SEMARANG – Isi dari dokumen Perjanjian Salatiga yang disepakati pada tahun 1757 menjadi penanda penting bagi perubahan dalam struktur kekuasaan di Mataram.
Dahulu, Mataram adalah pusat kekuatan Islam di Jawa, yang mulai berkembang sejak abad ke-16 di bawah kepemimpinan Danang Sutawijaya, yang juga dikenal sebagai Panembahan Senopati. Kerajaan ini pernah menjadi penguasa terkuat di Jawa, merangkul sebagian besar wilayah Pulau Jawa, Madura, bahkan hingga Sukadana di Kalimantan Barat.
Namun, perjalanan panjang itu tak lepas dari konflik internal yang meruncing dalam pertarungan merebut tahta. Perseteruan tersebut akhirnya memunculkan pembagian kekuasaan yang signifikan, terutama setelah penandatanganan Perjanjian Salatiga pada tahun 1757.
Perjanjian ini memberikan bagian kekuasaan atas wilayah Mangkunegara kepada Raden Mas Said. Langkah ini mengikuti jejak Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, yang memberikan bagian Yogyakarta kepada Pangeran Mangkubumi sebagai langkah untuk meredakan pemberontakan.
Akibat dari perjanjian ini, Mataram pun terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan yang terpisah, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Mangkunegara. Setiap wilayah memperoleh status dan wewenang yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Perjanjian Salatiga juga menjadi penanda penting dalam sejarah Raden Mas Said, yang sebelumnya aktif dalam pemberontakan. Penandatanganan perjanjian tersebut mengakhiri perlawanan yang telah berlangsung lama dan mengisyaratkan era baru bagi Mataram.
Latar Belakang Perjanjian Salatiga
Perjanjian Salatiga menjadi titik balik dalam sejarah pemberontakan yang dilancarkan oleh Raden Mas Said sejak tahun 1742. Raden Mas Said, yang merupakan putra dari Pangeran Arya Mangkunegaran dan cucu dari Amangkurat IV, memulai perlawanan ini sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dialami oleh keluarganya.
Pemberontakan ini juga dipicu oleh sikap Pakubuwono II yang cenderung patuh pada VOC dan berlaku sewenang-wenang terhadap bangsawan Mataram. Hal ini menjadi pemicu bagi Raden Mas Said untuk bergerak bersama pasukannya, yang meliputi teman dekatnya seperti Raden Mas Sutowijoyo dan pamannya, Wirodiwongso.
Bersama dengan Raden Mas Garendi, yang juga dikenal sebagai Sunan Kuning, Raden Mas Said melakukan serangkaian aksi pemberontakan, bahkan berhasil menjebol tembok benteng Keraton Kartosuro. Keberanian mereka mengkhawatirkan VOC yang saat itu memiliki pengaruh besar di Mataram.
Meskipun Pangeran Mangkubumi sempat mencoba meredam pemberontakan Raden Mas Said dengan memenuhi permintaan yang diajukan Pakubuwono II, namun pemberontakan itu terus berlanjut. Bahkan, Raden Mas Said harus menghadapi tiga kekuatan sekaligus, termasuk pasukan Pakubuwono III, Hamengkubuwono I, dan kekuatan VOC.
Keberanian Raden Mas Said dalam mempertahankan pemberontakannya bahkan membuatnya diberi julukan ‘Pangeran Sambernyawa’ oleh Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC. Setiap pertempuran yang dilakukannya selalu berujung pada kematian bagi musuh-musuhnya.
Namun, pada tahun 1756, Pasukan Raden Mas Said akhirnya setuju untuk kembali ke Keraton Surakarta setelah berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata melalui berbagai bujukan.
Tanggal 17 Maret 1757 ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian Salatiga, yang mengakhiri secara resmi pemberontakan Raden Mas Said. Perjanjian ini, yang melibatkan pihak Pakubuwono III dan Raden Mas Said, menandai akhir dari periode konflik dan pembagian kembali wilayah Mataram.
Isi Perjanjian Salatiga
Adapun isi Perjanjian Salatiga yang yaitu sebagai berikut:
- Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji (Pangeran yang mempunyai status setingkat dengan raja-raja di Jawa).
- Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di Dampar Kencana (Singgasana)
- Pangeran Miji berhak untuk meyelenggarakan acara penobatan raja dan memakai semua perlengkapan raja.
- Tidak boleh memiliki Balai Witana.
- Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang ringin kembar.
- Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
- Pemberian tanah lungguh seluas 4000 karya yang tersebar meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan,
- Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.
Perjanjian ini pun membatasi Mangkunegaran untuk tidak memiliki otoritas yang sama tinggi dengan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Gelar Raden Mas Said adalah Kanjeng Gusti Adipati Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara 1 dan berhak secara mutlak berhak memimpin Mangkunegaran.
Perjanjian Salatiga menandai runtuhnya Kerajaan Mataram yang terbagi menjadi tiga.
Selain itu, perjanjian ini juga berdampak bagi kekuatan VOC, yang semakin memiliki pengaruh besar terhadap kerajaan-kerajaan di Jawa.
Belanda mulai ikut campur tangan dalam urusan kerajaan, seperti pengangkatan raja baru dan sebagainya.