Drumband Blek atau masyarakat menyebutnya Drumblek Salatiga, adalah seni musik yang berasal dari Pancuran, kota Salatiga.
Jangan buru-buru membuang wadah kue bekas ke rumah kita. Mungkin kita bisa mengadakan konser marching band menggunakan barang-barang lamamu. Barang yang menurut sebagian orang tak dapat digunakan lagi ini dapat dimanfaatkan sebagai drumblek.
Seperti halnya perangkat Marching Band pada umumnya, Drumblek juga memiliki perangkat yang sama dengan Marching Band. Namun, Drumblek menggunakan peralatan yang lebih sederhana yang berbahan dasar barang bekas seperti kotak kue, kentongan, tempat sampah kecil, tempat sampah besar, dan piring. Dalam bahasa Belanda, kata “blek” dalam Drumblek berasal dari kata serap “Blik” yang berarti kaleng untuk makanan.
Sejarah Awal Mula Munculnya Drumblek Salatiga
Kesenian lokal Salatiga Drumblek pertama kali muncul pada tahun 1986 di Desa Pancuran, Desa Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga dengan penggagasnya bernama Didik Subiantoro Masruri atau biasa dikenal dengan Didik Ompong.
Ide kreatif Didik muncul ketika Desa Pancuran diundang untuk mengikuti Karnaval HUT ke-41 Republik Indonesia. Saat itu, banyak acara seni yang berlangsung di Kota Salatiga. Acara yang dimaksud adalah karnaval, parade, dan festival budaya.
Awalnya Didik berkeinginan untuk mendirikan drumben agar Desa Pancuran bisa berpartisipasi dalam acara tersebut, namun digagalkan oleh dana yang terbatas. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Didik akhirnya menemukan ide unik untuk terus membuat drumben menggunakan barang-barang bekas yang masih bisa digunakan sebagai instrumen pendukung, seperti bambu, ember, drum, ember, dan jerigen.
Ide Didik disambut antusias oleh teman-teman dan remaja di Desa Pancuran. Bersama-sama, mereka mulai mengumpulkan kaleng bekas, kaleng minyak, ember, dan potongan bambu. Setelah beberapa barang bekas tersebut terkumpul semuanya, mereka melanjutkan latihan untuk bisa tampil di Karnaval HUT ke-41 Republik Indonesia. Selama latihan awal, drumnya jauh lebih keras saat dipukul, bahkan tidak membentuk ritme lagu. Memang, semua peralatan yang digunakan adalah barang bekas.
Dalam perkembangan selanjutnya, nama “drumlek” akhirnya disepakati untuk menyebut temuan kesenian tersebut mengingat alat yang digunakan mayoritas berasal dari drum bekas berbahan seng (bahasa Jawa: blek), sedangkan nama komunitas kesenian ini pada awalnya dikenal dengan nama Drumben Tinggal Kandas, kemudian berganti nama menjadi Gempar (Generasi Muda Pancuran).
Keseriusan latihan warga Desa Pancuran terbayar saat tampil dalam rangka HUT ke-41 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Drumblek asal Desa Pancuran ini menarik perhatian masyarakat, bahkan hingga saat ini masih menjadi salah satu pertunjukan yang ditunggu-tunggu masyarakat setiap kali berbagai acara kesenian digelar di kota Salatiga.
Mengenakan pakaian sederhana, cenderung ala kadarnya, dan mengenakan theklek (Jawa: sandal kayu), Drumblek Tinggal Kandas memiliki seringkalai mengangkat tema politik dalam penampilannya. Namun, tema tersebut dikemas tidak terlalu vulgar.
Ciri khas pembawaan drumblek tersebut mengantarkan warga Desa Pancuran meraih penghargaan dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk kategori pawai menggunakan theklek dengan peserta terbanyak. Desa Pancuran kemudian dikenal tidak hanya sebagai pencetus drumblek saja, tetapi juga dengan barisan theklek sebagai ciri khasnya.
Ide-ide kreatif Didik secara bertahap diikuti oleh desa-desa lain di kota Salatiga. Semakin banyak kelompok seni drumblek bermunculan di setiap desa di Salatiga. Drumblek tidak hanya ditampilkan pada saat acara karnaval tetapi juga digunakan sebagai acara seremonial oleh pemerintah kota Salatiga.
Seni Drumblek berkembang pesat selama 10 tahun terakhir, ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok Drumblek baru di daerah perbatasan Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Salah satu faktor yang mendorong pesatnya pertumbuhan kelompok drumblek adalah adanya dukungan dari masing-masing kepala desa di daerah masing-masing.
Bentuk Penyajian Drumblek Salatiga
Drumblek Kota Salatiga dipengaruhi oleh pemain drumben Belanda. Ketika status Kota Salatiga masih gemeente, setiap tahun orang Eropa (khususnya Belanda) yang tinggal di wilayah Kota Salatiga mengadakan festival. Biasanya parade dimulai di Lapangan Tamansari sebelum berkeliling kota.
Setelah pemerintah Hindia Belanda meninggalkan kota Salatiga, alih-alih parade ini punah. Justru drumben gaya londo menjadi tren di Salatiga. Drumblek adalah bentuk “tiruan” dari drumben, hanya instrumennya yang lebih “populer”.
Drumblek menjadi salah satu inovasi hiburan yang sangat digemari terutama oleh masyarakat Kota Salatiga hingga saat ini. Jenis musik ini tidak tergolong alat musik biasa karena berasal dari barang bekas. Namun melalui inovasi, dan kreativitas, benda-benda tersebut disulap menjadi alat musik unik yang tidak berbeda dengan alat musik biasa. Selain itu, seni drumblek lebih kepada musik untuk ruang terbuka, baik di lapangan maupun musik yang dimainkan sambil berjalan seperti drumben.
Anggota drumblek menjadi poin penting dalam kesenian ini. Semakin banyak anggota drumblek, semakin keras suara musik yang dihasilkan. Memang inti dari drumblek adalah semangat dari aspek memainkan instrumen, tarian dan kostum yang digunakan, sehingga anggota kelompok drumblek adalah hal utama yang harus dikoordinasikan secara harmonis untuk memunculkan harmoni.
Dalam satu kelompok drumblek biasanya terdiri dari beberapa anggota yang tugasnya memainkan lagu dengan menggunakan beberapa kombinasi instrumen, dipimpin oleh satu atau dua orang komandan lapangan.
Drumblek seringkali juga diiringi dengan tarian bendera yang membentuk formasi dengan pola yang berubah-ubah tergantung koreografi lagu yang dimainkan.
Foto: doc. putranovant