Jowonews

Logo Jowonews Brown

Ritual Dusun Sungkup, Melawi, Kalimantan Barat (1)

MELAWI, Kalbar, Jowonews.com – “Dung..dung…dung….” suara gong tiba-tiba mendengung di telinga kala tiba di Dusun Sungkup, wilayah dengan 116 kepal keluarga yang terletak di Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.

Sambil sedikit meregangkan badan yang lelah setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih lima jam dari Kota Sintang, lamat-lamat terdengar alunan nada meriah hasil tepukan gendang dan tiupan suling.

Dalam keterbatasan pandangan karena sekedarnya pencahayaan, terlihat puluhan penduduk berbaris di sebuah bangunan tenda dari bambu yang dibuat sederhana.

Terpal berwarna merah dengan panjang tak lebih dari dua meter menggantung di atas mereka. Kain itu ditopang oleh beberapa bilah bambu.

Salah satu batang bambu dibuat melintang di depan kumpulan warga. Seakan-akan membatasi orang luar agar tidak bisa masuk ke pemukiman masyarakat. Mereka menyebut ini “ompong”.

Di sebelah kiri kerumunan, agak menjorok ke depan, terdapat papan berukuran 1mx 1m, bertuliskan “Selamat datang rombongan dari Jakarta di Dusun Sungkup”.

Barulah terang bahwa masyarakat Dusun Sungkup sedang menyambut tamunya dengan acara adat. Layaknya sebuah “kondangan”, kegiatan itu juga dikomandoi oleh seorang pembawa acara, yang bertugas menggunakan pengeras suara seadanya.

“Setelah ini kita akan menyaksikan penampilan pencak silat,” ujar sang MC, perempuan berkacamata berbaju biru.

Dua lelaki tua kemudian muncul. Mereka adalah Ranan, 71 tahun dan Toro. Diiring musik, mereka mulai mempraktikkan jurus-jurus silat, memukul, menangkis, menendang dengan sigap.

Setelah itu, muncullah lima perempuan mengenakan pakaian adat, baju berpola seperti batik tanpa lengan. Diiringi lagu adat, mereka menari dengan anggun. Tangan ke atas, tangan ke bawah, memutar, kiri kanan..

Selagi menonton tarian, beberapa ibu datang menghampiri membawa nampan besar dengan belasan gelas kaleng kecil di atasnya. Dengan sopan, mereka menawarkan minuman itu ke para tamu.

“Tuak,” jawab mereka singkat ketika ditanya mengenai minuman berbau air tape, khas olahan hasil fermentasi, dan berwarna putih pekat itu.

BACA JUGA  Perhutani Bakal Miliki 51 % Saham Jateng Park

“Tuak dan arak hanya diminum ketika ada hajatan khusus, bukan untuk mabuk-mabukan,” kata Orpa, seorang warga, sambil menjelaskan bahwa tuak terbuat dari beras ketan yang difermentasi dan arak, yang bening dan memiliki rasa lebih kuat, adalah olahan lanjutan dari tuak.

Potong Ompong Usai tarian selesai, para tamu kemudian diundang maju ke depan bambu melintang yang disebut ompong. “Pimpinan rombongan harap maju ke depan,” imbau pemuka adat, yang berdiri di sisi lain ompong.

Suasana menjadi hening. Dua piring, satu berisi gumpalan tanah dan sebuah telur, sementara lainnya menjadi wadah empat buah “kobokan” plastik berisi beras.

Sambil membaca mantera, pemuka adat mengambil seekor ayam berwarna hitam, yang harus dipotong oleh tamu, diwakili pemimpin rombongan.

Darah yang mengucur dari ayam kemudian dipercikkan ke piring-piring berisi beras. Setelah itu, tamu, lagi-lagi diwakilkan, diwajibkan menginjak tanah dan telur ayam kampung di atas piring sampai pecah.

“Tanah dan telur itu melambangkan tanah dan air wilayah kami,” ujar Orpa, warga yang juga seorang guru di SDN 13 Belaban.

Kemudian, tradisi dilanjutkan dengan beberapa ritual seperti menombak babi dengan bambu, mengikatkan gelang ke pergelangan ke para tamu satu persatu sebagai tanda persahabatan (yang dikatakan tidak boleh lepas selama sedikitnya tiga hari) dan meminum tuak bersama-sama.

Acara puncak adalah memotong ompong. Ketua rombongan tamu dipersilahkan menebas bambu yang selama acara memagari penduduk dengan para “orang baru”.

Bersamaan dengan doa yang didiktekan oleh salah satu tetua, tamu yang diwakili ketua rombongan kemudian membelah kayu itu dengan parang yang telah diberikan sebelumnya.

“Sebelum masuk ke wilayah kami, tradisi memotong ompong harus dilakukan. Ini juga untuk menghindari ‘kesialan’ bagi para pendatang yang berkunjung,” ujar Bahen, seorang warga sekaligus Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Belaban Ella.

“Masyarakat daerah ini memang masih memegang adat secara kuat,” kata warga lain bernama Sugiman menambahkan.

Keseleruhan proses itu kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah dengan penduduk. Tidak lupa disuguhkan pula panganan tradisional setempat seperti kue lulun, kue kenyal dari tepung beras ketan berisi kelapa dan diselimuti daun pisang, kembang loyang dan ada juga rengginang.

BACA JUGA  KRI Pengangkut Eks Gafatar Tiba Di Semarang

Sekilas tentang Sungkup Dusun ata Kampung Sungkup-Belaban Ella, seperti sudah disampaikan sebelumnya, terletak di Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Secara adat, kedua Kampung ini berada dibawah Ketemenggungan (wilayah adat) Belaban Ella.

Temenggung adalah sebutan warga setempat untuk orang yang paling dituakan secara adat.

Untuk mencapai daerah tersebut, bila berpatokan dari Pontianak sebagai Ibu Kota Provinsi Kalbar, bisa ditempuh melalui jalan darat. Lamanya perjalanan dari Pontianak ke Sungkup adalah sekitar 12 jam.

Jika ingin mempersingkat perjalanan, pendatang bisa terlebih dahulu naik pesawat terbang dari Bandara Supadio, Pontianak, menuju Bandara Susilo di Kota Sintang yang waktu tempuhnya tidak lebih dari satu setengah jam.

Dari Sintang, perjalanan dilanjutkan dengan mobil selama kurang lebih lima jam. Buruknya infrastruktur jalan, yang berlumpur jika terkena hujan, dapat menambah waktu tempuh.

Dusun Sungkup memiliki luas wilayah adat 13.183,29 hektare dan penduduknya merupakan suku dayak dari dua sub suku, yaitu Limbai dan Ransa.

Mata pencaharian utama penduduk adalah berladang (ber-“umo”), bertani sawah dan menyadap karet. Selain itu mereka juga berkebun sayur-sayuran, menangkap ikat dan berburu binatang liar.

Dusun ini memiliki sebuah tempat khusus untuk melakukan rapat atau pertemuan adat, maupun menyambut tamu resmi yang disebut Rumah Betang atau Rumah Panjang, yang sesuai namanya, rumah ini memang berbentuk memanjang tanpa sekat.

Masyarakat sangat terikat dengan hukum adat, yang mengatur hubungan antarmanusia dan manusia dengan alam. Jika melakukan pelanggaran, warga akan dikenakan sanksi adat yang disebut “ulun”.

Menurut Temenggung Desa Belaban Ella, Manan, sebelum memberlakukan hukuman formal negara, setiap pelanggaran di wilayah adat akan diselesaikan dengan adat.

“Jika ada masalah, akan diselesaikan melalui dewan adat. Kalau belum menemui titik terang, maka akan dibicarakan di tingkat Temenggung. Hukum negara dilibatkan bila mana semua proses buntu dan itu harus diketahui oleh Kepala Desa,” kata Manan.   (Jn16/ant)

Simak Informasi lainnya dengan mengikuti Channel Jowonews di Google News

Bagikan berita ini jika menurutmu bermanfaat!

Baca juga berita lainnya...