JEPARA – Festival Jondang atau biasa disebut juga dengan Festival Jondang Kawak merupakan tradisi turun temurun di Desa Kawak, Kecamatan Pakis Aji, Kabupaten Jepara.
Setelah sempat terhenti karena pandemi, akhirnya Festival Jondang dapat terselenggara kembali dan berlangsung meriah. Ribuan warga Desa Kawak mengarak total 40 jondang. Jumlah RT di Desa Kawak terdiri dari 20 RT, dan masing-masing RT membawa 2 jondang.
Jondang Kawak yang berisi makanan, hasil bumi dan palawija itu kemudian diarak menuju makam sesepuh desa, pada Kamis (23/6/2022).
Hal yang menjadi pembeda sedekah bumi Desa Kawak dengan desa lainnya adalah Jondang. Jondang merupakan benda berbentuk persegi panjang dengan ukuran 1×40 cm. Benda tersebut terbuat dari kayu dengan empat kaki di bagian bawah. Pada bagian ujungnya terdapat lubang untuk memasukkan bambu. Fungsi bambu yang dimasukkan tersebut digunakan sebagai pikulan yang dapat dipikul oleh dua orang.
Sementara itu pada bagian tengah jondang kemudian diletakkan berbagai macam jening panganan hasil bumi.
Jondang yang diarak terdiri dari dua jenis, yakni Jondang Lanang dan Jondang Wadon. Jondang lanang merupakan tempat yang bisa digunakan warga untuk menyimpan hasil bumi, bahan makanan dan gerabah. Jondang ini berbahan dasar kayu dengan bentuk lebih tinggi.
Adapun Jondang wadon difungsikan sebagai tempat menaruh makanan jadi dan memiliki tempat lebih pendek.
Konon jondang tak hanya digunakan sebagai tempat, melainkan juga digunakan sebagai alat angkut hasil bumi dan bahan lainnya. Bentuknya yang memanjang seperti halnya peti tanpa tutup, membuat jondang mampu menampung banyak barang untuk dipikul.
Namun hadirnya moda transportasi modern, perlahan-lahan Jondang ini mulai ditinggalkan masyarakat. Untuk itulah kemudian festival ini diselenggarakan untuk nguri-uri budaya dan membangun kembali semangat gotong royong.
“Untuk itu kami berusaha melestarikannya melalui festival ini,” kata Petinggi Desa Kawak, Eko Heri Purwanto, dikutip dari laman Suara Merdeka.
Festival Jondang rutin diselenggarakan seiap tahun yang waktu pelaksanaannya berbarengan dengan momentum sedekah bumi di desa tersebut. Namun sempat terhenti selama dua tahun karena pandemi.
Festival ini, lanjut Eko, juga sebagai bentuk ungkapan syukur warga Desa Kawak, atas hasil bumi yang merupakan anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Jepara, Amin Ayahudi, menjelaskan festival ini sebagai salah satu budaya masyarakat yang perlu terus dikembangkan.
Menurutnya, tradisi ini bukan hanya nguri-nguri budaya, tetapi juga sebagai sarana silaturrahmi warga Desa, merekatkan kebersamaan dan kerukunan antara warga, meningkatkan perekonomian terutama usaha mikro, dam juga sebagai media hiburan bagi masyarakat.
Foto: suarabaru.id