Jangan Dibuat Rumit
Bagi yang baru mulai menanam, jangan merumitkan diri dengan target menanam untuk menjual hasil kebun atau komersial. Mulailah menanam untuk kebutuhan diri sendiri dan keluarga.
“Produksi pangan secukupnya dan olah seperlunya,” kata Dian yang saat ini tengah menempuh program doktoral di Institute of Environmental Sciences Leiden University, Belanda.
Data dari Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa food waste (sampah makanan) yang dihasilkan tiap orang Indonesia setiap tahun sudah mencapai 300 kilogram.
“Sungguh mubazir,” ujar dia.
Ia membagikan tips berkebun di rumah. Setidaknya ada tiga langkah yang perlu dijalankan, yakni tentukan terlebih dahulu tujuannya, observasi dan desain kebun, serta langsung praktik.
Pertama, temukan alasan dan motivasi pribadi dalam berkebun. Misalnya, untuk menghasilkan pangan yang cukup, memanfaatkan waktu, dan barang yang tersedia di rumah, menghasilkan uang, atau mungkin sekadar iseng-iseng belajar.
Kedua, melakukan observasi dan desain kebun.Tujuannya mengetahui dan mengenal potensi, tantangan, hambatan berkebun di rumah, lalu membuat rencana tanam.
Selanjutnya, melakukan pengamatan, ruang untuk bisa menanam. Bisa memanfaatkan halaman, teras, balkon, rooftop (atap), di tembok, di tangga, menggantung, terbuka, atau bahkan tertutup.
Observasi, kata Dian, juga terkait dengan orientasi Matahari dan angin, akses air, jenis dan kontur tanah, sampah, serta batas kebun dengan tetangga.
Setelah observasi, tentukan desain kebun yang ingin dibangun. Jenis tanaman yang cocok, jadwal tanam, elemen kebun (mau ada ternak atau kolam misalnya), struktur kebun, dan sebagainya. Terakhir dan yang terpenting adalah just do it! Lakukan dan terus belajar.
“Bahkan, kesalahan adalah guru yang baik untuk membantu mengasah green thumb. Kalau gagal, ingat kembali bahwa berkebun itu pada akhirnya menyenangkan maka jangan berhenti,” kata Dian.
Tomi, pemilik Okebunku Solo, yang baru beberapa bulan memulai berkebun di pekarangan rumahnya saat datang pandemi Coronavirus Disease-2019 memberikan testimoni.
Tomi menanam sekaligus memanen berbagai jenis sayur dan buah di kebunnya. Dia yang belajar berkebun dari nol menekankan pentingnya untuk terus mencoba dan belajar dalam bercocok tanam.
“Itu kuncinya,” kata dia dalam video ditayangkan dalam webinar yang diselenggarakan oleh bisnis rintisan CitiGrower, inisiatif urban farming berbasis digital.
Murah
Jelas berkebun murah karena modalnya gratis. Matahari, air, dan tanah tersedia melimpah di Tanah Air.
Kini, kata Dian Armanda, tinggal kemauan karena modal berkebun ada di sekitar lingkungan rumah.
Membuat kompos, misalnya, bisa memanfaatkan sampah dapur, kemudian barang bekas bisa menjadi wadah tanam dan alat tanam, lalu air hujan, bahkan grey water atau air limbah rumah tangga juga gratis. Dengan demikian, berkebun tidaklah sulit karena modalnya sudah ada di sekitar lingkungan rumah.
Berkebun juga menyenangkan. Ketika tanaman makin tumbuh subur, hati merasa senang, apalagi hasil kebun untuk kebutuhan rumah tangga akan sayuran. Tidak perlu lagi mengeluarkan uang untuk membeli sayuran di pasar atau swalayan. Bahkan, kalau berlebih, bisa menjualnya ke pasar.
Praktisi urban farming Sita Pujianto dari Jakarta ketika tampil dalam webinar Citigrower’s Urban Farming Series, Sabtu (29/11), yang bertajuk “Berkebun Mudah, Murah, dan Menyenangkan; Mulai Darimana?” bercerita bahwa keluarganya mengonsumsi hasil kebunnya tiap hari.
Sita menyebutkan sejumlah tanaman yang mudah dan cepat panen, antara lain bayam dan kangkung 21 hari sampai dengan satu bulan sudah bisa dipanen; tanaman indigenous/perennial, seperti katuk, ginseng jawa, kelor, kenikir kemangi; dan herbs mint oregano rimpang-rimpangan, misalnya kunyit dan kencur.
Jika setiap rumah tangga memanfaatkan ruangan yang ada untuk berkebun urban organik, tidak hanya mencukupi kebutuhan keluarga, tetapi juga akan memperkukuh ketahanan pangan bangsa Indonesia di tengah pandemi Covid-19.