Jowonews

Cara Memotong Tumpeng yang Benar, Bukan Dipotong Bagian Pucuknya

Cara Memotong Tumpeng yang Benar, Bukan Dipotong Bagian Pucuknya

Cara memotong tumpeng yang benar ini mungkin belum diketahui banyak orang. Karena sejauh ini banyak kesalahan memotong tumpeng pada acara-acara seremonial. Biasanya pemotongan tumpeng dimulai dari pucuknya, padahal hal tersebut salah. Tumpeng seringkali muncul dalam berbagai acara di Indonesia. Biasanya, pemotongan tumpeng dimulai dari bagian atas atau pucuknya, kemudian dilanjutkan ke bagian bawah. Namun, cara memotong tumpeng dari atas dianggap tidak benar. Cara ini dianggap melanggar filosofi yang terkandung dalam nasi tumpeng. Menurut Chef Desi Trisnawati, pemenang MasterChef Indonesia musim kedua, cara memotong tumpeng yang benar bukan dipotong mulai dari bagian atas atau pucuknya, memotong tumpeng dari atas seakan-akan memutuskan hubungan dengan Tuhan. “Seharusnya, tumpeng dikorek dari bagian bawah. Yang penting, jangan memotong bagian atas karena itu akan memutuskan hubungan dengan Sang Pencipta,” ujar Chef Desi seperti yang dilaporkan oleh Republika.com. Murdijati Gardjito, seorang peneliti di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, seperti yang dilaporkan oleh Kompas.com pada Senin (8/8/2016), mengatakan bahwa tumpeng berasal dari Jawa dan dipengaruhi oleh budaya Hindu India. Bentuk tumpeng yang kerucut, runcing di bagian atas dan lebar di bagian bawah, dianggap sebagai representasi Gunung Mahameru di India. Gunung tersebut dianggap sebagai tempat suci bagi para dewa. Bagian atas tumpeng terdiri dari satu butir nasi yang merupakan simbol dari Tuhan yang Maha Esa. Semakin ke bawah, terdapat umat dengan berbagai tingkat kelakuannya. Oleh karena itu, puncak tumpeng tidak boleh dipotong. Menurutnya, memotong bagian atas tumpeng melanggar filosofi tumpeng yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan. Selain itu, jika tumpeng dipotong di puncaknya, lauk yang berada di sekitar dasar tumpeng tidak akan terambil. Menurut Murdjati, cara yang benar untuk makan tumpeng adalah dengan dimakan bersama-sama atau dikepung. Proses ini dimulai dari bawah dengan mengambil nasi dan lauk secara bersamaan. Kemudian, bergeser ke puncak dan terus turun hingga puncak tercampur dengan bagian dasar tumpeng. Cara ini memiliki makna “manunggaling kawulo lan Gusti”. Meskipun menggunakan sendok diperbolehkan, tetapi harus dimulai dari bagian bawah dan tidak langsung memotong bagian atas. Murdjati mengatakan bahwa kebiasaan memotong tumpeng dari atas berasal dari pengaruh budaya Barat dalam memotong kue.

Warga Jalawastu Brebes Gelar Ritual Ngasa Untuk Melestarikan Adat Sunda Wiwitan

Jalawastu

BREBES – Kampung Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Untung, Kabupaten Brebes memiliki tradisi unik yang masih dilestarikan hingga saat ini. Meski terletak di Jawa Tengah, desa ini memiliki adat budaya Sunda Wiwitan. Untuk menjaga kelestarian adat ini, masyarakat setempat tetap menjaga tradisi Ngasa. Ritual ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka, penganut Sunda Wiwitan. Prosesi ngasa ini berlangsung setiap hari Selasa Kliwon pada mangsa kesanga dalam bahasa jawa dan dilaksanakan setahun sekali. Ritual adat juga dipusatkan di hutan adat yang dikeramatkan, yakni Gedong Pesarean. Gedong Pesarean terletak di kawasan tanah putih (tanah suci) di atas kampung adat Jalawastu, kampung Ciseureuh, kecamatan Keuntungan. Ngasa tahun ini jatuh pada 28 Februari 2023. Prosesi dimulai pagi-pagi sekali. Masyarakat adat Jalawastu di dataran tinggi Gunung Sagara tampak sibuk mempersiapkan hari suci. Sebagai wilayah adat yang mayoritas penduduknya bergantung pada hasil alam, masyarakat membawa dan mengarak hasil tersebut. Berbagai hasil pertanian mulai dari beras, jagung, kelapa hingga sayur mayur disajikan di Ngasa ini. “Ritual Ngasa ini kami adakan setiap tahun dengan tujuan untuk melestarikan tradisi nenek moyang kami. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur warga Jalawastu asli atas hasil panennya,” kata Lurah Cisereuh, Darsono, disela-sela. oleh ritual Ngasa, Selasa (28/2/2023) dikutip dari Detik Jateng. Dalam ritual Ngasa, seorang tetua adat yang dikenal sebagai kakolot membacakan mantra Sunda ke Gedong Pesarean. Selanjutnya dilakukan pemanjatan doan sebagai wujud syukur atas hasil panen yang telah mereka terima. Usai berdoa, upacara diakhiri dengan makan bersama-sama dengan menu nasi, jagung, dan sayur mayur. Ritual Ngasa ini merupakan tradisi Jalawastu kuno untuk mempertahankan tradisi Sunda Wiwitan. Meski mayoritas masyarakat beragama Islam, namun tradisi leluhur mereka yang mengikuti Sunda Wiwitan masih dipertahankan. Sejarawan Pantura Wijanarto menjelaskan, pengaruh Sunda Wiwitan yang masih tersisa adalah penggunaan bahasa Sunda di desa ini. Masyarakat setempat masih bergantung pada alam dan mereka sangat peduli terhadap alam sebagai sumber penghidupan. Selain itu pantangan adat Sunda Wiwitan tetap ada dan tidak dilanggar. “Secara historis Sunda Wiwitan berasal dari Jalawastu. Setelah kedatangan Islam, warga yang menolak memilih bermukim di berbagai daerah, termasuk ke Baduy. Pengaruh Sunda Wiwitan terlihat dari penggunaan bahasa Sunda, ketaatan tentang menjaga alam dan tidak berani melanggar pantangan,” kata Wijanarto. Beberapa pantangan dipertahankan seperti tidak beternak kambing, domba, kerbau, tidak menanam bawang merah dan kacang-kacangan, serta tidak menggunakan semen atau batu di rumah-rumah penduduk. Mereka percaya, jika dilanggar akan membawa malapetaka. Julianus Limbeng yang hadir dalam upacara Ngasa Jalawastu mengatakan, pihaknya membantu penguatan lembaga adat dan upacara adat Ngasa Jalawastu. “Kami juga mendorong mereka untuk memiliki hak mengelola hutan yang kami sebut hutan rakyat dengan luas 64,9 hektare,” kata Julianus.  Foto dok. Detik Jateng

Rewang Hajatan, Tradisi Gotong Royong Dalam Pesta Pernikahan

Rewang Hajatan, Tradisi Gotong Royong Dalam Pesta Pernikahan

Rewang hajatan merupakan tradisi yang masih lestari di masyarakat pedesaan hingga saat ini. Tradisi rewang pada masyarakat Jawa merupakan suatu kewajiban, bukan hanya berkaitan dengan urusan kemanusiaan tapi juga menghindari hukum sosial. Sudah fitrahnya bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang saling bergantung satu sama lain. Terlihat dari tradisi gotong royong yang sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tradisi gotong royong juga masih sangat kental di wilayah pedesaan, salah satunya adalah Tradisi Rewang. Pada umumnya, rewang dilakukan saat ada tetangga yang akan menggelar acara besar seperti pernikahan, sunatan, dsb. Baik perempuan maupun laki-laki semua turut andil meringankan dan mensukseskan acara besar tersebut. Dalam bukunya yang berjudul Javanese Villagers : Social Relations in Rural Modjukuto, Robert R. Jay mengatakan bahwa orang Jawa tidak menempatkan dirinya sebagai individu yang bisa melakukan semua hal. Orang Jawa sejak dulu telah sadar bahwa hidup ini pasti membutuhkan dan melibatkan orang lain. Kegiatan yang dilakukan saat rewang adalah memasak bersama-sama. Dalam hal ini perempuan yang memiliki andil besar dalam keberjalanannya. Sementara laki-laki menyiapkan hal-hal yang lebih berat seperti menyiapkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan. Di beberapa wilayah laki-laki juga diminta untuk memasak nasi dan air karena dianggap lebih berat. Pada saat hari H, para muda-mudi yang bertugas untuk mengantarkan hidangan ke para tamu (sinoman). Jadi rewang ini melibatkan semua kalangan baik laki-laki, perempuan, tua, muda. Tradisi rewang hajatan ini masih bertahan di wilayah pedesaan. Karena biasanya penyelenggaraan acara besar di desa sudah dimulai paling tidak 3 hari sebelum hari H itu sendiri. Jadi sudah sangat jelas jika penyelenggaraan acara besar ini melibatkan orang banyak. Selain itu, di desa semua serba buat sendiri, mulai dari makanan pokok nasi, lauk pauk, camilan yang nanti akan dihidangkan untuk para tamu. Sebelum hari H juga ada pemberian hantaran untuk para kerabat dan tetangga yang biasanya berisi nasi, lauk pauk berupa daging sapi, tahu, tempe, dll. Itu juga semua dibuat oleh para orang yang rewang. Semua yang terlibat dalam rewang hajatan tidak diberi imbalan alias bantu sukarela. Biasanya hanya disediakan makan di tempat. Rewang pada akhirnya tidak hanya berbicara tugas perempuan di dapur, tetapi juga berkaitan dengan bentuk perjuangan dan pengorbanan kepada masyarakat. Serta peran perempuan yang pro aktif demi terwujudnya perbaikan keadaan. Jadi, sukarela tersebut yang menjadi basis sebuah tradisi rewang dalam upaya membentuk dan membangun kebiasaan inisiatif dan partisipatif dalam kehidupan sosial dan politik. Tradisi rewang juga pembentuk dapur sebagai penghubung nilai-nilai sosial perempuan Jawa yaitu silaturahmi yang sangat kuat nilai-nilai kehidupan yang setara, adil, dan harmonis. Serta sebagai upaya pencegahan konflik yang mungkin karena adanya perbedaan. Tradisi rewang juga dapat dikatakan sebagai konsep komunitas yang di dalamnya tidak ada lagi struktur sosial. Oleh karena itu, rewang bisa sangat memungkinkan terjadinya unsur kesetaraan demi kehidupan yang adil dan makmur.

Drumblek Salatiga, Marching Band Lokal Dengan Peralatan Musik Dari Barang Bekas

Drumblek Salatiga, Marching Band Lokal Dengan Peralatan Musik Dari Barang Bekas

Drumband Blek atau masyarakat menyebutnya Drumblek Salatiga, adalah seni musik yang berasal dari Pancuran, kota Salatiga. Jangan buru-buru membuang wadah kue bekas ke rumah kita. Mungkin kita bisa mengadakan konser marching band menggunakan barang-barang lamamu. Barang yang menurut sebagian orang tak dapat digunakan lagi ini dapat dimanfaatkan sebagai drumblek. Seperti halnya perangkat Marching Band pada umumnya, Drumblek juga memiliki perangkat yang sama dengan Marching Band. Namun, Drumblek menggunakan peralatan yang lebih sederhana yang berbahan dasar barang bekas seperti kotak kue, kentongan, tempat sampah kecil, tempat sampah besar, dan piring. Dalam bahasa Belanda, kata “blek” dalam Drumblek berasal dari kata serap “Blik” yang berarti kaleng untuk makanan. Sejarah Awal Mula Munculnya Drumblek Salatiga Kesenian lokal Salatiga Drumblek pertama kali muncul pada tahun 1986 di Desa Pancuran, Desa Kutowinangun, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga dengan penggagasnya bernama Didik Subiantoro Masruri atau biasa dikenal dengan Didik Ompong. Ide kreatif Didik muncul ketika Desa Pancuran diundang untuk mengikuti Karnaval HUT ke-41 Republik Indonesia. Saat itu, banyak acara seni yang berlangsung di Kota Salatiga. Acara yang dimaksud adalah karnaval, parade, dan festival budaya. Awalnya Didik berkeinginan untuk mendirikan drumben agar Desa Pancuran bisa berpartisipasi dalam acara tersebut, namun digagalkan oleh dana yang terbatas. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Didik akhirnya menemukan ide unik untuk terus membuat drumben menggunakan barang-barang bekas yang masih bisa digunakan sebagai instrumen pendukung, seperti bambu, ember, drum, ember, dan jerigen. Ide Didik disambut antusias oleh teman-teman dan remaja di Desa Pancuran. Bersama-sama, mereka mulai mengumpulkan kaleng bekas, kaleng minyak, ember, dan potongan bambu. Setelah beberapa barang bekas tersebut terkumpul semuanya, mereka melanjutkan latihan untuk bisa tampil di Karnaval HUT ke-41 Republik Indonesia. Selama latihan awal, drumnya jauh lebih keras saat dipukul, bahkan tidak membentuk ritme lagu. Memang, semua peralatan yang digunakan adalah barang bekas. Dalam perkembangan selanjutnya, nama “drumlek” akhirnya disepakati untuk menyebut temuan kesenian tersebut mengingat alat yang digunakan mayoritas berasal dari drum bekas berbahan seng (bahasa Jawa: blek), sedangkan nama komunitas kesenian ini pada awalnya dikenal dengan nama Drumben Tinggal Kandas, kemudian berganti nama menjadi Gempar (Generasi Muda Pancuran). Keseriusan latihan warga Desa Pancuran terbayar saat tampil dalam rangka HUT ke-41 Negara Kesatuan Republik Indonesia. Drumblek asal Desa Pancuran ini menarik perhatian masyarakat, bahkan hingga saat ini masih menjadi salah satu pertunjukan yang ditunggu-tunggu masyarakat setiap kali berbagai acara kesenian digelar di kota Salatiga. Mengenakan pakaian sederhana, cenderung ala kadarnya, dan mengenakan theklek (Jawa: sandal kayu), Drumblek Tinggal Kandas memiliki seringkalai mengangkat tema politik dalam penampilannya. Namun, tema tersebut dikemas tidak terlalu vulgar. Ciri khas pembawaan drumblek tersebut mengantarkan warga Desa Pancuran meraih penghargaan dari MURI (Museum Rekor Dunia Indonesia) untuk kategori pawai menggunakan theklek dengan peserta terbanyak. Desa Pancuran kemudian dikenal tidak hanya sebagai pencetus drumblek saja, tetapi juga dengan barisan theklek sebagai ciri khasnya. Ide-ide kreatif Didik secara bertahap diikuti oleh desa-desa lain di kota Salatiga. Semakin banyak kelompok seni drumblek bermunculan di setiap desa di Salatiga. Drumblek tidak hanya ditampilkan pada saat acara karnaval tetapi juga digunakan sebagai acara seremonial oleh pemerintah kota Salatiga. Seni Drumblek berkembang pesat selama 10 tahun terakhir, ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok Drumblek baru di daerah perbatasan Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang. Salah satu faktor yang mendorong pesatnya pertumbuhan kelompok drumblek adalah adanya dukungan dari masing-masing kepala desa di daerah masing-masing. Bentuk Penyajian Drumblek Salatiga Drumblek Kota Salatiga dipengaruhi oleh pemain drumben Belanda. Ketika status Kota Salatiga masih gemeente, setiap tahun orang Eropa (khususnya Belanda) yang tinggal di wilayah Kota Salatiga mengadakan festival. Biasanya parade dimulai di Lapangan Tamansari sebelum berkeliling kota. Setelah pemerintah Hindia Belanda meninggalkan kota Salatiga, alih-alih parade ini punah. Justru drumben gaya londo menjadi tren di Salatiga. Drumblek adalah bentuk “tiruan” dari drumben, hanya instrumennya yang lebih “populer”. Drumblek menjadi salah satu inovasi hiburan yang sangat digemari terutama oleh masyarakat Kota Salatiga hingga saat ini. Jenis musik ini tidak tergolong alat musik biasa karena berasal dari barang bekas. Namun melalui inovasi, dan kreativitas, benda-benda tersebut disulap menjadi alat musik unik yang tidak berbeda dengan alat musik biasa. Selain itu, seni drumblek lebih kepada musik untuk ruang terbuka, baik di lapangan maupun musik yang dimainkan sambil berjalan seperti drumben. Anggota drumblek menjadi poin penting dalam kesenian ini. Semakin banyak anggota drumblek, semakin keras suara musik yang dihasilkan. Memang inti dari drumblek adalah semangat dari aspek memainkan instrumen, tarian dan kostum yang digunakan, sehingga anggota kelompok drumblek adalah hal utama yang harus dikoordinasikan secara harmonis untuk memunculkan harmoni. Dalam satu kelompok drumblek biasanya terdiri dari beberapa anggota yang tugasnya memainkan lagu dengan menggunakan beberapa kombinasi instrumen, dipimpin oleh satu atau dua orang komandan lapangan. Drumblek seringkali juga diiringi dengan tarian bendera yang membentuk formasi dengan pola yang berubah-ubah tergantung koreografi lagu yang dimainkan. Foto: doc. putranovant

Ruwatan, Ritual Jawa Untuk Penyucian Jiwa dan Raga

Ruwatan, Ritual Jawa Untuk Penyucian Jiwa dan Raga

Ruwatan adalah salah satu ritual yang masih melekat dalam kehidupan sebagian masyarakat Jawa hingga saat ini. Ruwatan diselenggarakan dengan tujuan untuk melepaskan atau membebaskan seseorang yang diruwat dari kutukan atau hukuman yang berakibat sial atau membahayakan. Ruwatan diambil dari kata dasar ruwat yang memiliki arti dilepas atau dibebaskan. Sampai saat ini sebagian orang masih melakukan upacara ruwatan agar dihindarikan dari marabahaya atau kutukan yang akan menimpa seseorang. Ritual ruwatan juga bertujuan agar seseorang dikembalikan atau dipulihkan pada keadaan semula, atau menetralisir atau mentawarkan kekuatan gaib yang berpotensi membahayakan. Biasanya tradisi ini dilakukan ketika seseorang merasa terus mengalami kesialan demi kesialan dalam hidup. Kemudian dia merasa bahwa kesialan yang menimpa dirinya tak terlepas dari gangguan atau pengaruh gaib. Untuk itulah kemudian ia Ngruwat dirinya untuk menetralisir kekuatan gaib yang dianggap telah mendatangkan kesialan atau gangguan dalam kehidupannya. Asal-usul Tradisi Ruwatan Ruwatan diyakini berasal dari cerita pewayangan. Dikisahkan ada seorang tokoh besar bernama Batara Guru. Ia memiliki dua istri yakni Pademi dan Selir. Dari Pademi ia memiliki keturunan atau anak laki-laki bernama Wisnu. Sementara dari Selir ia juga memiliki anak laki-laki bernama Batara Kala. Seiring keberjalanan waktu dua anak yang dilahirkan dari perempuan yang berbeda ini tumbuh dewasa. Wisnu tumbuh menjadi anak dengan budi perketi luhur dan baik. Batara Kala tumbuh menjadi sosok yang jahat. Ia kerap mengganggu dan tak jarang memakan anak-anak manusia. Proses kelahiran Batara Kala ini juga terbilang unik. Dikisahkan konon Batara Guru dan Selir sedang bercengkrama dan memadu kasih mengelilingi samudera dengan menaiki punggung lembu. Tiba-tiba hasrat seksual Batara Guru muncul dan ingin melakukan hubungan intim dengan istrinya. Namun, ternyata sang Selir menolak, sehingga air mani Batara Guru jatuh ke tengah samudera. Air mani yang jatuh tersebut kemudian berubah menjadi sosok raksasa yang kemudian dikenal dengan Batara Kala. Dalam bahasa Jawa air mani yang jatuh ini disebut dengan karma salah. Konon Batara Kala tersebut lapar dan meminta makanan berwujud manusia kepada Batara Guru. Lantas Batara Guru pun mengizinkan permintaan Batara Kala tersebut dengan syarat. Yakni manusia yang boleh dimakan adalah wong sukerta, yakni orang yang mendapat kesialan. Sukerta berarti orang yang cacat, yang lemah, dan tak sempurna. Mitos yang berkembang, kelompok manusia sukerta yang tidak diruwat akan menjadi mangsa batara kala. Dalam buku Bratawidjaja karya Thomas Wiyasa berjudul Upacara Tradisional Masyarakat Jawa (1988), orang-orang yang tergolong dalam kategori Sukerta, antara lain: 1. Ontang-anting: anak laki-laki tunggal dalam keluarga, tak punya saudara kandung. 2. Unting-unting: anak perempuan tunggal dalam keluarga. 3. Gedhana-gedhini: dua anak dalam keluarga, laki-laki dan perempuan. 4. Uger-uger lawang: dua anak laki-laki dalam keluarga. 5. Kembar sepasang: dua anak perempuan dalam keluarga. 6. Pendhawa: lima anak laki-laki dalam keluarga. 7. Ngayomi: lima anak perempuan dalam keluarga. 8. Julungwangi: anak lahir pada saat matahari terbenam. 9. Pangayam-ayam: anak lahir saat tengah hari. Syarat dan Perlengkapan Ruwatan Ketika akan melakukan ruwatan, ada sejumlah syarat yang perlu dipenuhi, yakni sajen, korban, atau mantera untuk menjembatani komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib atau penyelamat yang dikehendaki. Sajen merupakan makanan dan benda-benda lain seperti bunga yang digunakan untuk sarana komunikasi dengan makhluk gaib atau tak kasat mata. Van Baal melalui bukunya (1988), menerangkan bahwa sajian adalah pemberian atau persembahan kepada dewa dan roh. Sajian yang diberikan tak hanya bertujuan sebagai persembahan, tetapi juga mengandung lambang-lambang yang digunakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan dewa tersebut. Misalnya mentog, itik, dan burung merpati yang dinilai jadi kegemaran Betara Kala. Sedangkan, kain bangun tulak adalah kain kegemaran Batari Durga, kain pandhan binethot kegemaran Batari Sri. Untuk melaksanakan ruwatan, beberapa sajen yang diperlukan antara lain: Ratus atau kemenyan wangi Kain mori putih Kain batik Padi segedeng Beragam nasi Jenang Jajan pasar Benang lawe Aneka rujak Air tujuh sumber Bunga setaman Tata Cara Pelaksanaan Ruwatan Bagi sebagian masyarakat Jawa atau masyarakat penganut kepercayaan Kejawen, ruwatan adalah salah satu ritual penting. Terutama penting dilakukan untuk orang-orang yang termasuk dalam golongan Sukerta. Sebelum masuk ke tahapan prosesi ruwatan adan beberapa persyaratan dalam bentuk makanan yang perlu disiapkan. Makanan yang disiapkan ini mengandung makna pada setiap jenisnya. Adapun makanan yang perlu disiapkan antara lain: Nasi kuning, sebagai perlambangan mendapatkan keberlimpahan rezeki Nasi golong, dimaknai mendapatkan rezeki yang terus bergantian Tumpeng, mengandung makna untuk mensyukuri nikmat dan karunia yang sudah Tuhan berikan Nasi kebuli, memiliki makna keinginan atau hajat dapat terkabulkan Jenang abang yang terbuat dari ketan dan dikasih gula serta kelapa. Bubur sengkolo, yang memiliki makna untuk membuang atau menjauhkan kesialan Jajan pasar, yang mengandung makna tersendiri yakni semoga mendapatkan rezeki yang banyak dan jauh dari permasalahan. Rujak legi, bermakna sebagai lambang penafsiran seperti yang biasanya dibuat untuk sajian orang hamil pada saat masa mitoni atau tujuh bulan. Perlu diketahui setiap tahapan dari ritual ruwatan memiliki maksud dan makna filosofis tersendiri. Adapun tahapan proses ritual Ruwatan adalah sebagai berikut: Prosesi siraman secara filosofis mengandung nilai pembersih badan. Tujuannya agar manusia yang diruwat menggunakan air kembang setaman yang terdiri dari kembang melati, kenanga, dan kembang mawar dapat terhindar dari kala atau kesialan. Sesaji dan selametan secara filosofis memiliki nilai agar orang yang diruwat senantiasa dalam keadaan sehat dan selamat. Penyerahan sarana secara filosofis berarti memberikan perlindungan terhadap orang yang termasuk dalam golongan sukerta Upacara potong rambut secara filosofis memiliki nilai bahwa segala yang kotor harus dipotong dan dibuang Tirakatan secara filosofis bermakna ungkapan rasa syukur dan ungkapan rasa terima kasih terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala perlindungan dan anugerah-Nya Wayang memiliki filosofis bagi kehidupan manusia. Pada umumnya manusia menginginkan kebaikan, maka kisah wayang itu banyak yang bisa sampai masuk ke hati. Makna Ruwatan Bagi sebagian masyarakat Jawa, pelaksanaan ruwatan memiliki hubungan erat dengan kesucian jiwa dan raga. Oleh karena itu sebelum prosesi ruwatan perlu melaksanakan tapa brata agar tercapai kesucian lahir dan batin. Selain tersebut di atas, ruwatan juga memiliki makna hendaknya manusia dapat mengendalikan hawa nafsu. Seperti kata bijak dalam bahasa Jawa, “Unen-unen, mati sajroning urip, urip sajroning pejah”. Artinya bahwa yang hidup tetap hidup, tetapi yang mati adalah nafsu lahirnya. Orang yang tak mampu mengendalikan hawa nafsu berarti mati. Sebaliknya jika orang yang hidup tak memiiki nafsu juga mati. Demikian ulasan mengenai ruwatan yang dapat kami sajikan. … Baca Selengkapnya

Tingkeban, Tradisi Jawa Saat Usia Kandungan Tujuh Bulan

Tingkeban, Tradisi Jawa Saat Usia Kandungan Tujuh Bulan

Jowonews.com – Momen spesial merupakan hal yang perlu disyukuri dalam kehidupan. Banyak cara dilakukan untuk merayakan momen tersebut. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Jawa adalah Tingkeban. Tradisi Tingkeban adalah acara slametan yang dilakukan pada usia kehamilan menginjak tujuh bulan. Namun, tradisi Tingkeban hanya dilaksanakan untuk anak pertama yang dikandung si ibu. Terangkum dari beberapa sumber, prosesi acara Tingkeban ini, diawali dengan siraman yang dilakukan sesepuh dan suami. Namun setelah Islam masuk prosesi ini mengalami akulturasi budaya. Sebelum acara siraman, biasanya diawali dengan membaca Surat Al Fatihah, Surat Al-Ikhlas (3x), Surat Al-Falaq (1x), Surat An-Nas (1x), Ayat Kursi (7x) dan ditambahkan dengan membaca Surat Luqman dan Maryam. Ritual Tingkeban ini mengandung makna bahwa pendidikan bagi sang anak perlu ditanamkan sejak anak masih berada dalam kandungan sang ibu. Dalam upacara Tingkeban ini, sang ibu dimandikan dengan air yang dicampur kembang setaman. Acara siraman juga dibarengi dengan doa permohonan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar bayi dalam kandungan dapat lahir dengan sehat dan selamat. Asal-Usul Tradisi Tingkeban Konon tradisi Tingkeban ini sudah dilakukan sejak Zaman kekuasaan Raja Jayabaya di Kerajaan Kediri. Dikutip dari jurnal karya Iswah Adriana berjudul Neloni, Mitoni atau Tingkeban, dikisahkan ada pasangan suami istri yang memiliki sembilan orang anak. Namun, semua anak mereka tidak berumur panjang. Pasangan suami istri bernama Sadiyo dan Niken Satingkeb itu kemudian mengadu kepada raja terkait cobaan yang mereka alami. Sang Raja kemudian meminta kepada Satingkeb agar ia mandi dengan air suci pada hari Rabu dan Sabtu menggunakan gayung tempurung disertai dengan doa. Seusai mandi, Satingkeb kemudian mengenakan kain yang bersih. Setelah itu ia menjatuhkan dua butir kelapa gading melalui jarak perut dan pakaian. Saat Satingkeb hamil, ia melilitkan daun tebu wulung di perutnya dan kemudian daun itu dipoting dengan keris. Seluruh petuah tersebut harus dijalankan secara teratur dan cermat. Sejak saat itulah masyarakat Jawa mulai melakukan ritual Tingkeban secara turun temurun. Perlengkapan Upacara Tingkeban Menurut berbagai sumber, perlengkapan Tradisi Tingkeban terbagi menjadi dua, yakni perlengkapan untuk golongan bangsawan dan untuk rakyat biasa. Perlengkapan Upacara Tingkeban Bangsawan Bagi para bangsawan, ubarampe upacara Tingkeban antara lain: tumpeng gundul, tumpeng robyong, sekul asrep-asrepan, sebutir kelapa, ayam hidup, jajanan pasara, dan lima macam bubur. Sementara itu untuk acara slametan terdiri dari berbagai jenis makanan antara lain tujuh macam nasi, nasi majemukan, pecel ayam, sayur menir, apem, ketan kolak, nasi gurih, nasi punar, ketupat, ingkung, rujak, dawet, air bunga dan kelapa tabonan. Perlengkapan Upacara Tingkeban Rakyat Biasa Sementara untuk rakyat biasa, ubarampe perlengkapan Tingkeban antara lain, jajanan pasar, sego hangan, jenang abang putih, jenang baro-baro, emping ketan, sego golong, tumpeng robyong, sego liwet, dan bunga telon. Sedangkan untuk acara slametan terdiri daro sego ambengan, sego gurih, jajanan pasar, ketan kolak, apem, sego jajajan, pisang raja, tujuh buah tumpeng, jenang, dan kembang boreh. Tata Cara Upacara Tingkeban Siraman Pada zaman dulu tradisi siraman biasa dilakukan di sumber mata air, atau sungai. Sesepuh atau keluarga yang menyiram biasanya berjumlah tujuh orang termasuk calon ayah dari jabang bayi. Ritual Siraman Tingkeban ini sebagai pengharapan bahwa agar kelak bayi yang dilahirkan suci bersih. Sementara itu tujuh orang berasal dari kata dalam bahasa Jawa yaitu pitu. Arti dari pitu sendiri adalah pitulungan (pertolongan). Hal ini sebagai bentuk pengharapan agar kelak bayi yang dilahirkan mendapatkan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa beserta orang-orang di sekitarnya. Ketika prosesi penyiraman air dilakukan, sang ibu sang ibu harus memegang seekor ayam dan telur beserta buah kelapa yang nantinya akan disiram bersama. Memasukkan Telur Ayam Ke Sarung Setelah ritual Siraman selesai dilakukan sang ibu harus melepas ayam tadi telah disiram bersama. Prosesi selanjutnya adalah memasukkan telur ayam kampung. Calon ayah jabang bayi memasukkan telur ayam mentah ke dalam kain/sarung yang telah dikenakan oleh calon ibu. Telur tersebut dimasukkan sampai menggelinding ke bawah dan pecah. Hal ini sebagai perlambang dan harapan, kelak bayi yang dilahirkan diberikan kelancaran dan kemudahan saat proses persalinan, seperti telur yang menggelinding tadi. Upacara Ganti Busana Selanjutnya sang calon ibu melakukan prosesi upacara ganti busana. Busana tersebut terdiri dari tujuh buah jenis kain dengan motif kain yang berbeda-beda. Calon ibu memakai kain putih sebagai dasar pakaian pertama. Pakain putih yang dikenakan tersebut sebagai simbol bahwa bayi yang dilahirkan adalah dalam keadaan suci. Kemudian calon ibu berganti pakaian sebanyak enam kali. Setiap selesai ganti pakaian biasanya diiringi pertanyaan, “Sudah pantas belum?” Kemudian dijawab tamu yang hadir, “Belum pantas”. Sampai pakaian paling terakhir dipakai atau ketujuh baru dijawab, “Pantas”. Menurut tradisi yang berkembang di tengah masyarakat, kain ketujuh adalah yang paling pantas dipakai. Motif kemben dan kain yang akan dipakai dipilih yang paling baik. Hal ini sebagai pengharapan agar kelak si jabang bayi juga memiliki kebaikan dan keutamaan yang tersirat dalam lambang kain. Sebagai tambahan informasi, biasanya kain yang dipakai saat upacara ganti pakaian atau ganti busana memiliki beberapa pilihan motif yang semuanya dapat dimaknai secara baik. Adapun motif-motif tersebut antara lain: Wahyu Temurun Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang dilahirkan nanti menjadi orang yang selalu mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa dan selalu mendapat perlindungan-Nya. Sido Asih Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang akan dilahirkan memiliki sifat belas kasih dan selalu mendapatkan cinta serta kasih oleh sesama. Sido Mukti Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi dilahirkan nantyi memiliki sifat berwibawa dan disegani oleh sekelilingnya. Truntum Sebagai perlambang dan pengharapan agar keluhuran budi kedua orang tua menurun pada sang bayi. Sido Luhur Sebagai perlambang dan pengharapan agar agar jabang bayi kelak memiliki sifat berbudi pekerti luhur dan sopan santun. Semen Romo Sebagai perlambang dan pengharapan agar bayi yang dilahirkan memiliki rasa cinta kasih kepada sesama layaknya cinta kasih Rama dan Sinta kepada rakyatnya. Sido Dadi Sebagai perlambang dan pengharapan agar jabang bayi kelak senantiasa mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya Babon Anggrem Sebagai perlambang dan pengharapan agar calon ibu dapat melahirkan secara lancar dan normal. Sido Derajat Sebagai perlambang dan pengharapan agar agar kelak bayi yang dilahirkan mendapat derajat yang baik dalam hidupnya. Setelah mengenakan pakaian yang ketujuh, ritual kemudian dilanjutkan dengan pemutusan benang lawe atau janur yang dililitkan di perut calon ibu. Pemutusan tersebut dilakukan oleh calon ayah dengan maksud agar kelak nantinya dalam … Baca Selengkapnya

Tedak Siten, Tradisi Jawa Sebagai Wujud Syukur dan Pengharapan untuk Bayi

Tedak Siten, Tradisi Jawa Sebagai Wujud Syukur dan Pengharapan untuk Bayi

Jowonews.com – Setiap perkembangan bayi adalah suatu kebahagiaan bagi orangtua. Misal saat bayi sudah belajar merangkak, belajar berjalan, dan aktivitas lainnya. Tak jarang sebagian orangtua kemudian merayakannya. Dalam kultur masyarakat Jawa, terdapat tradisi Tedak Siten ketika anak berusia 7 bulan atau sudah mulai belajar duduk dan berjalan. Hitungan lebih tepatnya, upacara tedak siten dilaksanakan saat seorang anak perempuan atau laki-laki telah mencapai usia 7 lapan. 1 lapan sama dengan 35 hari. Jadi usia bayi saat melakukan tedak siten telah menginjak usia 245 hari (35 x 7 = 245) Tedak Siten adalah tradisi turun temurun sebagai wujud syukur atas karunia yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Selain itu, dengan digelarnya upacara tedak siten, diharapkan kelak anak dapat tumbuh menjadi pribadi mandiri. Arti secara bahasa, tedak memiliki makna ‘melangkah’, sementara siten memiliki makna ‘tanah’ atau ‘bumi’. Jada arti secara keseluruhan, tedak siten bermakna melangkah di bumi atau tanah. Dalam ritual ini para orang tua atau sesepuh akan memanjatkan doa-doa permohonan untuk keberhasilan dan kesuksesan anak dalam menjalani kehidupan di masa yang akan datang. Perlengkapan Ritual Tedak Siten Sebelum melakukan prosesi upacara tedak siten, sesuai dengan adat Jawa ada beberapa perlengkapan yang perlu disiapkan oleh keluarga bayi. Perlengkapan yang diperlukan antara lain, yakni: Aneka jenang warna-warni berbahan beras ketan Kursi dan tangga. Bahan tangga terbuat dari batang tebu Ayam panggang ditusuk menggunakan batang tebu, di bawahnya diberi pisang, dan berbagai macam mainan tradisional Tumpeng robyong, bubur, jadah ketan 7 warna (putih, merah, kuning, jingga, biru, ungu dan hitam), jajanan pasar dan buah-buahan Uang receh/kertas untuk disebarkan Banyu gege (air gege), air yang sudah dicampuri kembang dan dibiarkan di tempat terbuka dan paginya terkena sinar matahari hingga pukul delapan pagi Ayam hidup yang nantinya dilepaskan untuk diperebutkan para tamu undangan Kurungan ayam yang dihiasi janur kuning dan kertas warna-warni Setelah seluruh perlengkapan telah terpenuhi, kemudian keluarga atau para tamu undangan berkumpul di tempat upacara. Dan prosesi ritual tedak siten baru bisa dilaksanakan. Rangkaian Acara Upacara Tedak Siten Berjalan di Atas Jadah 7 Warna Prosesi ritual tedak siten biasanya dimulai pagi hari dengan selamatan. Sajian selamatan menggunakan makanan tradisional berupa jadah tujuh warna. Jadah adalah makanan tradisional yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan parutan kelapa muda. Setelah beras ketan matang, kemudian ditumbuk dan bisa diiris-iris. Kemudian beras ketan diberi pewarna putih, merah, kuning, jingga, biru, ungu dan hitam. Jadah adalah simbol tentang kehidupan anak. Sementara tujuh warna sebagai perlambang jalan hidup yang harus dilalui bayi di waktu yang akan datang. Urutan penyusunan jadah dimulai dari warna hitam ke putih. Urutan ini melambangkan bahwa setiap permasalahan pada nantinya akan ada jalan keluar atau titik terang. Selain jadah, makanan tradisional lain yang disediakan dalam upacara tedak siten adalah tumpeng. Tumpeng sebagai lambang permohonan orang tua kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tumpeng terdiri dari sayur kacang panjang yang melambangkan umur panjang. Sayur kangkung sebagai perlambang kesejahteraan. Kecambah sebagai lambang kesuburan, dan ayam utuh sebagai lambang kemandirian. Dalam prosesi acara ini, kemudian jadah 7 warna digunakan sebagai pijakan kaki bayi. Menginjak Tangga Tebu Setelah menginjak jadah 7 warna, prosesi selanjutnya bayi dimbimbing untuk menginjak tangga berbahan batang tebu jenis arjuna. Biasanya tangga tebu ini dihiasi dengan kertas warna-warni. Tebu dalam bahasa jawa memiliki arti Antebing Kalbu atau dalam bahasa Indonesia berarti kemantaban hati. Ritual ini sebagai perlambang agar bayi memiliki sifat ksatria seperti Arjuna, tokoh pewayangan yang dikenal tangguh dan bertanggungjawab. Diharapkan kelak anak dapat menjalani kehidupan dengan tekad kuat, pemberani, tangguh, percaya diri dan bertanggungjawab. Bermain Pasir dengan Kedua Kaki Usai menginjak tangga tebu arjuna, selanjutnya anak dipandu dua langkah, dan diletakkan di atas tumpukan pasir. Anak harus “menceker-ceker” atau mengurai-urai pasir menggunakan kedua kakinya. Ritual ini sebagai perlambangan bahwa perlu berusaha dan bekerja mendapatkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannnya. Masuk ke Kurungan Ayam Setelah prosesi ceker-ceker pasir, selanjutnya bayi dipandu memasuki kurungan ayam yang telah didekorasi. Biasanya kurangan ayam dihiasi dengan kertas warna-warni. Di dalam kurungan ayam tersebut diletakkan beberapa barang seperti beras, kapas, kalung, gelang, buku tulis, dan lain sebagainya. Pada tahapan prosesi ini, anak akan dibiarkan untuk mengambil atau memilih barang yang tersedia di dalam kurangan tersebut. Jika semisal anak mengambil dan memain-mainkan buku tulis, bisa jadi profesi yang tepat untuk bayi adalah sebagai akademisi atau menjadi pekerja kantoran. Bila anak memilih perhiasan, maka bayi tersebut diharapkan akan jadi orang kaya. Semua simbol profesi yang diletakkan dalam kurungan ayam tersebut jadi semacam penuntun bagi bayi dalam memilih pekerjaan pada nantinya. Sementara itu kurungan ayam menyiratkan makna setiap jenjang kehidupan yang dilalui anak harus dijaga, dibimbing, dan dijaga dengan hal-hal yang baik. Menyebarkan Uang Logam yang Dicampur Beras Kuning Ritual tedak siten, tidak hanya dilakukan oleh bayi, melainkan juga oleh Ayah, Ibu, atau anggota keluarga terdekat lainnya. Dintara ritual tedak siten yang dilakukan ayah atau orang tua bayi adalah menyebarkan campuran beras kuning dan uang logam/kertas kepada para tamu undangan atau anak-anak yang hadir. Prosesi ini sebagai simbol pengharapan orang tua agar sang anak kelak diberikan kemudahan dalam mencari nafkah dan memiliki sifat dermawan. Mandi Bunga Sritaman Prosesi selanjutnya adalah bayi dibersihkan atau dimandikan menggunakan air yang dicampur bunga Sritaman, yang terdiri dari bunga melati, mawar, kenanga dan magnolia. Ritual ini sebagai perlambang harapan bahwa bayi dapat membawa rasa hormat, kehormatan dan ketenaran bagi keluarga. Mengenakan Pakaian Baru Ritual paling terakhir dari proses tedak siten adalah bayi dipakaikan pakaian baru dan indah. Prosesi pemakaian pakaian baru ini memerlukan 7 baju yang pada ujungnnya baju ketujuh yang dipakaikan. Prosesi ini melambangkan pengharapan agar bayi senantiasa diberikan kesehatan, memiliki kehidupan yang makmur, hidup layak, memberi kebahagiaan terhadap orang tua dan lingkungannya. Demikianlah prosesi upacara tedak siten yang biasa dilalui dalam kehidupan masyarakat Jawa. Semoga penjelasan dan penjabaran upacara tedak siten ini dapat menambah pengetahuan dan bermafaat untuk kita semua.