Oleh: Saktia Alifa, S.Pd
Kurikulum pendidikan saat ini menekankan untuk menerapkan program sekolah ramah anak. Program sekolah ramah anak merupakan salah satu perwujudan dari pemikiran Ki Hajar Dewantara mengenai memerdekakan anak sesuai kodrat alam. Program sekolah ramah anak memiliki prinsip utama yaitu penghargaan terhadap anak, seperti yang terkandung dalam Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 pasal 13 menyebutkan sekolah ramah anak mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, dan diskriminasi (Permen PPA RI, 2014). Adanya program sekolah ramah anak ini salah satunya guna menunjang perkembangan sosial emosional anak.
Perkembangan sosial emosional anak merupakan perkembangan tingkah laku pada anak dalam upaya menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku (indanah, 2019). Ketika perkembangan sosial emosional anak berkembang baik, ia akan mudah menaati aturan, tidak suka membangkan, dan dapat mengendalikan emosinya terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Namun perkembangan sosial emosional anak tidak hanya terbentuk saat anak berada di sekolah, lingkungan keluarga merupakan ekosistem tingkat pertama pada perkembangan sosial emosional anak karena sejatinya perkembangan sosial emosional anak berkembang sejak anak berusia dini. Pola asuh yang diterapkan keluarga terhadap anak memberikan dampak yang besar pada perkembangan emosi (Fauziyah, 2020).
Adanya update pada berbagai bidang kehidupan tidak lantas membuat seseorang mengupdate pengetahuannya terlebih lagi bagi mereka yang sudah berumah tangga dan mempunyai keterbatasan ekonomi. Selain tidak adanya waktu karena kesibukan bekerja, tidak adanya akses pada sumber pengetahuan menjadi hambatan untuk mereka mengupdate diri. Ketidaktahuan akan pentingnya pola asuh terhadap perkembangan anak seringkali membuat anak menjadi korban pola asuh yang kurang tepat. Beberapa orang tua masih menerapkan pola asuh otoriter bahkan ada kekerasan fisik di dalamnya. Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang menetapkan standar mutlak harus dituruti biasanya disertai dengan ancaman-ancaman (Taib, 2020). Pola asuh otoriter membuat anak menjadi pribadi yang keras, suka membangkang, tidak peduli dengan orang lain dan suka memaksakan kehendaknya pada orang lain. Indanah (2019) menyatakan bahwa interaksi yang kondusif antara orang tua dan anak akan membentuk akhlak dan moral yang positif.
Beberapa kasus pernah penulis temui ketika berkesempatan menjadi seorang guru selama 2 tahun di sekolah dasar. Beberapa murid yang memiliki kecenderungan berkelakuan impulsif dan agresif setelah penulis telisik melalui komunikasi dengan anak dan ibunya ternyata salah satu orang tua terutama orang tua laki-laki menerapkan pola asuh otoriter dan menghalalkan kekerasan dalam menangani masalah anak. Dari banyaknya kasus perlu adanya suatu gebrakan perubahan untuk menangani permasalahan tersebut terutama pada warga di desa-desa kecil.
Adanya keterbatasan pada akses pengetahuan maka dari itu, pemerintah hendaknya ikut andil dalam mengatasi permasalahan ini, dalam hal ini pemerintah desa dapat berupaya untuk menyajikan wadah bagi kegiatan sosialisasi parenting untuk warganya mengenai bagaimana pola asuh yang tepat serta tidak boleh adanya kekerasan pada keluarga. Balai Pertemuan dapat dibuat dan difungsikan untuk memberikan edukasi pada orang tua yang ada dilingkungan RT tiap satu bulan sekali. Pihak Desa dapat memberikan edukasi pada salah satu perwakilan dari setiap RT kemudian perwakilan tersebut dapat memberikan sosialisasi pada warganya di Balai Pertemuan setiap satu bulan sekali. Tidak hanya sebagai tempat sosialisasi program ini juga bisa digunakan untuk tempat sharing seputar masalah anak yang umum terjadi namun tetap menjaga privasi anak. Harapan dari adanya program ini yaitu semakin teredukasinya orang tua zaman sekarang agar anak tidak menjadi korban sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai kodrat alam.