Rewang hajatan merupakan tradisi yang masih lestari di masyarakat pedesaan hingga saat ini. Tradisi rewang pada masyarakat Jawa merupakan suatu kewajiban, bukan hanya berkaitan dengan urusan kemanusiaan tapi juga menghindari hukum sosial.
Sudah fitrahnya bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang saling bergantung satu sama lain. Terlihat dari tradisi gotong royong yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tradisi gotong royong juga masih sangat kental di wilayah pedesaan, salah satunya adalah Tradisi Rewang.
Pada umumnya, rewang dilakukan saat ada tetangga yang akan menggelar acara besar seperti pernikahan, sunatan, dsb. Baik perempuan maupun laki-laki semua turut andil meringankan dan mensukseskan acara besar tersebut.
Dalam bukunya yang berjudul Javanese Villagers : Social Relations in Rural Modjukuto, Robert R. Jay mengatakan bahwa orang Jawa tidak menempatkan dirinya sebagai individu yang bisa melakukan semua hal. Orang Jawa sejak dulu telah sadar bahwa hidup ini pasti membutuhkan dan melibatkan orang lain.
Kegiatan yang dilakukan saat rewang adalah memasak bersama-sama. Dalam hal ini perempuan yang memiliki andil besar dalam keberjalanannya. Sementara laki-laki menyiapkan hal-hal yang lebih berat seperti menyiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Di beberapa wilayah laki-laki juga diminta untuk memasak nasi dan air karena dianggap lebih berat. Pada saat hari H, para muda-mudi yang bertugas untuk mengantarkan hidangan ke para tamu (sinoman). Jadi rewang ini melibatkan semua kalangan baik laki-laki, perempuan, tua, muda.
Tradisi rewang hajatan ini masih bertahan di wilayah pedesaan. Karena biasanya penyelenggaraan acara besar di desa sudah dimulai paling tidak 3 hari sebelum hari H itu sendiri. Jadi sudah sangat jelas jika penyelenggaraan acara besar ini melibatkan orang banyak. Selain itu, di desa semua serba buat sendiri, mulai dari makanan pokok nasi, lauk pauk, camilan yang nanti akan dihidangkan untuk para tamu. Sebelum hari H juga ada pemberian hantaran untuk para kerabat dan tetangga yang biasanya berisi nasi, lauk pauk berupa daging sapi, tahu, tempe, dll. Itu juga semua dibuat oleh para orang yang rewang.
Semua yang terlibat dalam rewang hajatan tidak diberi imbalan alias bantu sukarela. Biasanya hanya disediakan makan di tempat. Rewang pada akhirnya tidak hanya berbicara tugas perempuan di dapur, tetapi juga berkaitan dengan bentuk perjuangan dan pengorbanan kepada masyarakat. Serta peran perempuan yang pro aktif demi terwujudnya perbaikan keadaan. Jadi, sukarela tersebut yang menjadi basis sebuah tradisi rewang dalam upaya membentuk dan membangun kebiasaan inisiatif dan partisipatif dalam kehidupan sosial dan politik.
Tradisi rewang juga pembentuk dapur sebagai penghubung nilai-nilai sosial perempuan Jawa yaitu silaturahmi yang sangat kuat nilai-nilai kehidupan yang setara, adil, dan harmonis. Serta sebagai upaya pencegahan konflik yang mungkin karena adanya perbedaan.
Tradisi rewang juga dapat dikatakan sebagai konsep komunitas yang di dalamnya tidak ada lagi struktur sosial. Oleh karena itu, rewang bisa sangat memungkinkan terjadinya unsur kesetaraan demi kehidupan yang adil dan makmur.