Jowonews

Ruwatan, Ritual Jawa Untuk Penyucian Jiwa dan Raga

Ruwatan adalah salah satu ritual yang masih melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini. Ruwatan diselenggarakan dengan tujuan untuk melepaskan atau membebaskan seseorang yang diruwat dari kutukan atau hukuman yang berakibat sial atau membahayakan.

Ruwatan diambil dari kata dasar ruwat yang memiliki arti dilepas atau dibebaskan. Sampai saat ini sebagian orang masih melakukan upacara ruwatan agar dihindarikan dari marabahaya atau kutukan yang akan menimpa seseorang.

Ritual ruwatan juga bertujuan agar seseorang dikembalikan atau dipulihkan pada keadaan semula, atau menetralisir atau mentawarkan kekuatan gaib yang berpotensi membahayakan.

Biasanya tradisi ini dilakukan ketika seseorang merasa terus mengalami kesialan demi kesialan dalam hidup. Kemudian dia merasa bahwa kesialan yang menimpa dirinya tak terlepas dari gangguan atau pengaruh gaib. Untuk itulah kemudian ia Ngruwat dirinya untuk menetralisir kekuatan gaib yang dianggap telah mendatangkan kesialan atau gangguan dalam kehidupannya.

Asal-usul Tradisi Ruwatan

Ruwatan diyakini berasal dari cerita pewayangan. Dikisahkan ada seorang tokoh besar bernama Batara Guru. Ia memiliki dua istri yakni Pademi dan Selir.

Dari Pademi ia memiliki keturunan atau anak laki-laki bernama Wisnu. Sementara dari Selir ia juga memiliki anak laki-laki bernama Batara Kala.

Seiring keberjalanan waktu dua anak yang dilahirkan dari perempuan yang berbeda ini tumbuh dewasa. Wisnu tumbuh menjadi anak dengan budi perketi luhur dan baik. Batara Kala tumbuh menjadi sosok yang jahat. Ia kerap mengganggu dan tak jarang memakan anak-anak manusia.

Proses kelahiran Batara Kala ini juga terbilang unik. Dikisahkan konon Batara Guru dan Selir sedang bercengkrama dan memadu kasih mengelilingi samudera dengan menaiki punggung lembu. Tiba-tiba hasrat seksual Batara Guru muncul dan ingin melakukan hubungan intim dengan istrinya. Namun, ternyata sang Selir menolak, sehingga air mani Batara Guru jatuh ke tengah samudera.

Air mani yang jatuh tersebut kemudian berubah menjadi sosok raksasa yang kemudian dikenal dengan Batara Kala. Dalam bahasa Jawa air mani yang jatuh ini disebut dengan karma salah. Konon Batara Kala tersebut lapar dan meminta makanan berwujud manusia kepada Batara Guru.

Lantas Batara Guru pun mengizinkan permintaan Batara Kala tersebut dengan syarat. Yakni manusia yang boleh dimakan adalah wong sukerta, yakni orang yang mendapat kesialan. Sukerta berarti orang yang cacat, yang lemah, dan tak sempurna.

BACA JUGA  Ritual Kenduren, Tradisi Ungkapan Syukur, Pengharapan, dan Perekat Persaudaraan Masyarakat Jawa

Mitos yang berkembang, kelompok manusia sukerta yang tidak diruwat akan menjadi mangsa batara kala.

Dalam buku Bratawidjaja karya Thomas Wiyasa berjudul Upacara Tradisional Masyarakat Jawa (1988), orang-orang yang tergolong dalam kategori Sukerta, antara lain:

1. Ontang-anting: anak laki-laki tunggal dalam keluarga, tak punya saudara kandung.

2. Unting-unting: anak perempuan tunggal dalam keluarga.

3. Gedhana-gedhini: dua anak dalam keluarga, laki-laki dan perempuan.

4. Uger-uger lawang: dua anak laki-laki dalam keluarga.

5. Kembar sepasang: dua anak perempuan dalam keluarga.

6. Pendhawa: lima anak laki-laki dalam keluarga.

7. Ngayomi: lima anak perempuan dalam keluarga.

8. Julungwangi: anak lahir pada saat matahari terbenam.

9. Pangayam-ayam: anak lahir saat tengah hari.

Syarat dan Perlengkapan Ruwatan

Ketika akan melakukan ruwatan, ada sejumlah syarat yang perlu dipenuhi, yakni sajen, korban, atau mantera untuk menjembatani komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib atau penyelamat yang dikehendaki.

Sajen merupakan makanan dan benda-benda lain seperti bunga yang digunakan untuk sarana komunikasi dengan makhluk gaib atau tak kasat mata.

Van Baal melalui bukunya (1988), menerangkan bahwa sajian adalah pemberian atau persembahan kepada dewa dan roh. Sajian yang diberikan tak hanya bertujuan sebagai persembahan, tetapi juga mengandung lambang-lambang yang digunakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan dewa tersebut.

Misalnya mentog, itik, dan burung merpati yang dinilai jadi kegemaran Betara Kala. Sedangkan, kain bangun tulak adalah kain kegemaran Batari Durga, kain pandhan binethot kegemaran Batari Sri.

Untuk melaksanakan ruwatan, beberapa sajen yang diperlukan antara lain:

  • Ratus atau kemenyan wangi
  • Kain mori putih
  • Kain batik
  • Padi segedeng
  • Beragam nasi
  • Jenang
  • Jajan pasar
  • Benang lawe
  • Aneka rujak
  • Air tujuh sumber
  • Bunga setaman

Tata Cara Pelaksanaan Ruwatan

Ruwatan menggunakan kembang Setaman
Ilustrasi prosesi siraman menggunakan kembang setaman. Foto: Doc. IG puspita_nagari_

Bagi sebagian masyarakat Jawa atau masyarakat penganut kepercayaan Kejawen, ruwatan adalah salah satu ritual penting. Terutama penting dilakukan untuk orang-orang yang termasuk dalam golongan Sukerta.

Sebelum masuk ke tahapan prosesi ruwatan adan beberapa persyaratan dalam bentuk makanan yang perlu disiapkan. Makanan yang disiapkan ini mengandung makna pada setiap jenisnya. Adapun makanan yang perlu disiapkan antara lain:

  • Nasi kuning, sebagai perlambangan mendapatkan keberlimpahan rezeki
  • Nasi golong, dimaknai mendapatkan rezeki yang terus bergantian
  • Tumpeng, mengandung makna untuk mensyukuri nikmat dan karunia yang sudah Tuhan berikan
  • Nasi kebuli, memiliki makna keinginan atau hajat dapat terkabulkan
  • Jenang abang yang terbuat dari ketan dan dikasih gula serta kelapa.
  • Bubur sengkolo, yang memiliki makna untuk membuang atau menjauhkan kesialan
  • Jajan pasar, yang mengandung makna tersendiri yakni semoga mendapatkan rezeki yang banyak dan jauh dari permasalahan.
  • Rujak legi, bermakna sebagai lambang penafsiran seperti yang biasanya dibuat untuk sajian orang hamil pada saat masa mitoni atau tujuh bulan.
BACA JUGA  Warga Jalawastu Brebes Gelar Ritual Ngasa Untuk Melestarikan Adat Sunda Wiwitan

Perlu diketahui setiap tahapan dari ritual ruwatan memiliki maksud dan makna filosofis tersendiri. Adapun tahapan proses ritual Ruwatan adalah sebagai berikut:

  • Prosesi siraman secara filosofis mengandung nilai pembersih badan. Tujuannya agar manusia yang diruwat menggunakan air kembang setaman yang terdiri dari kembang melati, kenanga, dan kembang mawar dapat terhindar dari kala atau kesialan.
  • Sesaji dan selametan secara filosofis memiliki nilai agar orang yang diruwat senantiasa dalam keadaan sehat dan selamat.
  • Penyerahan sarana secara filosofis berarti memberikan perlindungan terhadap orang yang termasuk dalam golongan sukerta
  • Upacara potong rambut secara filosofis memiliki nilai bahwa segala yang kotor harus dipotong dan dibuang
  • Tirakatan secara filosofis bermakna ungkapan rasa syukur dan ungkapan rasa terima kasih terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala perlindungan dan anugerah-Nya
  • Wayang memiliki filosofis bagi kehidupan manusia. Pada umumnya manusia menginginkan kebaikan, maka kisah wayang itu banyak yang bisa sampai masuk ke hati.

Makna Ruwatan

Bagi sebagian masyarakat Jawa, pelaksanaan ruwatan memiliki hubungan erat dengan kesucian jiwa dan raga. Oleh karena itu sebelum prosesi ruwatan perlu melaksanakan tapa brata agar tercapai kesucian lahir dan batin.

Selain tersebut di atas, ruwatan juga memiliki makna hendaknya manusia dapat mengendalikan hawa nafsu. Seperti kata bijak dalam bahasa Jawa, “Unen-unen, mati sajroning urip, urip sajroning pejah”. Artinya bahwa yang hidup tetap hidup, tetapi yang mati adalah nafsu lahirnya.

Orang yang tak mampu mengendalikan hawa nafsu berarti mati. Sebaliknya jika orang yang hidup tak memiiki nafsu juga mati.

Demikian ulasan mengenai ruwatan yang dapat kami sajikan. Semoga bisa menjadi bahan edukasi dan bermanfaat.

Sumber referensi: E-Jurnal UMM

Bagikan:

Google News

Dapatkan kabar terkini dan pengalaman membaca yang berbeda di Google News.

Berita Terkait