JAKARTA, Jowonews.com – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly meyakini majelis hakim akan melihat bahwa program asimilasi dan integrasi narapidana terkait COVID-19 yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai kebijakan yang memiliki dasar hukum dan berjalan sesuai ketentuan.
Hal tersebut dia sampaikan berkaitan dengan sidang perdana gugatan atas kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana terkait COVID-19, yang digelar di Pengadilan Negeri Surakarta, Jawa Tengah, Kamis.
“Saya yakin hakim bisa melihat dengan jernih bahwa tidak ada unsur melawan hukum dari kebijakan ini serta pelaksanaannya,” ucap Yasonna dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Dia menilai kebijakan asimilasi dan integrasi terkait COVID-19 telah berjalan dengan benar dan sesuai ketentuan hukum sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020
“Selain memiliki dasar hukum, program asimilasi ini juga dilakukan atas dasar kemanusiaan demi mencegah malapetaka luar biasa yang akan terjadi bila COVID-19 sampai masuk dan menyebar di lingkungan lapas atau rutan yang ‘over crowded’ dan tidak memungkinkan dilakukan ‘physical distancing’ sebagaimana prinsip pencegahan penularan virus ini,” ujar Yasonna.
Yasonna menambahkan, mekanisme pengawasan terhadap narapidana yang dikeluarkan lewat program asimilasi dan integrasi COVID-19 juga telah berjalan efektif. Hal ini, kata dia, terlihat dari rasio narapidana asimilasi yang berulah kembali di masyarakat.
Sejauh ini total narapidana dan anak yang dikeluarkan lewat program asimilasi dan integrasi terkait COVID-19 berjumlah 40.020 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 222 diantaranya terbukti melakukan pelanggaran ketentuan sehingga asimilasinya dicabut.
Bila dikalkulasi, rasio narapidana asimilasi yang kembali berulah di masyarakat ini adalah 0,55 persen. Yasonna mengatakan angka tersebut jauh lebih rendah dari tingkat residivisme pada kondisi normal sebelum COVID-19 yang bisa mencapai 10,18 persen.
“Tanpa mengecilkan jumlah tersebut, rendahnya tingkat pengulangan ini tak lepas dari pengawasan yang dilakukan terhadap narapidana asimilasi,” kata dia.
Dia menyebut bahwa pengawasan yang dilakukan dalam tiga tahapan, yakni preemtif, preventif, dan represif itu tak hanya melibatkan petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas), melainkan juga berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.
“Salah satu evaluasi yang kami lakukan terkait program ini adalah pentingnya koordinasi pengawasan dan itulah yang kami lakukan. Pengawasan terhadap narapidana asimilasi tak cuma dilakukan oleh petugas PK Bapas, tetapi sampai berkoordinasi dengan penegak hukum lain dan jajaran Forkopimda hingga ke level RT/RW,” kata menteri berusia 67 tahun tersebut.
Menanggapi tudingan soal keresahan publik akibat kebijakan asimilasi narapidana, Yasonna meyakini masyarakat sudah semakin paham dan menerima alasan di balik program tersebut. Hal ini disebutnya tak lepas dari upaya yang dilakukan jajarannya dalam memberi penjelasan ke publik, termasuk melakukan konfirmasi atas berita tidak benar terkait narapidana asimilasi.
“Semakin ke sini masyarakat semakin bisa melihat bahwa memang ada faktor kemanusiaan sebagai alasan dikeluarkannya kebijakan asimilasi dan integrasi terkait COVID-19, bahwa ini kebijakan yang harus dilakukan negara dalam menghadapi pandemi ini,” kata Yasonna.
Diketahui, kebijakan Kemenkumham memberikan asimilasi dan integrasi kepada puluhan ribu narapidana sebagai upaya pencegahan penularan COVID-19 di lingkungan rutan/lapas digugat oleh sekelompok advokat Kota Solo yang tergabung dalam Yayasan Mega Bintang Indonesia 1997, Perkumpulan Masyarakat Anti Ketidakadilan Independen, serta Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia.
Gugatan itu dilayangkan kepada Kepala Rutan Kelas I A Surakarta, Jawa Tengah, sebagai tergugat I, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Provinsi Jawa Tengah sebagai tergugat II, serta Menkumham sebagai tergugat III. (jwn5/ant)