
Pati, Jowonews.com – Rasa khawatir warga atas kelestarian situs budaya menyusul rencana pendirian pabrik semen di kawasan pegunungan Kendeng ditanggapi serius oleh Pemkab Pati.
“Kekayaan budaya yang tersebar di banyak titik seperti peninggalan Dampo Awang di Kecamatan Tambakromo, penemuan candi di Katen, makam sunan dan situs pewayangan di Kecamatan Sukolilo, semuanya kami pastikan akan tetap terjaga”, ujar Purwadi, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Pati, Selasa (13/1/2015).
Senada dengan Purwati, Sigit Hartoko, Kepala Disbudparpora Kabupaten Pati juga menegaskan bahwa sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya pada Bab VIII pasal 95 tentang tugas dan wewenang disebutkan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan Pelindungan,Pengembangan, dan Pemanfaatan situs Budaya.
Bahkan, lanjut Sigit, di pasal 62 disebutkan bahwa guna melindungi keamanan cagar Budaya Undang-Undang telah mengamanatkan adanya polisi khusus yang berwenang untuk membuat laporan dan menyerahkan tersangka ke pihak kepolisian jika terjadi tindak pidana terkait cagar budaya.
Menanggapi keresahan warga terhadap kelestarian cagar budaya, Turi Atmoko Kepala BAPPEDA Kabupaten Pati, memprediksi jika hal itu dimungkinkan karena adanya isu tentang perubahan fungsi lahan dari yang mayoritas untuk pertanian menjadi industri pertambangan.
“Itu tidak benar, jadi tolong dalam mengkaji Perda Tata Ruang Wilayah (RTRW) jangan sepotong-sepotong”, ujar Turi sambil menunjukkan salinan Peraturan Daerah (Perda) Pati No 5 tahun 2011 tentang (RTRW) Kabupaten Pati tahun 2010-2030.
Ia pun menambahkan bahwa Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo menurut tata ruang mayoritas lahannya masih merupakan lahan pertanian. Tambakromo luas lahan yang digunakan untuk pertanian masih 2947 hektar, holtikultura 875 hektar, sedangkan untuk industri hanya 300 hektar. Sementara itu, Sukilolilo masih didominasi lahan sawah seluas 7253 hektar dengan peruntukan industry hanya 117 hektar.
Untuk Kayen, peruntukan pertaniannya masih mendominasi dengan 4937 hektar, sementara lahan industri hanya sekitar 48 hektar saja. “Data ini mengacu pasal 62 tentang kawasan peruntukan industry di ketiga wilayah tersebut”, imbuhnya.
Ia pun meminta masyarakat memahami bahwa pengertian industri dalam Perda ini tak hanya mengacu bidang pertambangan, tetapi juga termasuk industry lain seperti agroindustri, industry pertanian, dan lain sebagainya. “Jadi luas peruntukan untuk industry pun tak semuanya untuk pabrik semen. Yang pasti, lahan yang peruntukannya sejak awal memang untuk pertanian takkan tergusur karena keberadaan industry tersebut”, tegasnya.
Adapun mengenai permintaan revisi Perda RTRW, Kepala Bappeda Turi Atmoko menyatakan, peninjauan kembali regulasi tersebut telah diprogramkan pihaknya. Karena sesuai ketentuan, sekali dalam lima tahun peninjauan kembali Perda RTRW harus dilakukan.
”Diminta atau tidak kami akan lakukan itu. Tetapi yang perlu diketahui peninjauan kembali bisa merekomendasikan untuk direvisi atau tidak karena ketentuan yang lama sudah dianggap sahih,” katanya.
Rekomendasi revisi, menurutnya juga didasarkan atas beberapa faktor. Di antaranya, adanya kebijakan baru nasional atau provinsi sehingga butuh disinkronkan hingga ke daerah. (JN04)