukan ice breaking pada saat pembelajaran apabila peserta didik merasa jenuh. Ice breaking tersebut dapat berupa permainan Percaya Teman, Strip Seven, Berdirilah Jika….?. Itu tadi contoh-contoh dari permainan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran. Yang dapat diimplementasikan guru pada saat pembelajaran berlangsung yang tentunya disesuaikan dengan kondisi peserta didik dan kelas. Permainan dalam sebuah pembelajaran khususnya untuk kelas I sekolah dasar sangat penting untuk diterapkan. Dengan menerapkan permainan dalam pembelajaran, peserta didik akan merasa senang dan tidak jenuh terhadap pembelajaran. Peserta didik akan mampu menyerap pengetahuan walaupun sambil bermain. Dengan begitu tujuan pembelajaran akan tercapai dengan baik. Dalam penerapannya pada praktik mengajar, bermain sambil belajar membuat peserta didik sangat senang mengikuti pembelajaran.  Peserta didik selalu antusias untuk mengikuti pembelajaran. Peserta didik juga mudah menyerap materi yang disampaikan oleh guru. Karena pada saat pembelajaran berlangsung, guru menyampaikan materi pembelajaran dengan bermain. Hasil belajar peserta didik pun mengalami peningkatan. Dengan begitu menurut saya belajar sambil bermain merupakan salah satu strategi yang efektif dalam menanggulangi kebosanan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Dapat disimpulkan bahwa belajar sambil bermain merupakan salah satu strategi pembelajaran yang efektif bagi peserta didik kelas 1 sekolah dasar. Karena pada usia tersebut, peserta didik berada pada masa bermain. Anak-anak akan merasa senang ketika mengikuti pembelajaran. Materi yang disampaikan oleh guru akan mudah diterima oleh peserta didik. Hasil belajarnya pun mengalami peningkatan. Peserta didik juga tidak mudah bosan mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan.

Relevansi Pemikiran Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

Oleh : Nuni Afnyya Perjuangan pendidikan tanpa melihat sudut pandang  dari suku, etnis, kultur, status sosial, agama, dan lain-lain. Ada beberapa tokoh pendidikan yang ikut berkontribusi dalam memperjuangkan pendidikan di Indonesia seperti R.A Kartini, Ahmad Dahlan, Budi Utomo, dan Ki Hajar Dewantara. Mereka semua adalah pahlawan pendidikan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Na Manusia dianugerahi akal dan budi sejak lahir yang membedakan dari hewan. Konsep  pemikiran Ki Hajar Dewantara dipilih menjadi revolusi pendidikan nasional karena mun pemikiran Ki Hajar Dewantara yang dipakai sebagai dasar perjuangan pendidikan di Indonesia. Guru merupakan berasal dari bahasa jawa yaitu diguu lan ditiru yang diharapkan dapat memberikan contoh teladan yang baik pada peserta didik. Untuk itu guru dapat menerapkan sistem Among yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, ada tiga hal yang dapat kita ambil dalam sistem among yang pertama ing ngarso sung tulodho artinya di depan memberikan contoh, guru dapat memberikan contoh teladan yang baik untuk peserta didiknya dengan penerapan pembiasaan yang baik pada peserta didik dapat menghindari hal-hal yang buruk agar tidak terjadi pada peserta didik.  Yang kedua Ing Madya Mangun Karso yang artinya ditengah dapat membangun, sebagai guru diharapkan dapat membangun karakter anak dengan menuntun anak menuju hal-hal yang baik yang dapat mengembangkan potensi anak. Guru dapat menggali potensi anak sesuai karakteristiknya agar mereka mendapatkan hak merdeka belajar mereka. Yang ke tiga Tut Wuri Handayani yang artinya dibelakang menjadi pendorong, sebuah kendaraan tidak akan bergerak jika tidak ada dorongan, guru dapat menjadi pendorong penyemangat peserta didik dalam mencapai kodratnya.  Mendukung dan mengarahkan peserta didik menggali potensi, selain itu mengapresiasi setiap hal yang dilakukan peserta didik hal itu agar anak tidak minder atau rendah diri menghadapi anak-anak lain. Selain itu pembelajaran menurut Ki Hajar Dewantara juga mengajarkan bahwa pembelajaran itu ada tiga aspek yaitu wiraga, wicipta dan wirama ini ada kaitannya dengan teori belajar kognitif Piaget bahwa peserta didik belajar sesuai dengan usianya dimana usia tersebut menentukan kemampuan anak.  Maka dari itu guru juga berperan untuk membimbing dan mengawasi peserta didik agar dapat memanfaatkan teknologi dengan bijak sesuai dengan kebutuhan peserta didik yaitu tujuan utamanya untuk belajar. Orang tua juga berperan penting untuk memberikan perhatian pada anak agar anak mendapatkan kasih sayang yang dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak.  Lingkungan sekitar juga menjadi faktor perkembangan anak untuk mendapatkan pembelajaran dari lingkungan anak belajar bersosialisasi dengan masyarakat setempat berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat. Karena konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara menghubungkan antara pendidikan, kebudayaan, dan sosial yang saling berkaitan untuk mempersiapkan anak menghadapi kehidupan yang sebenarnya dan mempersiapkan anak untuk menghadapi segala bentuk tantangan-tantangan pada masa yang akan datang. Referensi: Bukhari, Umar. 2010.  Ilmu pendidikan Islam Jakarta: Amzah. Hal. 59-60 Raharjo, Suprapto. Biografi singkat Ki Hajar Dewantara. Hal. 85 Wawan, eko. Komsep belajar menurut Ki Hajar Dewantara dan Relecansinya dengan pendidikan Agama Islam.: Jurna pendidikan: hal. 70

PERMAINAN LATO-LATO DAN PENDIDIKAN

Oleh : Dedy Mulyana Fitriyanto Indonesia negara, yang terkenal kaya akan keragaman budaya dan tradisi, lantaranmemiliki ratusan suku bangsa yang tersebar di puluhan ribu pulau yang di Indonesia. Salah satu yang menjadi warisan budayanya adalah permainan tradisional. Semakin pesatnya perkembangan zaman, permainan tradisional di Indonesia Mulai tergeser dengan hadirnya permainan di gadget. Padahal permainan tradisional jauh memiliki dampak yang positif dibandingkan yang ada di gadget. Permainan tradisional mengandung nilai-nilai dan filosofi kehidupan.  Ditengah kekhawatiran punahnya permainan tradisional di indonesia secara tiba tiba Permainan tradisional lato-lato saat ini sedang menjadi tren di kalangan anak-anak Indonesia. Permainan itu dimainkan berbagai kalangan, baik balita maupun anak-anak usia sekolah. Bahkan, dalam beberapa kesempatan juga terlihat remaja hingga orang dewasa ikut memainkannya. Permainan ini viral salah satunya dikarenakan banyaknya influencer yang ikut bermain permainan tradisional bahkan ridwan kamil selaku gubernur jawa barat dan Presiden Jokowi juga memainkannya.  Mengutip Bisnis.com, lato-lato berasal dari negara Amerika Serikat pada 1960-an. Namun, mulai populer di negara Paman Sam tersebut pada 1970. Pada 1970-an, permainan lato-lato sempat dilarang oleh pejabat sekolah AS. Menggunakan material kaca, permainan yang harus dibanting ini rawan pecah. Pecahan kacanya pun tak bisa diprediksi. Berterbangan ke mana-mana, pecahan lato-lato pun kerap mengenai tubuh seseorang. Selain di Amerika Serikat, lato-lato juga mirip dengan boleadoras atau bolas, senjata pilihan untuk gaucho koboi Argentina. Permainan koboi ini juga ternyata menelan korban, sehingga dilarang penggunaannya oleh pemerintah setempat. Meski berasal dari negara Amerika Serikat, kata lato-lato merupakan sebutan permainan tradisional yang berasal dari bahasa Bugis, Sulawesi Selatan.  Saat ini mulai banyak imbauan dari otoritas pendidikan setempat agar permainan lato-lato tidak dibawa ke sekolah. Imbauan itu kemudian diterjemahkan sebagai larangan. Sebenarnya, dasar hukum ataupun dasar akademik dari himbauan untuk tidak membawa lato-lato ke sekolah tidak ada. Alasannya terkesan mengada-ada dan mau gampangnya saja, yaitu karena lato-lato bukan alat atau media belajar, dapat mengganggu konsentrasi belajar siswa karena berisik, dan alasan lain faktor keselamatan.  Padahal, sekolah dan guru hanya memerlukan sedikit kreativitas, alat tersebut bisa menjadi media belajar selingan agar proses belajar mengajar tidak monoton. Misalnya, gerakan dalam permainan lato-lato disinyalir juga menjadi pemicu untuk menstimulasi fungsi motorik anak. Saat bermain lato-lato, pemain harus menggerakkan tangannya dengan seimbang agar menghasilkan permainan yang baik. Saat gerakan ini berlangsung, setidaknya terjadi fungsi koordinasi antara kognitif dan motorik anak yang berdampak baik terhadap pencapaian perkembangannya. Penelitian mutakhir membantu menjelaskan bagaimana gerakan secara langsung bermanfaat kepada sistem saraf yang bermuara pada pembelajaran. Kegiatan otot, terutama kegiatan yang terkoordinasi, mampu menstimulasi produksi neurotrophin, yaitu substansi alami yang merangsang pertumbuhan sel-sel saraf dan meningkatkan jumlah koneksi saraf dalam otak sehingga memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran (Jalaluddin, 2010).  Walker (2015) juga menambahkan, selain dapat membuat anak menjadi aktif dan menambah semangat dalam belajar, kegiatan fisik juga kaya akan manfaat bagi  perkembangan mereka sehingga dapat mengurangi penyakit kardiovaskular, memperbaiki fungsi kognitif (seperti ingatan dan perhatian), dan secara positif berpengaruh terhadap kesehatan mental. Alat ini cocok sekali digunakan untuk siswa PAUD, TK, dan sekolah dasar untuk melatih motorik kasar dan halus mereka.  Permainan lato-lato juga dapat meningkatkan perkembangan sosio-emosional anak. Lazimnya permainan lato-lato dimainkan secara serentak dan bersamaan dengan beberapa pemain lain. Terlebih saat ini perkembangan sosial anak perlu menjadi perhatian setelah adanya proses pembatasan sosial selama pandemi covid-19 berlangsung. Adanya permainan lato-lato telah merajut kembali persatuan sosial anak melalui permainan. Dalam hal ini kemampuan sosial anak akan meningkat seiring dengan banyaknya pergaulan bersama dengan anak lain. Jika ditinjau dari perspektif ilmu pengetahuan, permainan lato-lato pada dasarnya menganut teori saintifik, khususnya fisika. Dalam permainan itu, hukum Newton 3 tampak ketika pemain menghentakkan tangan sehingga membuat dua buah bandulan saling memantul dan memukul satu sama lain (gaya aksi dan reaksi dari dua benda). Permainan lato-lato juga mengakibatkan terjadinya tumbukan lenting sempurna pada dua buah benda ( media indonesia.com). Akan tetapi permainan lato-lato ini juga harus menjadi perhatian dalam memainkannya terutama dalam lingkungan sekolah harus ada pengawasan dari guru dan penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran yang ada sehingga permainan ini dapat bermanfaat secara maksimal. Permainan ini menjadi angin segar untuk semua pihak yang menandakan bahwa anak sudah mulai mengalihkan perhatian dari smartphone ke permainan tradisional.

Pembelajaran Berdiferensiasi, Solusi dari Pemenuhan Kebutuhan Peserta Didik

Oleh : Hanum Faizunnur Lathifah Pandemi Covid 19 atau Corona virus disease of 2019 yang mulai menyebar pada tahun 2019 membuat seluruh aspek dalam kehidupan terkena dampaknya. Mulai dari ekonomi, pangan, transportasi hingga pendidikan. Meskipun tidak berdampak secara langsung, pendidikan juga ikut terkena imbasnya. Akibatnya terciptalah yang dinamakan dengan learning loss. Menurut Zahir dkk (2022) yang dimaksud dengan learning loss disini adalah hilangnya makna pembelajaran yang menjadi hak peserta didik. Hal ini dikarenakan peserta didik tidak dapat melaksanakan pembelajaran seperti biasanya di Sekolah. Peserta didik terpaksa melakukan pembelajaran secara tatap muka (virtual) akibat dari adanya pandemic covid 19.  Peserta didik yang seharusnya melaksanakan kegiatan pembelajaran di Sekolah beralih melaksanakan pembelajaran di Rumah dengan bantuan sarana handphone ataupun laptop. Dalam penelitiannya Syamsuddin (2021) menemukan jika kegiatan pada masa pandemic covid19 mengakibatkan peserta didik menjadi malas dan jenih terlalu lama belajar di Rumah. Syamsuddin juga menjelaskan jika kurangnya pengawasan guru dan orang tua untuk memantau dan membimbing peserta didik ketika pembelajaran secara daring juga menjadi faktor menurunnya motivasi belajar peserta didik. Setelah dua tahun mengalami masa yang sulit dalam mengahadapi pandemic covid yang melanda Indonesia. Sekarang peserta didik dapat mendapatkan haknya untuk melakukan pembelajaran di Sekolah. Meski demikian terdapat masalah akibat adanya jarak dua tahun selama pandemi covid 19 menjadikan kemampuan peserta didik memiliki gap yang cukup terlihat antara peserta didik yang satu dengan lainnya. Hal ini dapat dikarenakan sarana belajar yang kurang memadai ketika melaksanakan pembelajaran secara daring ataupun orang tua yang tidak ikut membimbing dan mengawasi peserta didik ketika melakukan pembelaajaran secara daring. Kebutuhan yang dimiliki peserta didik juga menjadi beragam. Peserta didik dalam satu kelas tentunya memiliki kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik yang berbeda-beda, Fitra (2022) menyatakan jika salah satu upaya memenuhi kebutuhan belajar peserta didik sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara adalah melalui pembelajaran berdiferensiasi. Melalui pembelajaran berdiferensiasi, kebutuhan belajar peserta didik yang beragam mulai dari kesiapan belajar, minat belajar peserta didik dan profil belajar peserta didik dapat terakomodasi dan dapat mencapai tujuan belajar yang sama. Andini (2016) juga mengungkapkan jika keberagaman yang dimiliki setiap individu harus diperhatikan karena setiap individu tumbuh di lingkungan dan budaya yangberbeda-beda. Andini juga menyatakan jika pada dasarnya semua anak itu belajar, yang membedakan adalah kemampuan belajar yang berbeda-beda didalam kelas yang sama. Oleh karenanya dibutuhkannya pembelajaran diferensiasi agar kebutuhan peserta didik yang beragam dapat terpenuhi. Pembelajaran berdiferensiasi memiliki empat elemen/aspek penting dalam pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi, diantaranya terdapat konten, produk, proses dan lingkungan belajar. Keempat aspek ini dapat membantu guru dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik ketika pembelajaran berlangsung. Dalam aspek konten peserta didik berhak mendapatkan materi atau bahan ajar sesuai dengan gaya belajar yang dimiliki setiap peserta didik. Peserta didik yang lebih cepat memahami materi melalui video akan menjadi satu kelompok yang bahan ajarnya berupa video. Pada aspek produk, peserta didik dapat memilih secara bebas akan menyajikan karya dari materi pada pembelajaran pada hari itu. Penyajian karya disini yang dimaksud adalah peserta didik dalam mengerjakan karya dalam bentuk mind map, infografis, lagu ataipun kesimpulan. Meskipun memiliki perbedaan hasil akhir tetapi tetap memuat tujuan pembelajaran yang sama. Pembelajaran berdiferensiasi pada aspek proses menjelaskan ketika peserta didik akan peserta didik yang satu diberikan waktu yang berbeda dengan peserta didik yang lain dikarenakan peserta didik tersebut memiliki kekurangan dalam menulis jawaban dari pertanyaan yang didapat. Sedangkan untuk aspek lingkungan belajar, tempat duduk peserta didik akan diubah sesuai dengan kebutuhan guru dalam pembelajaran. Menurut Saya, pembelajaran berdiferensiasi dapat membantu guru dalam memenuhi kebutuhan belajar peserta didik, terutama kepada peserta didik yang mengalami pandemic covid 19. Pembelajaran berdiferensiasi juga secara jelas menjelaskan bagaimana pelaksanaan pembelajaran dengen strategi diferensiasi berdasarkan aspek pembelajaran berdiferensi. Aspek pembelajaran berdiferensiasi secara nyata mampu memenuhi kebutuhan belajar peserta didik yang beragam dikarenakan setiap peserta didik mendapatkan pembelajaran yang disesusaikan dengan kebutuhan dan minat belajar peserta didik. Dengan begitu dapat disimpulkan jika pembelajaran berdiferensiasi dapat mengembalikan leraning loss yang terjadi pada peserta didik ketika pandemic covid 19 terjadi selama dua tahun ini. Pembelajaran berdiferensiasi juga dapat secara nyata memikirkan dan memenuhi kebutuhan belajar peserta didik yang beragam sesuai karakter yang dimiliki peserta didik.  Referensi/Daftar Pustaka Andini, Dinar Westri. (2016). Differentiated Instruction Solusi Pemblejaran dalam Kebragaman Siswa di Kelas Inklusif. Trihayu : Jurnal Pendidikan ke-SD-an, 2(03), 340-349. Fitra, Devi Kurnia. (2022). Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Perspektif Pregresivisme pada Mata Pelajaran IPA. Jurnal Filsafat Indonesia, 5(03), 250-258. Syamsuddin, (2021). Dampak Pembelajaran Daring di Masa Pandemic Covid 19 terhadap Motivasi Belajar Siswa SD Inpres 1 Tatura Kota Palu. Guru Tua : Jurnl Pendidikan dan Pembelajaran, 4(01), 45-50. Zahir, Abdul dkk. (2022). Implementasi Kurikulum Merdeka Jenjang SD Kabupaten Luwu Timur. IPMAS, 2(02), 1-8.

Kurikulum Merdeka Siapa Takut?

Oleh : Magdalena Dewi K Kurikulum adalah rancangan pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk menyelesaikan suatu program pendidikan dan untuk mendapatkan ijazah kelulusan. Kurikulum juga dapat diartikan sebagai jantung pendidikan, hal ini dikarenakan baik-buruknya hasil pendidikan ditentukan oleh kurikulum. Setiap tahun kurikulum di Indonesia mengalami perubahan dan perkembangan mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum terbaru yang digunakan Indonesia saat ini adalah Kurikulum Merdeka. Kurikulum merdeka adalah konsep merdeka belajar yang dikemukakan oleh bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yaitu Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A.yang terinspirasi pada pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Kurikulum Merdeka belajar ini bermaksud untuk mengembalikan sistem pendidikan nasional kepada undang-undang untuk memberikan kemerdekaan kepada satuan pendidikan dalam menginterpretasikan kompetensi kurikulum kedalam bentuk penilaian (Sekretariat GTK, 2020).  Kurikulum Merdeka masih merupakan konsep baru bagi satuan pendidikan saat ini. Karena di dalam Kurikulum Merdeka ini setiap satuan pendidikan diberi kebebasan untuk menyusun kurikulumnya sendiri sesuai dengan karakteristik sekolahnya masing-masing. Kurikulum Merdeka menuntut kekreatifan setiap satuan pendidikan di sekolah khususnya guru untuk dapat menyusun kompetensi serta pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan peserta didik. Namun hal ini kerap kali ditakuti setiap sekolah, karena takut tidak sesuai dengan ekspetasi yang diharapkan. Seharusnya hal ini dijadikan tantangan bagi setiap sekolah untuk bisa mengembangkan mutu dan kompetensinya. Tantangan ini bukan berarti membawa beban bagi setiap sekolah, namun untuk memperbaiki, meningkatkan hal yang sudah ada menjadi lebih baik. Dengan membuat kurikulumnya sendiri dan menyesuaikan sesuai dengan peserta didiknya, maka pendidikan yang dilaksanakan di sekolah akan berhasil. Penyusunan Kurikulum Merdeka tidaklah sesulit yang ditakuti oleh setiap sekolah. Dalam Kurikulum Merdeka terdapat satu elemen penting yang sudah disediakan pemerintah untuk membantu setiap sekolah untuk menyusun kurikulumnya. Elemen ini adalah Capaian Pembelajaran (CP).  Capaian Pembelajaran adalah istilah pengganti untuk kompetensi inti. Capaian Pembelajaran dibagi menjadi beberapa fase. Setiap fase memiliki tingkatan masing-masing yaitu Fase PAUD, Fase A ( kelas 1-2), Fase B (Kelas 3-4), Fase C (Kelas 5-6), Fase D (SMP), dan Fase E (SMA). Setiap fase berisi capaian pembelajaran yang berbeda-beda, setiap Capaian Pembelajaran (CP) harus ditelaah dan dikembangkan masing-masing oleh setiap guru kelas untuk menjadi Tujuan Pembelajaran (TP). Tujuan Pembelajaran adalah istilah pengganti untuk kompetensi dasar. Bedanya TP dan KD ini adalah penyusunnya, TP disusun sendiri oleh kerja sama guru disetiap fase dengan menguraikan dari Capaian Pembelajaran yang sudah tersedia, sedangkan KD sudah disediakan dan disusun oleh pemerintah. Di dalam Tujuan Pembelajaran ini guru di setiap fase memilah capaian pembelajaran sesuai dengan kelas di setiap fase, contoh di Fase A terdapat satu CP untuk dua kelas, maka guru kelas 1 dan 2 bekerja sama untuk menguraikan CP ini sesuai dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik di setiap kelasnya. Selain itu dalam TP guru juga memberikan kode sendiri. Setelah menyusun Tujuan Pembelajaran dengan menganalisis dan menguraikan sendiri Capaian Pembelajaran. Selanjutnya adalah menyusun Alur Tujuan Pembelajaran (ATP). ATP adalah istilah lain untuk menggantikan indikator dalam kurikulum sebelumnya. ATP ini merupakan penguraian lebih lanjut dari Tujuan Pembelajaran yang sudah dibuat. ATP ini disusun tidak terlepas dari aspek pemahaman pendidikan dari para ahli pendidikan seperti Kata Kerja Operasional dari Bloom, aspek pemahaman menurut Wiggins dan Tighe, dan lain sebagainya. Dalam ATP ini guru setiap kelas dapat mengembangkan TP sesuai dengan karakteristik, kemampuan serta perkembangan peserta didiknya masing-masing. Jadi dapat dikatakan setiap sekolah pasti memiliki Kurikulum yang berbeda-beda karena menyesuaikan dengan tingkat karakteristik, kemampuan serta perkembangan peserta didiknya masing-masing. Selanjutnya setelah menyusun ATP langkah selanjutnya adalah membuat Modul Ajar (MA). MA merupakan istilah lain untuk menggantikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Komponen dalam MA lebih sederhana dari RPP dan hal ini memudahkan guru dalam menyusunnya, yang awalnya ada 13 komponen menjadi 3 komponen saja. 3 komponen penyusun MA antara lain : Informasi umum yang berisi identitas modul, kompetensi awal, tujuan pembelajaran, profil pelajar pancasila, sarana prasarana, target dan jumlah peserta didik, dan model pembelajaran. Komponen Inti berisi tentan tujuan kegiatan pembelajaran, pemahaman bermakna, pertanyaan pemantik, persiapan belajar, kegiatan pembelajaran, refleksi dan asesmen. dan Lampiran yang berisikan bahan ajar, LKPD, soal sumatif dan formatif, glosarium dan daftar pustaka. Setelah Modul ajar selesai langkah terakhir yang harus dilakukan adalah melaksanakannya dalam pembelajaran. Dari alur di atas dapat kita lihat bahwa Kurikulum Merdeka bukanlah suatu hal yang menakutkan. Justru dalam Kurikulum Merdeka ini, guru dapat menyalurkan ide kreatifitasnya, serta dapat menyesuaikan dengan peserta didiknya masing-masing. Baik guru maupun peserta didik diberi kebebasan untuk bereksplorasi dalam kegiatan pembelajarannya. Jangan jadikan Kurikulum Merdeka sebagai hal yang menakutkan, tapi jadikanlah sebuah tantangan yang harus dilaksanakan untuk mengembangkan pendidikan yang lebih maju lagi. Indonesia Pulih Cepat Bangkit Lebih Kuat. Ora Et Labora . Daftar Pustaka Annisa Alfath, Fara Nur Azizah, & Dede Indra Setiabudi. (2022). PENGEMBANGAN KOMPETENSI GURU DALAM MENYONGSONG KURIKULUM MERDEKA BELAJAR. Jurnal Riset Sosial Humaniora Dan Pendidikan, 1(2), 42–50. https://doi.org/10.56444/soshumdik.v1i2.73 Asri, M. MODELING: Jurnal Program Studi PGMI 4, no. 2 (September 29, 2017): 192-202. Accessed January 15, 2023. http://www.jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/modeling/article/view/128.

Mengenalkan Budaya Jawa melalui Pembiasaan Budaya di SDN Ngaliyan 05

Oleh : Indriani Devi SDN Ngaliyan 05 melaksanakan pembiasaan budaya Jawa setiap hari rabu pagi sebelum dilaksankannya pembelajaran. Pelaksanaan dilakukan secara rutin setiap pukul 07.00-07.15 di lapangan sekolah.  Budaya Jawa merupakan budaya yang berasal dari suku Jawa dan dinaut oleh masyarakat Jawa yang merupakan tradisi kearifan lokal, adat istiadat yang diwariskan secara turun menurun oleh orang tua terdahulu/nenek moyang mereka kepada para generasi muda yang dilakukan secara terus menerus hingga saat ini. Perlu adanya pembelajaran yang memperkenalkan budaya dalam pembelajaran di sekolahnya, budaya penting dikenalkan pada anak sekolah dasar. Tujuan dari pembiasaan ini ialah untuk meningkatkan cinta akan budaya Indonesia khususnya budaya jawa dan menjadi salah satu metode efektif dalam mneingkatkan kemampuan berbahasa jawa peserta didik. Budaya yang dikenalkan di SDN Ngaliyan 05 adalah budaya jawa antara lain Bahasa Jawa, lagu-lagu Bahasa Jawa, dan materi tentang Bahasa Jawa. Pengenalan budaya Jawa dilakukan dengan cara mengenalkan anak tentang budaya dengan menyanyikan lagu-lagu berbahasa Jawa yang dinyanyikan oleh peserta didik secara bergantian setiap minggunya, mengenalkan tokoh-tokoh pewayangan dilakukan oleh bapak/ibu guru disampaikan melalui tepuk-tepuk unik agar mudah diingat peserta didik serta mengajarkan berbahasa jawa krama yang baik.  “Pembiasaan budaya diharapkan dapat membentuk karakter anak melalui budaya yang dimiliki” – ujar Kepala Sekolah pada Rabu, 11 Januari 2023 “Pembiasaan budaya jawa merupakan metode yang efektif dalam memudahkan peserta didik memahami materi bahasa jawa sehingga peserta didik antusias dalam pembiasaan ini” – Indriani Devi