Oleh: DR Ahwan Fanani, Pemerhati Politik, Sosial dan Budaya, Dosen Fisip UIN Walisongo
Hagia Sophia yang beberapa waktu lalu kembali dijadikan masjid oleh pemerintahan Erdogan memantik polemik tersendiri.
Hagia Sophia atau Aya Sofia dibangun sebagai gereja Kristen Ortodoks Konstantinopel. Gereja Konstantinopel adalah salah satu dari lima gereja besar yang dikepalai Patriark dalam Kekristenan Timur. Yaitu Konstantinopel, Yerusalem, Roma, Antiokhia (Syiria), dan Aleksandria (Mesir). Tiga gereja terakhir adalah gereja tertua dalam sejarah Kristen.
Pada masa kekuasaan Ottoman, gereja tersebut menjadi masjid sejak tahun 1453 sampai 1932 dan menjadi museum pada tahun 1953. Perubahan tersebut dalam situasi global yang memanas menimbulkan pro dan kontra.
Perubahan tersebut bisa dibaca dalam beberapa perspektif. Pertama, secara kultural perubahan itu menjadi simbolitas penemuan jati diri Turki sebagai negara yang pernah menjadi kekuatan utama di kawasan Timur Tengah, Asia Tengah dan Eropa Timur.
Kedua, Turki menghadapi terkena dampak dari konflik Syria dan ketegangan dengan Eropa menyangkut para pengungsi.
Turki juga jengkel dengan lambatnya proses keanggotaan di Uni Eropa yang sampai sekarang terealisir. Tuduhan genosida seolah menjadi peluru yang dilontarkan untuk mempersulit proses tersebut.
Ketiga, adalah upaya konsolidasi Partai AKP dan mencari dukungan luas di dalam negeri. Wabah corona melahirkan tekanan ekonomi, selain oposisi dalam negeri.
Keempat, perubahan itu menjadi pesan bahwa Turki tidak bisa dipandang sebelah mata. Turki bisa berbalik menjadi bagian dari kekuatan Islam kembali.
Konteks Historis Indonesia
Di Indonesia, perubahan Hagia Sophia menjadi masjid juga memantik diskusi dan perbincangan. Bagaimana pun Turki memiliki pengaruh historis maupun kekinian dengan Indonesia.
Pengaruh historis Turki terlihat jejaknya dalam beberapa hal. Pertama, dalam salah satu versi Ramalan Jayabaya, kotak pandora masa depan dibuka oleh Seh Samsu Zein dari Rum (sebutan Turki sebagai penguasa Romawi Timur), yang memprediksi nasib Pulau Jawa sampai beberapa ratus kemudian.
Kedua, Pangeran Diponegoro saat melawan Belanda menyusun pasukannya dengan model Jenissari atau pasukan Turki masa Daulah Utsmani. Gelar para panglima Jenissari adalah Pasha, yang diserap ke dalam istilah lokal menjadi Basah.
Panglima pasukan Diponegoro adalah Sentot Prawirodirdo yang dikenal sebagai Sentot Ali Basah (Ali Pasha). Ketiga, Turki memiliki hubungan dengan Kerajaan Aceh dan Lautan Hindia. Ottoman pernah mengirimkan meriam ke Aceh.
Keempat, dalam sastra kita ada sedikit gambaran mengenai eksistensi pengaruh Turki. Dalam Novel Student Hidjo, karya Mas Marco Kartodikromo, seorang tokoh Sarekat Islam Semarang, dikisahkan adanya Pertemuan Umum Sarekat Islam di Sriwedari Solo. Dalam pertemuan umum tersebut, banyak dipasang bendera atau panji Sarekat Islam, panji Kraton Surakarta, dan bendera Turki.
Untuk masa sekarang, Turki mewakili negara berpenduduk muslim yang memiliki suara vokal dalam menyikapi isu Palestina. Dalam pertemuan terbuka, tidak segan Erdogan mengkritik keras Perdana Israel terkait kasus palestina.
Selain itu, ada keinginan diam-diam di kalangan muslim Indnesia untuk melihat satu negara muslim yang bisa dilihat sebagai model negara maju, kuat, dan makmur di tengah gambaran negatif negara-negara Islam Timur Tengah di mata media populer.
Pembacaan kasus Hagia Sophia di dalam negeri tidak jarang mengalami proses intertekstualitas, yaitu dengan mengaitkan dan membacanya dengan isu-isu aktual dalam negeri, seperti kerukunan umat beragama dan toleransi.
Namun, persoalan Hagia Sophia tidak bisa direduksi sesederhana itu. Turki adalah rumah bagi orang-orang Yahudi, meskipun jumlahnya kecil. Di Turki lah orang Yahudi dulunya membangun bank, setelah mereka terusir dari Andalusia bersama dengan umat Islam akibat kekalahan kekuasaan Islam dari pasukan-pasukan Eropa pada pertengahan abad ke-13 Masehi.
Sementara dilihat dari komposisi penduduknya, 97% warga Turki adalah muslim. Mereka terdiri atas kelompok Sunni (Hanafi dan Syafi’i), kelompok Syiah (Syiah 12 Imam dan Syiah Alawiyah), Bekhtasi hingga orang tidak beragama.
Jadi, kasus Hagia Sophia tidak lepas dari konteks geopolitik dan kepentingan dalam negeri Turki sendiri. Ada kalkulasi kepentingan politik domestik dan global yang menyertainya.
Dan Erdogan telah putuskan langkah politik beraninya.