Jowonews

Biografi Syaikh Jumadil Kubra, Satu Nama Banyak Cerita

Di dalam sumber-sumber histoiografi, kisah tokoh yang dikenal dengan Syaikh Jumadil Kubra meimiliki banyak versi. Menurut Th. G. Th. Pigeaud dalam Literature of Java : Catalogue Raisonne of Javanese Manuscripts in the Library of the University of Leiden and Other Collections in The Netherlands, disebutkan bahwa pada zaman kuno terdapat empat orang suci beragama Islam: Jumadil Kubra di Mantingan, Nyampo di Suku Domas, Dada Pethak di Gunung Bromo, dan Maulana Ishak di Blambangan.

Asal Muasal Nama Jumadil Kubra

Menurut Martin an Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, Tarekat, dan Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, nama Jumadil Kubra yang mirip nama Arab tergolong aneh karena melanggar tata bahasa Arab. Kata Arab Kubra adalah kata sifat dalam bentuk mu’annas (feminin), bentuk superlatif (ism tafdhil) dari kata kabir, yang berarti ‘besar’. Bentuk kata mudzakkar (maskulin) yang sesuai adalah akbar. Martin menilai aneh, kata al-Kubra menjadi bagian nam seorang laki-laki. Karena itu, Martin erpendapat nama Jumadil Kubra aalah penyingkatan nama Najmuddin al-Kubra menjadi Najumadinil Kubra, yang dihilangkan bunyi suku kata pertamanya menjadi Jumadil Kubra.



Berbagai Versi Sosok Syaikh Jumadil Kubra

Di dalam Kronika Banten, Syeikh Jumadil Kubra digambarkan sebagai seorang nenek moyang Sunan Gunung Jati. Dikisahkan bahwa salah seorang putera Syeikh Jumadil Kubra yang bernama Ali Nurul Alam tinggal di Mesir. Ali Nurul Alam beputra Syarif Aabdullah. Syarif Abdullah berputra Syarif Hidayatullah, kelak menjadi Sunan Gunung Jati. Sementara itu, menurut Babad Cirebon, tokoh Syeikh Jumadil Kubra dianggap sebagai leluhur Sunan Gunung Jati dan wali-wali lai seperti Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Sedangkan menurut Kronika Gresik, Syeikh Jumadil Kubra memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik. Putera Syeikh Jumadil Kubra bernama Maulana Ishaq dikirim ke Blambangan untuk melakukan islamisasi di sana. Maulana Ishaq adala ayah dari Sunan Giri. Jadi Syeikh Jumadil Kubra, menurut versi ini adalah kakek dari Sunan Giri.

Sejalan dengan Kronika Gresik, Raffles dalam The History of Java yang mencatat kisah-kisah legenda Gresik menyebutkan bahwa Syaikh Jumadil Kubra bukanlah seorang tokoh nenek moyang melainkan seorang pembimbing wali yang pertama. Dikisahkan, Raden Rahmat yang kelak menjadi Sunan Ampel, pertama-tama datang dari Champa ke Palembang dan kemudian meneruskan perjalanan ke Majapahit. Mula-mula Raden Rahmat ke Gresik, dan mengunjungi seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali, bernama Syeikh Molana Jumadil Kubra. Syeikh Molana Jumadil Kubra kemudian menyatakan bahwa kedatangannya telah diramalkan oleh Nabi bahwa keruntuhan agama kafir telah dekat dan Raden Rahmat dipilh untuk mendakwahkan Agama Islam di pelabuhan timur Pulau Jawa.



Babad Tanah Jawi menuturkan bahwa Syeikh Jumadil Kubra adalah sepupu Sunan Ampel yang hidup sebagai petapa di sebuah hutan dekat Gresik. Keberadaan Syeikh Jumadil Kubra sebagai seorang petapa, didapati pula dalam cerita tutur bersifat legendaris yang tersebar di sekitar lereng Gunung Merapi di utara Yogyakarta. Dalam cerita ini, Syeikh Jumadil Kubra diyakini sebagai wali tertua asal Majapahit yang hidup bertapa di hutan Lereng Merapi. Syeikh Jumadil Kubra dalam legenda itu, diyakini berusia sangat tua sehingga dipercaya menjadi penasihat ruhani Sultan Agung.

Sementara itu, menurut tradisi para sayyid asal Hadramaut yang datang ke Indonesia pada akhir abad ke – 18, para wali termasuk Syeikh Jumadil Kubra yang mengislamkan Jawa dan wilayah-wilayah lain di Asia Tenggara adalah keturunan sayyid. Tokoh yang dianggap sebagai leluhur mereka itu bernama Jamaluddin Husain al-Akbar.

Manakah kisah yang lebih otentik antara sumber-sumber babad lokal dengan cerita radisi yang disampaikan para sayyid? Dalam simpulannya, Martinvan Bruinessen yang mendasar kajian pada dokumentasi yang ada, menilai versi babad Jawa lebih asli daripada versi para sayyid. Bagi Martin, cerita tentang Jamaluddin al-Akbar versi para sayyid tampaknya merupakan hasil dari upaya pada abad ke-20 awal untuk ‘mengoreksi’ legenda-legenda Jawa.

Kata sifat Kubra diganti dengan kata Arab yang lebih tepat, yaitu al-Akbar, dan nama aneh Jumadil diganti dengan nama Arab yang paling mirip, yaitu Jamaluddin.

Banyak Makam Syaikh Jumadil Kubra

Sesuai dengan kisah keberadaan dan sepak terjangnya yang simpang siur dalam banyak versi, makamnya juga diyakini berada di berbagai tempat. Berdasar kisah dalam Babad Tanah Jawi yang menuturkan Syeikh Jumadil Kubra pernah melakukan tapa di Bukit Bergota di Semarang, maka penduduk setempat meyakini bahwa sebuah makam tua yang terletak di antara tambak dan darah Terbaya, adalah makam Syeikh Jumadil Kubra. Kisah Syeikh Jumadil Kubra di Gresik dan Mantingan, tidak meninggalkan jejak makam maupun petilasan dari tokoh tersebut. Di lereng Gunung Merapi tepatnya di Desa Turgu di kaki Gunung Kawatsu, terdapat makam keramat yang diyakini sebagai makam Syeikh Jumadil Kubra. Dan, satu-satunya makam yang diyakini umum sebagai kuburan Syekh Jumadil Akbar adalah yang terletak di kompleks makam Tralaya di Kabupaten Mojokerto.

Sumber referensi: Agus Sunyoto dalam buku Atlas Walisongo: Buku Pertama yang Mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait