SEMARANG, Jowonews- Indonesia perlu siapkan sumber daya manusia (SDM) intelijen yang mumpuni dalam menghadapi perang informasi. Salah satunya dari Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
“Apalagi persaingan antarnegara kini tidak bisa lepas dari perang informasi, seperti antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang berlomba pada teknologi 5G (fifth generation),” ujar pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha sebagaimana dilansir Antara, Jumat (11/9).
Pratama yang juga dosen pascasarjana pada STIN mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal (Purn.) Budi Gunawan terkait dengan pembukaan program studi baru di STIN.
STIN akan menambah program studi S-2 di bidang intelijen medik mulai akhir September ini. Hal ini untuk menghadapi ancaman pada masa depan, seperti ancaman di bidang pandemi.
“Pada tahun 2021 akan dikembangkan lagi program studi baru S-1 dan S-2 Intelijen Siber dan S-2 Intelijen Ekonomi dan membuka Program S-3 Ilmu Intelijen Strategis,” kata Budi Gunawan di STIN, Bogor, Kamis (10/9).
Langkah tersebut, menurut Budi Gunawan, merupakan salah satu pembaruan atau modernisasi guna mewujudkan STIN sebagai kampus yang bertaraf internasional dan mampu menghadapi tantangan dan ancaman NKRI.
Pratama Persadha menilai modernisasi STIN sudah tepat dengan fokus salah satunya pada penguatan kompetensi intelijen di ruang siber.
“Ini sesuai dengan kebutuhan kekinian karena dibutuhkan SDM yang mengerti betul situasi kontemporer yang tidak bisa lepas dari wilayah siber,” kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Teknologi Siber
Pratama mengutarakan bahwa semua sektor kini terkoneksi ke ruang siber. Artinya selain membuka peluang bagi Indonesia, juga sekaligus membuka risiko. Bila bangsa ini tidak waspada, maka akan menjadi makanan empuk pihak asing yang ingin mengganggu stabilitas dalam negeri.
Ia berharap SDM STIN ke depan tidak hanya menguasai teknologi siber terkini, tetapi juga mempunyai kemampuan analisis, pengamanan penyelidikan, bahkan penggalangan di wilayah siber.
Mindset (pola pikir) geopolitik dan geostrategi diharapkan bisa dipadukan dengan kemampuan teknologi siber sehingga menjadi salah satu komponen penguat kedaulatan informasi dan pertahanan Indonesia.
“Kesadaran dan kewaspadaan siber memang diharapkan muncul sejak dini, salah satunya lewat lembaga pendidikan,” kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Terkait dengan hal itu, lanjut dia, menunggu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memasukkan lebih banyak konten pendidikan siber dalam kurikulum.
Dengan demikian, kata Pratama, anak Indonesia memasuki wilayah siber sudah dengan bekal, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di wilayah siber.
Pratama mengemukakan bahwa era siber sekarang Indonesia dan negara lain menghadapi ancaman hybrid warfare (perang hibrid) maupun cyber warfare (perang maya).
Oleh karena itu, menurut dia, dibutuhkan SDM pertahanan, keamanan, dan intelijen yang melek teknologi siber, mengerti, dan bisa melakukan pertahanan maupun serangan siber.
Dalam jangka panjang, Pratama berharap SDM tersebut tidak hanya menjadi eksekutor, tetapi juga bisa berada di garis depan dalam pembentukan regulasi siber yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia. (Ant)