Jowonews

Kenaikan Harga Komoditas Picu Inflasi

SOLO, Jowonews- Kenaikan harga sejumlah komoditas di jelang akhir tahun memicu inflasi termasuk di Kota Solo sebesar 0,10 persen pada bulan Oktober 2020. “Untuk indeks harga konsumen sebesar 104,10. Inflasi ini disebabkan adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya angka indeks harga konsumen,” kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Surakarta Totok Tavirijanto di Solo, Senin (2/11). Ia mengatakan sesuai dengan kelompok pengeluaran yang mengalami kenaikan indeks harga salah satunya kelompok makanan, minuman, dan tembakau naik 0,27 persen. Sedangkan dari sisi komoditas, yang mengalami kenaikan harga dan memberikan kontribusi terhadap terjadinya inflasi, di antaranya cabai merah, minyak goreng, dan telur ayam ras. Meski demikian, dikatakannya, jika dibandingkan pada bulan yang sama tahun sebelumnya, inflasi kali ini lebih rendah. Berdasarkan data, inflasi bulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 0,19 persen. Ia mengatakan terkendalinya inflasi kali ini karena ada beberapa komoditas pokok yang mengalami penurunan harga sehingga menghambat terjadinya inflasi yang lebih tinggi. “Beberapa komoditas tersebut di antaranya daging ayam ras dan bawang merah. Selain itu, tarif listrik juga tercatat mengalami penurunan,” katanya sebagaimana dilansir Antara. Sedangkan untuk laju inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2020 sebesar 0,88 persen dan laju inflasi “year on year” atau dari Oktober 2020 terhadap Oktober 2019 sebesar 1,36 persen. Sementara itu, BPS mencatat inflasi tidak hanya terjadi di Kota Surakarta tetapi juga di beberapa daerah yang lain. Bahkan seluruh kota di Provinsi Jawa Tengah yang dihitung angka inflasinya mengalami inflasi. Ia mengatakan untuk inflasi tertinggi terjadi di Kota Tegal sebesar 0,22 persen, Semarang sebesar 0,20 persen, Kudus sebesar 0,16 persen, Cilacap sebesar 0,12 persen, dan Kota Purwokerto sebesar 0,07 persen.

Selama Tiga Bulan Terakhir, Inflasi di Jateng Naik

SEMARANG, Jowonews.com – Badan Pusat Stastistik (BPS) Jawa Tengah mencatat kenaikan inflasi yang terjadi pada tiga bulan terakhir. “Tren ini mudah-mudahan menunjukkan ada indikasi ekonomi yang membaik, ada kegairahan permintaan,” kata Kepala BPS Jawa Tengah Sentot Bangun Widoyono di Semarang, Rabu. Inflasi Jawa Tengah pada Juni 2020 tercatat sebesar 0,20 persen. Angka tersebut lebih tinggi di banding inflasi Mei yang mencapai 0,07 persen serta yang justru sempat mengalami deflasi sebesar 0,01 persen. Menurut dia, kenaikan inflasi tersebut tidak terlepas dari sisi permintaan barang dari masyarakat. Sementara pada Juni 2020, kenaikan harga daging ayam dan telur menjadi penyumbang terbesar terjadinya inflasi. Ia menambahkan inflasi juga terjadi di enam kota besar yang menjadi daerah tempat dilakukannya survei biaya hidup. Dari enak daerah tersebut, inflasi tertinggi terjadi di Kota Tegal yang mencapai 0,42 persen. (jwn5/ant)

BPS Catat Ada 800.000 Pengangguran di Jateng Hingga Februari 2020

SEMARANG, Jowonews.com – Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah mencatat jumlah pengangguran terbuka di provinsi ini hingga Februari 2020 tercatat mencapai 800.000 orang. Kepala BPS Jawa Tengah Sentot Bangun Widoyono di Semarang, Selasa, mengatakan, survei ketenagakerjaan tersebut dilakukan pada Februari 2020, sebelum banyak terpengaruh COVID-19. “Meski demikian pada Februari ini sudah terjadi perlemahan perekonomian di Jawa Tengah,” katanya. Menurut dia, jumlah pengangguran sebanyak itu merupakan 4,25 persen dari total angkatan kerja di Jawa Tengah yang bekerja yang jumlahnya mencapai 17,98 juta orang. Tingkat pengangguran Jawa Tengah di Februari 2020 mengalami peningkatan di banding periode yang sama 2019 yang mencapai 78.000 orang atau 4,22 persen. “Dalam setahun terakhir secara absolut terdapat penambahan pengganggutan sebanyak 14.000 orang,” katanya. Adapun jika dilihat dari tingkat pendidikannya, lanjut dia, kelompok penduduk tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menempati urutan pertama pengangguran di Jawa Tengah yang mencapai 7,50 persen. Selain itu, ia juga menyebut 10,52 juta atau 58,49 persen angkatan kerja di Jawa Tengah bekerja di kegiatan informal, sementara sisinya di sektor formal. (jwn5/ant)

BPS: Masih Ada 3,68 Juta Penduduk Miskin di Jateng

SEMARANG, Jowonews.com – Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah mencatat hingga September 2019 masih terdapat 3,68 juta penduduk miskin atau penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. “Jumlah penduduk miskin Jawa Tengah mencapai 3,68 juta atau 10,58 persen dari total penduduk provinsi ini,” kata Kepala BPS Jawa Tengah Sentot Bangun Widoyono di Semarang, Rabu. Jumlah tersebut, lanjut dia, sudah mengalami penurunan 63 ribu orang dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2019. Dia mengatakan penurunan jumlah penduduk miskin terjadi di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Jumlah penduduk miskin di perkotaan turun dari sebelumnya 1,63 juta menjadi 1,60 juta orang, sedangkan penduduk miskin di perdesaan turun dari 2,11 juta menjadi 2,08 juta orang. Ia menjelaskan komoditas makanan memiliki peran yang lebih dominan terhadap garis kemiskinan dibanding dengan komoditas lainnya. Sumbangan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan pada September 2019 mencapai 74,14 persen. Sejumlah komoditas yang memberi pengaruh terhadap garis kemiskinan di antaranya beras, rokok, telur ayam, daging ayam, dan gula pasir. (jwn5/ant)

Angka Kemiskinan Indonesia Turun 0,44 Persen Jadi 24,79 Juta Jiwa

JAKARTA, Jowonews.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total penduduk miskin pada September 2019 mencapai 24,79 juta orang atau turun 0,44 persen jika dibandingkan periode sama 2018 yang mencapai 25,67 juta orang. “Jika dibandingkan Maret 2019, penduduk miskin turun sebanyak 358,9 ribu orang dan dibandingkan September 2019 turun sebanyak 888,7 ribu orang,” kata Kepala BPS Suhariyanto di Jakarta, Rabu. Dengan penurunan itu, persentase penduduk miskin pada September 2019 mencapai 9,22 persen, menurun dibandingkan September 2018 mencapai 9,66 persen. BPS mencatat angka kemiskinan selama dua kali dalam setahun yakni pada Maret dan September. Suhariyanto melanjutkan beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan penduduk miskin di Tanah Air yakni rata-rata upah nominal buruh tani per hari pada September 2019 yang naik. Kenaikan upah buruh tani mencapai 1,02 persen dibandingkan Maret 2019 dari Rp53.873 menjadi Rp54.424. Selain itu, rata-rata upah nominal buruh bangunan per hari pada September 2019 juga naik 0,49 persen dibandingkan Maret 2019 dari Rp88,673 menjadi Rp89.072. Tingkat inflasi umum, lanjut dia, juga terbilang rendah sebesar 1,84 persen selama periode Maret-September 2019. Selain inflasi, nilai tukar petani (NTP) pada September 2019 berada di atas 100 yakni mencapai 103,88. Penurunan penduduk miskin juga didorong oleh harga eceran yang turun pada beberapa komoditas pokok di antaranya beras turun 1,75 persen, daging ayam ras (2,07 persen), minyak goreng (1,59 persen), telur ayam ras (0,12 persen) dan ikan kembung (0,03 persen). Selain itu, terjadi peningkatan cakupan penerima program bantuan pangan nontunai yang terealisasi pada triwulan III 2019 mencapai 509 kabupaten/kota atau naik 289 kabupaten/kota dibandingkan triwulan I 2019. Sementara itu, persentase sebaran jumlah penduduk miskin masih paling banyak di wilayah Maluku dan Papua sebesar 20,39 persen mencapai 1,5 juta orang, disusul Bali dan Nusa Tenggara mencapai 13,36 persen mencapai 1,99 juta orang dan Sulawesi 10,07 persen mencapai 1,98 juta. Sedangkan jumlah penduduk miskin di Jawa mencapai 12,5 juta orang atau 8,29 persen. (jwn5/ant)