Jowonews

Seri Babad Tanah Jawi : Karakter Orang Jawa

Seri Babad Tanah Jawi : Karakter Orang Jawa

Seperti apa karakter orang Jawa itu? Berbicara mengenai karakter orang Jawa, tulisan Ben Anderson tentang Mitologi dan Toleransi Orang Jawa akan memberikan pemahaman tentang karakter orang Jawa, sebagaimana tergambar di dalam dunia wayang yang merupakan dasar moral orang Jawa mengenai kehidupan. Wayang adalah pandangan moral orang Jawa yang mengenai pedoman bagi perilaku atau sebagai pola bagi tindakan orang Jawa. Karakter orang Jawa digambarkan dengan karakter yang berdasar atas pluralisme moral. Terdapat perwatakan Kurawa dan Pandawa. Selain itu, ada pula karakter orang luar yang membela kaum Kurawa dan Pandawa. Kurawa menggambarkan perwatakan satria yang jahat, sedangkan Pandawa melambangkan perwatakan satria yang baik. Kresna adalah lambang satria yang membela Pandawa dengan berbagai konsekuensinya. Sedangkan, tokoh Karna adalah lambang kesatria yang membela Kurawa, meskipun ia tahu bahwa Kurawa berada di pihak yang salah. Terhadap tokoh Karna itulah, ambivalensi moral orang Jawa begitu tampak. Di satu sisi, pembelaan Karna terhadap Kurawa merupakan sebuah kesalahan. Namun, pembelaannya terhadap status, kedudukan, dan kehormatan yang diterima dari Kurawa bukanlah sesuatu yang salah. Membela harga diri merupakan suatu kebenaran. Karna termasuk dalam kategori membela kehormatan dan harga diri tersebut. Di sisi lain, Gunawan Wibasana yang lebih memilih Rama sebagai representasi kebenaran serta kebaikan, dan meninggalkan negaranya juga sesuatu yang benar. Pertarungan antara Pandawa dan Kurawa dalam episode Baratayuda atau pertarungan antara Rama dan Dasamuka dalam episode Ramayana adalah contoh antara dunia kebaikan dan kejahatan. Di sisi lain, menurut M. Bambang Pranowo mengungkapkan salah satu cara memahami karakter orang Jawa adalah dengan melihat simbol karakter dalam wayang Pandawa Lima. Mereka adalah Puntadewo, Werkudoro (Bima), Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Puntadewo, Nakula, dan Sadewa terkenal sebagai tokoh yang lemah lembut dan selalu mengalah. Sedangkan, Arjuna adalah tokoh yang pandai, baik dalam diplomasi maupun perang. Arjuna bisa berunding dengan musuh dan mengatur strategi peperangan. Sedangkan, Werkudoro adalah tokoh yang lurus, pemberani, dan pantang menyerah. Werkudoro tidak pandai berdiplomasi dan tak kenal kompromi. Jika menurutnya benar, maka ia akan berperang, apa pun risikonya. Nah, karakter-karakter Pandawa Lima itulah yang tampaknya menjadi gambaran untuk melihat karakter orang Jawa. Meskipun gambaran karakter-karakter Pandawa Lima itu bisa dipakai untuk memahami orang Jawa, tetapi secara keseluruhan, sikap dan tutur kata orang Jawa sangat lembut, akomodatif, dan mudah bersahabat dengan siapa pun. Meskipun demikian, orang non-Jawa pun perlu berhati-hati dalam menyikapi dan memandang orang Jawa. Orang Jawa memiliki tiga filosofi, yakni ngalah, ngalih, dan ngamuk. Nah, karakter-karakter orang Jawa yang seperti itu kemudian menimbulkan stereotip tersendiri bagi orang Jawa. Misalnya, orang Jawa terkenal sebagai suku bangsa yang sopan dan halus, tetepi mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan sulit berterus terang. Sifat ini, konon, berdasarkan sifat orang Jawa, ingin memelihara keharmonisa atau keserasian dan menghindari pertikaian. Oleh karena itu, mereka cenderung diam saja dan tidak membantah apabila muncul perbedaan pendapat. Selain diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan, menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, suka (orang) Jawa juga identik dengan karakter atau sifat menjaga etika berbicara. Baik secara konten dan bahasa perkataaan maupun objek yang diajak berbicara. Dalam seharian, sifat andap asor terhadap orang yang lebih tua akan lebih diutamakan. Bahasa Jawa adalah bahasa berstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objek yang diajak berbicara. Pada umumnya, suka Jawa lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun yang dijaga. Misalnya, saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilakan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati. Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika, baik secara sikap maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan. Berbeda halnya dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang usianya lebih muda. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua, yang dalam istilah Jawa disebut ngajeni. Sumber Referensi: Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli | Penulis: Soedjipto Abimanyu

Seri Babad Tanah Jawi : Asal-usul Nama Pulau Jawa

Seri Babad Tanah Jawi : Asal-usul Nama Pulau Jawa

Dari makanah Pulau Jawa itu berasal? Mengenai asal-usul nama Pulau Jawa, Suyono, dari karya Van Hien, menyebutkan bahwa keterangan terbaik mengenai keadaan geologi Pulau Jawa dapat ditemukan dalam tulisan kuno Hindu yang menyatakan bahwa Jawa sebelumnya adalah pulau-pulau yang diberi nama Nusa Kendang yang menjadi bagian dari India. Pulai ini merupakan hamparan dari beberapa pulau yang kemudian bersatu karena letusan gunung-gunung berapi dan goyangan dahsyat gempa bumi. Babad ini menceritakan bahwa pada tahun 296 sesudah masehi, terjadi letusan gunung-gunung berapi yang berda di pulau itu. Sehingga gunung yang semula ada, menjadi hilang dan memunculkan gunung-gunung berapi yang baru. Sebuah teori geologi kuno menyebutkan bahwa proses terbentunya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak Benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudia melahirkan Gunung Himalaya. Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam oleh air laut, sehingga yang muncul dipermukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini, salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah Pulau Jawa. Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong berasal dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasa dari Dewata. Konon, karena itulah, Pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai Pulau Dewata. Selain itu, juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata. Karena awalnya anak benua Indoa dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran jika terdapat budaya yang hampir sama atau mudah saling menerima pengaruh. Jadi, awalnya, Pulau Jawa bernama Nusa Kendang, yang merupakan bagian dari India. Sekitar 146 tahun kemudian, tepatnya pada 444 sesudah masehi, terjadi gempa bumi yang memisahkan Tembini, daerah bagian selatan Pulau Jawa, menjadi pulau tersendiri : Nusa Barung dan Nusa Kambangan. Tahun 1208, Pulau Sumatera terpisah dari Pulau Jawa karena suatu musibah gempa. Begitu juga pada 1254, Madura yang semula bernama Hantara mengalami kejadin serupa, yang disusul kemudian Pulau Bali yang terpisah dari Jawa pada 1293. Adapun pemilihan nama Jawa masih menjadi perdebatan. Wikipedia menjelaskan bahwa asal mula nama Jawa tidak jelas. Salah satu kemungkinan adalah nama pulau tersebut berasal dari tanaman jawa-wut yang banyak ditemukan di pulau ini pada masa purbakala. Sebelum masuknya pengaruh India, pulau ini mungkin memiliki banyak nama. Ada pula dugaan bahwa nama tersebut berasal dari kata jau, yang berarti jauh. Dalam bahasa Sanskerta, yava berarti tanaman jelai, sebuah tanaman yang membuat pulau ini terkenal. Sementara itu, Yawadvipa disebut dalam epik India Ramayana. Srigawa, panglima wanara (manusia kera) dari pasukan Sri Rama, mengirimkan utusannya ke Yawadvipa (Pulau Jawa) untuk mencari Dewi Shinta. Kemudia, berdasarkan kesusastraan India, terutama pustaka Tamil, disebut dengan nama Sanskerta Yavaka dvipa (dvipa = pulau). Dugaan lain adalah bahwa kata Jawa berasal dari akar kata dalam bahasa Proto-Austronesi, yang berarti rumah. Itulah beberapa asal-usul nama Pulau Jawa dari berbagai referensi yang ada.

Seri Babad Tanah Jawi: Asal Muasal Penduduk Pulau Jawa

Seri Babad Tanah Jawi: Asal Muasal Penduduk Pulau Jawa

Berbicara tentang asal muasal penduduk Pulau Jawa ibarat mencari jarum dalam sekam. Betapa tidak, banyak sumber dan data sejarah yang menyatakan berbeda tentang asal mula penduduk Pulau Jawa atau orang Jawa pertama. Mengingat begitu banyak sumber sejarah yang berbeda pendapat itu, maka untuk bisa memastikan data sejarah yang betul-betul valid tentang siapa orang Jawa pertama menjadi polemik tersendiri. Namun setidaknya sumber-sumber dan data-data sejarah yang ada itu memiliki rasionalitas tersendiri sehingga kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Berikut beberapa pendapat (teori) tentang asal mula penduduk pulau (tanah) Jawa dari beberapa sumber sejarah. Kisah Batara Wisnu dalam “Babad Tanah Jawi” Salah satu sumber sejarah yang bercerita tentang asal mula penduduk tanah Jawa atau orang Jawa pertama adalah buku sejarah Jawa yang sangat masyhur -meskipun timbul perdebatan mengenai benar-tidaknya karena sarat mitologi- adalah Babad Tanah Jawi dari Nabi Adam sampai tahun 1647. Di dalam Babad Tanah Jawi, diceritakan bahwa orang pertama yang membabad (menempati/tinggal) tanah Jawa adalah Batara Wisnu. Nah, dari sumber sejarah tersebut, dapat diketahui bahwa Batara Wusnulah yang menjadi raja pertama di tanah Jawa. Meskipun di kemudian hari ia diusir dari kerajaannya karena mempersunting simpanan ayahandanya, Batara Guru. Tidak hanya itu, cerita dalam babad tersebut juga menegaskan bahwa orang atau raja pertama di Jawa adalah keturunan ke-7 Nabi Adam. Kisah Batara Wisnu dalam “Tantu Pagelaran” Selain Babad Tanah Jawi, sumber sejarah lain yang mengisahkan tentang Batara Wisnu sebagai orang pertama yang menjadi raja di tanah Jawa adalah Tantu Pagelaran. Tantu Pagelaran atau Tangtu Panggelaran adalah kitab Jawa kuni berbahasa kawi yang berasal dari masa Majapahit sekitar abad ke-15. Kitab ini berkisah tentang mitos asal mula Pulau Jawa. Legenda pemindah Meru ke Jawa dalam kitab ini dikisahkan Batara Guru (Shiwa) memerintahkan Dewa Brahma dan Wishnu untuk mengisi Pulau Jawa dengan manusia. Karena Pulau Jawa pada saat itu masih mengambang di lautan luas, terombang-ambing dan senantiasa bergoncang, maka para dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Semeru di India ke Pulau Jawa. Saat Sang Hyang Shiwa datang ke Pulau Jawa, dilihatnya banyak pohon jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa. Wisnu kemudian menjadi raja pertama yang berkuasa di Pulau Jawa dengan nama Kandiawan. Ia mengatur pemerintahan, masyarakat, dan keagamaan. Kisah Perpindahan Penduduk dalam “Serat Asal Keraton Malang” Berbeda dari dua kisah “mitologi” dalam Babad Tanah Jawi dan Tantu Pangelaran, asal mula penduduk tanah Jawa diceritakan dalam sumber surat kuno yang tidak beradar, yaitu Serat Asal Keraton Malang. Adapun para penghuni Pulau Jawa, seperti diceritakan dari sumber serat kuno tersebut, berasal dari daerah Turki, tetapi ada yang menyebut daerah Dekhan (India). Sumber lain menyebutkan bahwa penduduk Jawa berasal dari daratan Cina Selatan yang membanjiri pulau ini sejak tiga ribu tahun SM. Selama dua ribu tahun kemudian, terjadi perpindahan penduduk dari tempat yang sama. Penduduk Jawa menurut sumber ini, berasal dari gelombang-gelombang perpindahan tersebut. Kisah Aji Saka Menurut berbagai tulisan kuno mengenai Jawa, asal-usul Pulau Jawa baru diketahui agak jelas dari cerita mengenai kedatangan Aji Saka. Bahwa pada tahun 78 Sesudah Masehi ada seorang utusan dari kerajaan Astina, namanya Aji Saka. Astina adalah nama lain dari Gujarat. Nama Astina juga masuk dalam cerita pewayangan yang beredar di masyarakat Jawa. Setelah pulang dari Pulau Jawa, pada tahun 125 M, Aji Saka datang kembali bersama gelombang perpindahan orang-orang Buddha. Keterangan dalam “Kitab Djojobojo” Menurut keterangan yang didapat dalam Kitab Djojobojo. sebagian tanah Jawa tadinya adalah sebuah pulau kosong yang angker dan sangar, yang sama sekali belum ada penduduk manusianya. Sementara, menurut sejarah yang berdasarkan atas pendidikan, bahwa antara 2000 tahun yang telah lampau di pulau ini sudah ada penduduk aslinya, hanya pikiran mereka belum terbuka, atau bisa dianggap sebagai orang purba yang belum mengerti tata susila, belum mengerti caranya membuat rumah, dan belum memiliki tempat tinggal yang tatap. Mereka masih menggunakan batu yang dipertajam sebagai senjata untuk memburu maupun berkelahi. Hidupnya sangat sederhana dan selalu pindah kesana-kemari. sehingga agak mirip dengan hidupnya burung atau yang di dalam Kitab Djojobojo dikatakan zaman kukilo. Itulah beberapa rangkuman sumber dan data sejarah yang mengisahkan asal muasal penduduk Pulau Jawa. Dari berbagai sumber tersebut, tentu kita tidak dapat mengklaim yang lebih benar. Sebab, masing-masing sumber tersebut memiliki rasionalitasnya tersendiri. Meskipun demikian, dari beberapa sumber tersebut setidaknya kita dapat mengelompokkan asal muasal penduduk tanah Jawa menjadi dua. Pertama, orang yang pertama kali datang dan tinggal (menjadi raja di Tanah Jawa). Kedua, populasi penduduk yang pindah dan tinggal (membabad) di tanah Jawa secara berkelompok dan datang secara bertahap. Sumber Referensi: Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli | Penulis: Soedjipto Abimanyu