SRAGEN – Tanggal 31 Januari 2024 seharusnya menjadi momen yang penuh hikmah bagi warga Nahdlatul Ulama (NU) di Sragen, memperingati Hari Lahir NU yang ke-101. Namun, kenyataan di lapangan sangat berbeda dari harapan. Tak ada acara besar, dan suara istighosah yang biasanya menggema di seluruh penjuru kota Sragen seakan menghilang begitu saja.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sragen menjelaskan bahwa saat ini prioritas utama mereka adalah proyek pembebasan tanah untuk kompleks Masjid Kauman. “Peringatan puncak harlah tetap akan diadakan, tetapi tidak pada tanggal 31 Januari. Kami menunggu seluruh ranting NU menyetorkan perolehan kupon yang sudah dibagikan sebesar Rp20.000 per lembar,” jelasnya (dikutip dari situs resmi UNS Surakarta, 8/11).
Ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa sebuah perayaan yang seharusnya menjadi momen refleksi spiritual justru harus menunggu hasil setoran kupon?
Sebenarnya, peringatan Harlah NU selalu dipenuhi dengan kegiatan keagamaan dan sosial, seperti doa bersama, pengajian akbar, atau kirab. Namun, tahun ini, perayaan tersebut seakan tenggelam dalam aktivitas yang lebih bersifat administratif dan finansial. Hal ini membuat banyak pihak bertanya-tanya, apakah acara harlah harus bergantung pada pencapaian target penjualan kupon?
Bagi banyak warga Nahdliyin di Sragen, ketiadaan peringatan harlah yang meriah juga memunculkan kekecewaan. Seorang pengurus ranting NU dari salah satu kecamatan di Sragen mengungkapkan bahwa mereka sama sekali tidak mendapatkan instruksi untuk menggelar acara khusus.
“Biasanya, kami diberi arahan untuk mengadakan istighosah atau doa bersama. Tahun ini, instruksi yang kami terima lebih banyak soal kupon. Sepertinya PCNU memang lebih fokus pada agenda lain,” ujarnya.
Perayaan Harlah NU sejatinya bukan hanya soal merayakan tahun kelahiran, tetapi juga mempertegas kembali komitmen terhadap nilai-nilai perjuangan organisasi ini. Di tengah pentingnya proyek pembebasan tanah untuk Masjid Kauman, yang memang berdampak baik dalam jangka panjang, ada kerugian besar bila semangat keagamaan justru terabaikan.
Sebagai organisasi yang lahir dari masyarakat, NU Sragen tentu memiliki tanggung jawab untuk tetap menjaga semangat ukhuwah Islamiyah dan spiritualitas. Di saat yang sama, komunitas Nahdliyin di Sragen berhak bertanya-tanya: Apakah organisasi ini masih berfokus pada gerakan keumatan atau mulai terjebak dalam pragmatisme finansial yang mengedepankan angka ketimbang esensi ibadah? Harlah yang seharusnya menjadi perayaan keagamaan bagi semua umat, kini justru terhalang oleh urusan administratif yang membuat banyak orang merasa terpinggirkan.
Jika tren ini berlanjut, tentu akan ada pertanyaan lebih lanjut mengenai loyalitas warga Nahdliyin terhadap kepemimpinan NU di Sragen. Semoga semangat Nahdlatul Ulama yang sesungguhnya tidak hilang hanya karena kepentingan administratif atau finansial, dan tetap memegang teguh nilai-nilai yang telah diwariskan sejak awal berdirinya organisasi ini.
Momen Harlah NU yang terlewat di Sragen ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua, tentang bagaimana kita bisa menjaga keseimbangan antara perkembangan sosial dan spiritualitas. Semoga ke depan, perayaan ini bisa kembali menjadi ajang untuk memperkuat tali persaudaraan tanpa terhalang oleh aspek materi.