SEMARANG, Jowonews.com – Ketua DPRD Jawa Tengah Rukma Setyabudi meminta seluruh rakyat Jawa Tengah memahami pentingnya Pancasila sebagai dasar kehidupan bernegara. Sehingga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap terjaga.
“Satu hal yang patut terus kita syukuri adalah berkah dan ridho Tuhan Yang Maha Esa atas persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa Indonesia di tengah kemajemukan yang kita warisi. Tidak terkecuali bagi rakyat Jawa Tengah yang terus berkembang sebagai kesatuan masyarakat yang dinamis namun tetap hidup dalam kegotong-royongan,” ungkapnya, Selasa (9/1).
Menurutnya, dinamika yang muncul dari berbagai perkembangan serta situasi dan kondisi yang melingkupinya tidak akan pernah bisa membawa kita pada ketercerai-beraian dan perpecahan. Sebab kita tetap teguh pada nilai-nilai kegotong-royongan tersebut.
Demikian pula gotong royong yang terus menyemangati seluruh pemimpin di semua cabang kekuasaan dan di berbagai bidang urusan pasti akan membawa rakyat Jawa Tengah ke tingkat kesejahteraan yang semakin baik.
Tidak ada tujuan yang lebih penting selain berjuang untuk kesejahteraan rakyat. “Pada momentum HUT PDI Perjuangan ke 45, semoga tidak akan pernah surut memperjuangkan kesejahteraan rakyat dalam semangat dan nilai-nilai kegotong-royongan. Partai ideologis yakni ideologi Pancasila 1 Juni 1945, sekaligus menjadi rumah tidak hanya bagi kaum Nasionalis melainkan rumah Kebangsaan bagi Indonesa,”paparnya.
“Syukur alhamdulillah, pada tanggal 1 Juni tahun 2015 yang lalu, Presiden Jokowi telah menetapkan 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila. Artinya, secara resmi negara telah mengakui, bahwa Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa Indonesia,” tambahnya.
Pancasila bukan suatu ideologi yang dipaksakan oleh Bung Karno atau pendiri bangsa lainnya. Pancasila lahir dari nilai-nilai, norma, tradisi dan cita-cita bangsa Indonesia sejak masa lalu, bahkan jauh sebelum kemerdekaan.
Bung Karno sendiri menegaskan, dirinya bukan sebagai penemu Pancasila, tetapi sebagai penggali Pancasila. Beliau menggalinya dari harta kekayaan rohani, moral dan budaya bangsa dari buminya Indonesia.
“Pancasila dengan sendirinya adalah warisan budaya bangsa Indonesia. Apakah ketika Indonesia berumur 71 tahun, kita telah melupakan sejarah bangsa? Jangan sekali-kali melupakan sejarah kita!!,” paparnya.
Pancasila berisi prinsip dasar, selanjutnya diterjemahkan dalam konstitusi UUD 1945 yang menjadi penuntun sekaligus rambu dalam membuat norma-norma sosial politik. Produk kebijakan politik pun tidak boleh bersifat apriori, bahkan harus merupakan keputusan demokratis berdasarkan musyawarah mufakat.
Dengan demikian, Pancasila sebagai jiwa bangsa, tidak memiliki sifat totaliter dan tidak boleh digunakan sebagai “stempel legitimasi kekuasaan”. Pancasila bersifat aktual, dinamis, antisipasif dan mampu menjadi “leadstar”, bintang penuntun dan penerang, bagi bangsa Indonesia. Pancasila selalu relevan di dalam menghadapi setiap tantangan yang sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan, serta dinamika aspirasi rakyat.
“Namun, tentu saja implementasi Pancasila tidak boleh terlalu kompromistis saat menghadapi sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya,” ujarnya.
Meskipun demikian, guna mengeksplisitkan ide dan gagasan agar menjadi konkret, dan agar Pancasila tidak kaku dan keras, dalam merespon keaktualan problematika bangsa, maka instrumen implementasinya pun harus dijabarkan dengan lebih nyata, tanpa bertentangan dengan filsafat pokok dan kepribadiaan bangsa.
Rukma juga menyampaikan bahwa Indonesia diakui sebagai negara demokratis, namun demokrasi yang kita anut dengan Pancasila sebagai “the way of life bangsa”. Ini telah secara tegas mematrikan nilai-nilai filosofis ideologis, agar kita tidak kehilangan arah dan jati diri bangsa.
Pancasila, lima sila, jika diperas menjadi trisila, terdiri dari: Pertama, sosio-nasionalisme yang merupakan perasan dari kebangsaan dan internasionalisme; kebangsaan dan peri kemanusiaan. Kedua, sosio-demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukan demokrasi barat, demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi politik ekonomi, yaitu demokrasi yang melekat dengan kesejahteraan sosial, yang diperas menjadi satu dalam sosio-demokrasi.
Ketiga, adalah ke-Tuhan-an. Menjadi poin ketiga, bukan karena derajat kepentingannya paling bawah, tetapi justru karena ketuhanan sebagai pondasi kebangsaan, demokrasi politik dan ekonomi yang kita anut. Tanpa ketuhanan bangsa ini pasti oleng. Ketuhanan yang dimaksud adalah ketuhanan dengan cara berkebudayaan dan berkeadaban, saling menghormati satu dengan yang lain, dan tidak kehilangan karakter dan identitas sebagai bangsa Indonesia.
“Bung Karno menegaskan, kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab, kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini,” paparnya.
Trisila jika diperas menjadi Ekasila, yaitu gotong royong. Inilah suatu paham yang dinamis, berhimpunnya semagat bersama untuk membanting tulang bersama, memeras keringat bersama untuk kebahagiaan bersama. Kebahagian yang dimaksud adalah kebahagian kolektif sebagai sebuah bangsa, yang memiliki tiga kerangka: pertama, Satu Negara Republik Indonesia yang berbentuk negara kesatuan dan negara kebangsaan yang demokratis dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke; dari Miangas hingga ke Rote.
Kedua, satu masyarakat yang adil dan makmur materiil dan spiritual dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, satu persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, atas dasar saling hormat-menghormati satu sama lain, dan atas dasar membentuk satu dunia baru yang bersih dari penindasan dalam bentuk apa pun, menuju perdamaian dunia yang sempurna.
Adapun untuk mencapai kerangka tujuan di atas diperlukan dua landasan: landasan idiil, yaitu Pancasila dan landasan strukturil, yaitu pemerintahan yang stabil.
“Untuk itulah kita selalu ikut dan berdiri kokoh menjaga jalannya pemerintah Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pemerintahan yang terpilih secara konstitusional. Keduanya merupakan syarat mutlak atas tanggung jawab sejarah yang harus kita tuntaskan sekaligus sebagai konsekuensi ideologis Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi bangsa,”tukasnya.(adv/jn01)