Jowonews

Logo Jowonews Brown

Pimpinan KPK Akui Keganjilan UU Tipikor

JAKARTA, Jowonews.com – Pimpinan KPK mengakui keganjilan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) No 39 tahun 1999 dan perubahannya dalam No 20 tahun 2002 secara khusus pasal 2 dan pasal 3.

“Pasal 2 untuk perbuatan melawan hukum ancaman pidananya minimal 4 tahun sedangkan pasal 3 untuk perbuatan menyalahgunakan kewenangan malah ancaman pidananya minimal 1 tahun, padahal seharusnya penyalahgunaan kewenangan harus lebih tinggi dari pada melawan hukum, jadi agak membingunkan kenapa pembuatnya begitu. Dalam praktik saya sebagai hakim pertimbangannya menjadi sangat subjektif,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam diskusi di gedung KPK Jakarta, Selasa.

Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor mengatur “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 (tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar”.

Sedangkan pasal 3 mengatur “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan kouangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1miliar.

“Belakangan MA membuat semacam edaran kalau kerugian negara di atas Rp100 juta harus dibaca pasal 2 dengan ancaman hukumannya 4 tahun. KPK juga saat belakangan mendakwa pasal 2 dan 3 bukan lagi subsider tapi alternatif, jadi hakim diberikan kewenangan apakah membuktikan apa di pasal 2 atau 3,” tambah Alex yang sebelum menjadi komisoner KPK berprofesi sebagai hakim ad hoc Tipikor Jakarta.

Namun Alex menilai bahwa seluruh unsur pidana harus dibuktikan seluruhnya dalam mendakwa seseorang dengan pasal tersebut.

“Harus dibuktikan apakah unsur menguntungkan diri sendiri, melwan hukum atau dengan menyahgunakan kewenganan. KPK dalam melakukan tuntutan atau dakwaan harus yakin betul setiap unsur pasal 2 dan pasal 3 harus terpenuhi semua, tidak bisa hanya 2 atau 3 unsur saja,” tegas Alex.

Sedangkan Komisioner KPK lain, Laode M Syarif menyatakan bahwa suatu perbuatan sudah dianggap sebagai perbuatan pidana meski hanya memenuhi unsur “menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi”.

“Memang ada dua pandangan dalam membaca pasal 2 dan 3, saya berpikir selama sudah memperkaya diri sendiri atau menguntungkan orang lain itu sudah bisa (disebut pidana), kalau ada kerugian engara itu tambahannya saja, kerugian negara adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh orang itu, mungkin orang lain akan membaca lain, tapi itu yang saya baca,” kata Laode M Syarif dalam diskusi yang sama.

Sedangkan mantan pimpinan KPK jilid II Chandra M Hamzah dalam diskusi “Pemaknaan pasal 2 dan 33 UU Korupsi” yang diselenggarakan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera menyatakan bahwa UU Pemberantasan Tipikor sebaiknya direvisi karena memiliki banyak kekeliruan.

“UU ini harus direivisi karena ada anomali misalnya pasal tiga yang mengandung menyelewengkan kewenangan yaitu perbuatan yang lebih khusus di pasal kok dihukum lebih ringan dibandingkan perbuatan melawan hukum yang lebih umum dalam pasal 2, dan UU ini juga banyak sekali legislative error-nya,” kata Chandra dalam diskusi tersebut.

Selanjutnya menurut Chandra masih ada kesalahan lain.

“Seperti pasal 5 ayat 2 persis sama dengan pasal 12 huruf a, itu kan error karena ancaman maksimalnya beda jauh. Di pasal 5 ancaman maksimal 5 tahun dan pasal 12 maksimal 20 tahun,” ungkap Chandra.

Kedua pasal tersebut mengatur tentang “pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji”.

Kemudian pasal 12 huruf pasal 12 huruf a-i ancamannya sama 4-20 tahun padahal di antara pasal tersebut ada yang melakukan pemerasan tapi dianggap sama dengan menerima suap padahal KUHP saja dibedakan,” tambah Chandra.

Karena itu menurut Chandra dalam membaca pasal 2 dan pasal 3 KPK perlu dilihat perbuatan pokoknya yaitu perbuatannya yang memperkaya diri sendiri atau orang lain baru dicari unsur melawan hukumnya.

“Jadi perbuatannya adalah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korprasi dengan cara melawan hukum dan mengakibatkan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Banyak orang mulai dari perbuatan melawan hukum dan lebih parah lagi dari kerugian negara,” ungkap Chandra.

Ketua Peradi Luhut Pangaribuan yang ikut dalam diskusi di Jentera juga mengatakan bahwa seharusnya melawan hukum harus dihukum ringan.

“Karena melawan hukum adalah perbuatan umum, harunya yang dihukum ringan, tapi kenapa lebih berat hukumannya? Kalau penyalahgunaan wewenang itu pelaku sadar saat berbuat jadi harusnya lebih berat, jadi ada ‘legislative error.” ungkap Luhut. (jn16/ant)

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...