Jowonews

Seri Babad Tanah Jawi: Konflik Tahta Kerajaan Medang

Berdasarkan Babad Tanah Jawi, terdapat sejumlah Konflik Tahta Kerajaan Medang, baik periode Jawa Tengah hingga runtuhnya Kerajaan Medang di Jawa Timur.

Konflik Tahta Kerajaan Medang Periode Jawa Tengah

Sebagaimana telah disingung dalam penjelasan mengenai raja-raja Medang, pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi, putra Rakai Pikatan (sekitar 856-880-an) ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewandra. Hal ini menunjukkan bahwa saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa.

Sedangkan menurut prasasti Mentyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu dari Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin, karena kepahlawanannya itu, Ia dapat mewarisi tahta mertuanya/

Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Kemudian, ia digantikan oleeh menantunya yang bernama Dyah Tulodhong.

Tidak diketahui dengan pasti proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula. Tulodhong akhirnye tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelunya menjabat sebagai pegawai pengadilan.



Permusuhan dengan Sriwijaya

Sebagaimana telah diketahui, selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwiaya di Pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya prasasti Ligor yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.

Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850-an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa, putra Samaragrawira.

Kemudian, Balaputra menjadi Raja Sriwijaya, yang tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan secara turun-temurun. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

BACA JUGA  Seri Babad Tanah Jawi: Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Medang (Mataram Kuno)

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut, bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.



Peristiwa Mahapralaya

Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya Istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Mengenai tahun terjadinya peristiwa ini, ada dua versi. Pertama. sebagian sejarah menyebut bahwa Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006. Kedua, sebagian yang lain menyebut keruntuhan tersebut terjadi pada tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, yang naik tahta tahun 991. Pada tahun 1006 (atau 1016), saat Dharmawangsa mengadakan pesta perkawinan putrinya, Istana Medang, di Watan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram. Aji Wurawari adalah sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorng pangeran berdarah campuran Jawa-Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga. Ia adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait