Jowonews

Logo Jowonews Brown

Belajar Politik dari Perburuan Kursi DKI 1

JAKARTA,Jowonews.com – Pemilihan Kepala Daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta masih setahun lagi, namun persaingan untuk memperebutkan jabatan prestesius tersebut sudah mulai menghangat.

Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama yang naik menjadi pimpinan Jakarta pada 2014 setelah menggantikan Joko Widodo mengatakan akan maju melalui jalur independen.

Posisinya sebagai petahana cukup diuntungkan. Selain bisa menjada sarana meningkatkan popularitas di kalangan masyarakat, juga bisa mendorong pelaksanaan program-program pembangunan Jakarta yang bisa dijadikannya ukuran keberhasilan saat menawarkan program dalam kampanye pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang.

Juru Bicara DPP Partai Demokrat Ruhut Sitompul menilai peluang pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, akan sulit ditandingi oleh pasangan lain.

“Sampai sekarang baru Ahok yang siap maju, yang lain masih ‘malu-malu kucing’,” katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta.

Dia mengatakan partainya tidak masalah apabila Ahok berpasangan dengan Djarot dalam Pilkada 2017 dan kekuatannya akan sulit ditandingi pasangan lain.

Nama-nama bakal calon gubernur DKI periode 2017-2022 yang digadang-gadang dan diharapkan bisa menandingi Ahok dalam perebutan kursi panas gubernur Jakarta mulai dikeluarkan oleh berbagai pihak.

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Partai Amanat Nasional (PAN), Dipo Ilham dalam rilis di Jakarta menyebutkan sejumlah nama yang diusung antara lain Walikota Bogor Bima Arya dan dua artis kader PAN seperti Eko Patrio dan Desy Ratnasari untuk mengikuti Pilkada DKI 2017.

Nama-nama lain yang masuk ke dalam bursa calon gubernur DKI antara lain Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Biem Benyamin, Ahmad Dani, Yusril Ihza Mahendra, Saefullah, Adhyaksa Dault, Nachrowi Ramli, Abraham Lunggana, Marco Kusumawijaya, Ichsanuddin Noorsy, Tantowi Yahya, Idrus Marham, Aziz Syamsuddin dan Risma Triharini.

Posisi strategis Gubernur DKI Jakarta merupakan jabatan yang tak hanya prestesius namun juga memiliki peran penting, apalagi Jakarta merupakan ibukota negara.

Sejak jaman kemerdekaan, kepala daerah Jakarta selalu dipilih orang-orang yang dinilai memiliki kemampuan yang pas sesuai jamannya untuk mengembangkan Jakarta. Nama-nama seperti Sudiro, Henk Ngantung, Ali Sadikin, Suprapto, Wiyogo Atmodarminto, Sutiyoso hingga Fauzi Bowo dan kemudian Joko Widodo merupakan personal-personal yang dinilai kemampuannya bisa mengembangkan ibukota sesuai tuntutan jaman.

Ali Sadikin merupakan sosok yang dinilai paling berhasil dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dipilih pada 1966 oleh Presiden Soekarno, Bang Ali, demikan nama akrabnya dipanggil masyarakat berhasil mengubah Jakarta dari sebuah “Kampung Besar” menjadi kota metropolitan.

Pada jaman Ali Sadikin Jakarta mulai memiliki terminal angkutan umum di Cililitan dan Lapangan Banteng. Di setiap wilayah Jakarta juga dibangun gelanggang remaja sebagai sarana olahraga dan berkesenian.

Taman Ismail Marzuki (TIM) juga dibangun sebagai wadah budayawan ibukota berkumpul dan berekspresi. Sebelumnya mereka kerap berkumpul di kawasan Senen Jakarta Pusat.

Ketika Bang Ali mengakhiri jabatannya sebagai pimpinan Jakarta pada 1977, Jakarta telah bertransformasi menjadi sebuah kota besar yang modern. Kebun binatang di kawasan Cikini, dipindahkan ke Ragunan dengan luas tanah yang lebih representatif.

Karena dinilai memberikan kontribusi yang besar, maka ada anekdot, Gubernur DKI Jakarta itu Ali Sadikin sementara yang lain hanya penggantinya saja.

Wiyogo Atmodarminto tercatat sebagai gubernur DKI yang melakukan pembenahan transportasi, salah satunya dengan melarang becak masuk ke Jakarta karena dianggap tidak manusiawi. Wiyogo memang terkenal dengan semboyan Jakarta Bersih, Manusiawi dan Berwibawa (BMW).

Sutiyoso yang menjabat selama dua periode dengan empat presiden berbeda, 1996-2006, tercatat sebagai gubernur yang memberikan kontribusi pada perbaikan transportasi melalui kebijakan bus cepat dengan jalur khusus.

Mengadopsi moda transportasi yang ada di ibukota Kolombia Bogota, Sutiyoso pada 2004 meresmikan TransJakarta sebagai moda baru di DKI Jakarta dengan jalur khusus. Semula koridornya membentang dari Blok M menuju Jakarta Kota, kini telah melebar menjadi 12 koridor dengan target pembangunan hingga 15 koridor dalam beberapa tahun mendatang.

Menjadi Gubernur DKI Jakarta juga bukan sekedar memimpin ibukota. Posisi tersebut bila didukung dengan popularitas yang tinggi bisa mengantarkan pemilik jabatan itu menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia.

Meski contoh tersebut baru bisa dilakoni oleh Joko Widodo pada 2014, namun jauh sebelumnya, pada masa Ali Sadikin, juga pernah digadang-gadang untuk menjadi Presiden RI pada masanya, setelah melihat keberhasilannya membenahi Jakarta.

Pelajaran Politik Ketika Basuki Tjahaja Purnama menyatakan akan maju sebagai calon independen di 2017 nanti, banyak kalangan yang memahaminya sebagai salah satu bentuk kekecewaan Ahok terhadap partai politik.

Melalui komunitas sahabat Ahok, upaya pengumpulan tandatangan pendukung dari kalangan masyarakat mulai dilakukan sebagai salah satu modal dukungan dalam pilkada 2017.

Hal lain yang menarik adalah keputusan Walikota Bandung Ridwan Kamil yang urung maju ke pilkada DKI 2017 meski dijagokan oleh banyak kalangan bisa menyaingi popularitas Basuki.

“Setelah mendengarkan dan memutuskan karena parpol harus mendapatkan siapa calonnya pada April. Sehingga kesimpulannya maju ke Jakarta tapi tidak sekarang alias saya tidak akan maju sebagai calon Pilkada DKI Jakarta,” kata Ridwan Kamil, di Balai Kota Bandung, Senin pekan ini.

Ia menjelaskan pertimbangan terbesar dirinya tidak maju sebagai calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2017 ialah karena ingin menuntaskan masa jabatannya sebagai Wali Kota Bandung selama lima tahun (2013-2018).

“Tugas saya belum selesai diperiode pertama ini, mungkin nanti kalau sudah selesai Insya Allah bisa ke Jakarta, mungkin ke Jabar atau melanjutkan jilid dua periode saya di Bandung,” ujar dia.

Selain itu, lanjut dia, bisa saja setelah habis masa jabatannya sebagai Wali Kota Bandung dirinya kembali ke profesi awal yakni menjadi arsitektur.

“Karena hampir semua keluarga saya meminta agar saya menjadi arsitek lagi agar kembali memiliki kehidupan yang normal lagi seperti warga biasa,” ujar dia.

Polarisasi pilihan masyarakat dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 mendatang diperkirakan tajam menyusul keputusan Ridwan Kamil yang tak akan maju dalam pertarungan DKI 1.

Pengamat politik Universitas Nasional Mohammad Hailuki di Jakarta, Senin mengatakan konstelasi pendukung para calon gubernur diperkirakan hanya akan ada dua, mendukung Basuki Tjahaja Purnama atau tidak mendukung, mirip seperti yang terjadi pada pilpres 2014 lalu.

“Dengan tidak adanya Ridwan Kamil, maka sosok yang tersedia hanya Ahok dan non-Ahok. Karena sosok Ridwan Kamil diprediksi akan memecah kekuatan dan mencegah polarisasi tajam,” kata Luki.

Ia menjelaskan Ridwan Kamil dianggap bisa mewakili beberapa golongan sekaligus yaitu nasionalis, santri modernis dan kaum urban.

Sementara Ahok mewakili kelompok nasionalis maka kekuatan partai nasionalis akan cenderung merapat seperi PDIP, Hanura dan Nasdem.

“Kompetitor Ahok akan memposisikan diri sebagai representasi kelompok santri modernis. Partai-partai berbasis santri akan melakukan konsolidasi untuk berkoalisi dengan partai nasional religius seperti Demokrat dan Gerindra,” paparnya.

Luki menambahkan khusus untuk PKB yang memiliki kekhasan Islam Tradisional berpeluang merapat mendukung Ahok. Sedangkan Golkar dan PPP masih dirundung persoalan internal.

“Akibatnya, sangat mungkin Pilgub DKI 2017 hanya diikuti oleh dua pasang calon kandidat antara nasionalis melawan santri modernis,” katanya.

Luki menegaskan, meski survei Ahok menunjukkan elektabilitas tinggi, tapi jika tidak hati-hati keadaan bisa berbalik. Jika bertarung “head to head”, maka posisi Ahok tergantung citra penantangnya.

Jika penantang Ahok adalah sosok protagonis maka Ahok akan menjadi antagonis, kondisi ini akan mempengaruhi persepsi pemilih terhadap Ahok.

Sebaliknya, jika penantang Ahok adalah sosok antagonis maka Ahok berada di posisi protagonis, dengan kondisi ini diprediksi Ahok akan memenangkan pertarungan.

“Maka menarik untuk dinanti sosok seperti apa yang akan diusung oleh kekuatan parpol berbasis santri modernis dan nasionalis religius. Apapun itu kita harapkan Pilgub DKI dapat berlangsung secara jujur, bersih, aman dan damai,” kata Luki.

Jabatan Gubernur DKI tak hanya prestesius, namun juga bisa menjadi jalan bagi jabatan politik yang lebih tinggi. Namun lebih daripada itu, bagaimana upaya membangun Jakarta, memberikan kontribusi kemajuan yang nyata dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi warganya seharusnya menjadi hal yang lebih penting untuk dicapai.(JN01/JN19/Ant)

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...