Jowonews

Cara Memotong Tumpeng yang Benar, Bukan Dipotong Bagian Pucuknya

Cara Memotong Tumpeng yang Benar, Bukan Dipotong Bagian Pucuknya

Cara memotong tumpeng yang benar ini mungkin belum diketahui banyak orang. Karena sejauh ini banyak kesalahan memotong tumpeng pada acara-acara seremonial. Biasanya pemotongan tumpeng dimulai dari pucuknya, padahal hal tersebut salah. Tumpeng seringkali muncul dalam berbagai acara di Indonesia. Biasanya, pemotongan tumpeng dimulai dari bagian atas atau pucuknya, kemudian dilanjutkan ke bagian bawah. Namun, cara memotong tumpeng dari atas dianggap tidak benar. Cara ini dianggap melanggar filosofi yang terkandung dalam nasi tumpeng. Menurut Chef Desi Trisnawati, pemenang MasterChef Indonesia musim kedua, cara memotong tumpeng yang benar bukan dipotong mulai dari bagian atas atau pucuknya, memotong tumpeng dari atas seakan-akan memutuskan hubungan dengan Tuhan. “Seharusnya, tumpeng dikorek dari bagian bawah. Yang penting, jangan memotong bagian atas karena itu akan memutuskan hubungan dengan Sang Pencipta,” ujar Chef Desi seperti yang dilaporkan oleh Republika.com. Murdijati Gardjito, seorang peneliti di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, seperti yang dilaporkan oleh Kompas.com pada Senin (8/8/2016), mengatakan bahwa tumpeng berasal dari Jawa dan dipengaruhi oleh budaya Hindu India. Bentuk tumpeng yang kerucut, runcing di bagian atas dan lebar di bagian bawah, dianggap sebagai representasi Gunung Mahameru di India. Gunung tersebut dianggap sebagai tempat suci bagi para dewa. Bagian atas tumpeng terdiri dari satu butir nasi yang merupakan simbol dari Tuhan yang Maha Esa. Semakin ke bawah, terdapat umat dengan berbagai tingkat kelakuannya. Oleh karena itu, puncak tumpeng tidak boleh dipotong. Menurutnya, memotong bagian atas tumpeng melanggar filosofi tumpeng yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan. Selain itu, jika tumpeng dipotong di puncaknya, lauk yang berada di sekitar dasar tumpeng tidak akan terambil. Menurut Murdjati, cara yang benar untuk makan tumpeng adalah dengan dimakan bersama-sama atau dikepung. Proses ini dimulai dari bawah dengan mengambil nasi dan lauk secara bersamaan. Kemudian, bergeser ke puncak dan terus turun hingga puncak tercampur dengan bagian dasar tumpeng. Cara ini memiliki makna “manunggaling kawulo lan Gusti”. Meskipun menggunakan sendok diperbolehkan, tetapi harus dimulai dari bagian bawah dan tidak langsung memotong bagian atas. Murdjati mengatakan bahwa kebiasaan memotong tumpeng dari atas berasal dari pengaruh budaya Barat dalam memotong kue.

Asal Usul Penamaan Tahun, Bulan, dan Hari Dalam Kalender Jawa

Asal Usul Penamaan Tahun, Bulan, dan Hari Dalam Kalender Jawa

Kala itu dalam kehidupan masyarakat Jawa, penunjuk tanggal yang digunakan adalah penanggalan Saka. Penanggalan kuno ini berlaku hingga akhir tahun 1554 J. Selanjutnya Angka 1554 diikuti oleh penanggalan Sultan Agung atau Kalender Jawa dengan angka 1555. Dengan demikian, hingga kini, awal tahun baru penanggalan Islam Jawa selalu berbarengan dengan Tahun Baru Hijriah. Kalender Saka mengikuti sistem Syamsiyah, yaitu cara bumi mengelilingi matahari. Sedangkan penanggalan Sultan Agung mengikuti sistem Qamariyah yaitu perjalanan bulan mengelilingi bumi seperti pada penanggalan Hijriah, walaupun dasar perhitungannya berbeda, uniknya penanggalan berdasarkan Kalender Saka dan Penanggalan Sultan Agung dapat berjalan selaras. Dalam Jurnal yang dipublikasikan Muhammad Sholehuddin dan Siti Tatmainul Qulub, dua ulama dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, tercatat bahwa pada masa Sultan Agung memerintah Kesultanan Mataram (1613-1645), kehidupan sebagian besar Hampir semua orang Jawa, terutama budayawan perilaku, didasarkan pada sistem kalender. Pada tahun 1633 M, Sultan Agung mencoba menanamkan ajaran Islam di Jawa. Salah satu caranya adalah dengan mengambil keputusan untuk mengubah kalender Saka. Penanggalan Saka didasarkan pada perputaran matahari (tata surya), kemudian diselaraskan dengan penanggalan Islam berdasarkan perputaran bulan (sistem lunar). Meskipun penanggalan Jawa pada akhirnya menggunakan sistem siklus bulan seperti penanggalan Islam atau penanggalan Hijriah, namun nomor tahun penanggalan Saka tetap dipertahankan. Maka pada tahun 1555 Saka, saat ini angka-angka tersebut dilanjutkan dan digantikan oleh tahun 1555 Jawa. Penyesuaian dengan Kalender Hijriyah Secara struktur kalender jawa atau saka mengalami penyesuaian dengan kalender hijriyah, yaitu sebagai berikut. Nama-nama Hari Nama-nama hari Jawa semula menggunakan bahasa sansekerta, kemudian diubah menjadi bahasa Arab yang disesuaikan dengan bahasa orang Jawa yaitu: Radite diubah menjadi Ahad Soma diubah menjadi Senen Anggar diubah menjadi Seloso Budha diubah menjadi Rebo Respati diubah menjadi Kemis Sukra diubah menjadi Jemuwah Saniscara diubah menjadi Setu. Nama-nama Bulan Nama-nama bulan juga terjadi perubahan dan disesuaikan dengan bahasa orang Jawa yakni menjadi Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dzulqoidah, dan Besar. Nama-nama Tahun Kalender Hijriyah siklusnya terjadi 30 tahun, dengan 11 tahun kabisat atau panjang dan 29 tahun basitoh atau pendek. Sedangkan kalender Islam Jawa memiliki siklus 8 tahun, dengan 3 tahun wuntu atau panjang dan 5 tahun wastu atau pendek. Berikut nama-nama tahun dalam satu windu (8 tahun /1 siklus). Tahun pertama disebut tahun Alip (ا) Tahun kedua disebut tahun Ehe (ه) Tahun ketiga disebut tahun Jim Awal (ج) Tahun keempat disebut tahun Ze (ز) Tahun kelima diseut tahun Dal (د) Tahun keenam disebut tahun Be (ب) Tahun ketujuh disebut tahun Wawu (و) Tahun kedelapan disebut tahun Jim Akhir (ج) Pada setiap siklus (1 windu) menunjukkan sebuah fakta bahwa tanggal 1 Suro berturut-turut jatuh pada hari ke 1, 5, 3, 7, 4, 2, 6, dan 3. Hal ini menunjukkan tahun-tahun jawa dinamai dengan berdasarkan urutan numerologi Arab, yaitu Alif (1), ha (5), jim awwal (3), zai (7), dal (4), ba (2), wawu (6), jim akhir (3).