Jowonews

Lakukan Perencanaan Sebelum Berkebun Urban

SEMARANG, Jowonews- Bagi yang belum pernah berkebun di pekarangan rumah, perlu membuat perencanaan terkait dengan jenis tanaman apa saja yang cocok pada musim hujan seperti sekarang ini. Selain zona iklim rumah dan ruang tanam, perlu pula merencanakan jenis tanaman untuk konsumsi keluarga atau tanaman multifungsi (bisa untuk konsumsi sekaligus memperindah rumah). Hal ini tidak lepas dari tujuan berkebun. Dalam berkebun, kata konsultan pertanian dan ternak organik Luky L. Santoso, S.T. dalam webinar Urban Farming Series IV, hal pertama adalah menentukan tujuan terlebih dahulu. Berkebun untuk membuat sebuah kebun yang ketahanan pangan, misalnya, pekebun harus memahami kebutuhannya seperti apa. Selanjutnya, kata fasilitator dan asesor pertanian organik di Lembaga Sertifikasi Profesi Pertanian Organik (LSPPO) ini, mengenali karakter tanaman. Luky yang juga pendiri Luckys Farm Organic lantas menyebutkan tiga kelompok tanaman, yakni perenial, biennial, dan annual. Dalam diskusi yang diselenggarakan CitiGrower secara daring, Sabtu (27/8), dijelaskan pula bahwa tanaman perenial adalah tanaman yang sekali tanam tetapi bisa panen bertahun-tahun, seperti pohon kelor, pohon buah, turi, dan katuk. Adapun yang dimaksud tanaman biennial, yakni tanaman yang lama hidupnya, seperti cabai, bawang kucai, telang, rosemari (tumbuhan penghasil rempah-rempah dan bumbu masa), kenikir, terong, dan labu siam. Tanaman annual, kata pendiri Rumah Kayu Permaculture ini, adalah tanaman semusim, misalnya kangkung, bayam, pakcoy (sawi berbentuk kecil seperti sendok, batang melebar, daun berwarna hijau pekat), dan selada keriting. Hal lain yang tidak kalah pentingnya selain tujuan berkebun, menurut peneliti urban farming dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda, adalah jadwal tanam yang disesuaikan dengan musim. Karena di Indonesia terdapat musim hujan (Oktober sampai dengan April) dan musim kemarau (April—Oktober) serta peralihan musim (pancaroba), pendiri start up CitiGrower (inisiatif urban farming berbasis digital) ini menyarankan kepada pemula untuk memilih tanaman sesuai dengan musim. Pada musim hujan seperti sekarang ini, menurut dia, waktunya menanam microgreens (sayuran hijau muda yang kaya antioksidan, vitamin, dan mineral), selain kangkung, bayam, selada, sawi-sawian, seledri, daun bawang, dan sayur-sayuran hijau. Ditekan pula oleh Dian Armanda perlu rotasi tanam sesuai dengan iklim, apalagi di Tanah Air mengalami masa pancaroba. Pada peralihan antara musim kemarau dan musim hujan ini, tanaman yang cocok adalah cabai, tomat, terong, dan semangka dengan memperhatikan usia tanam masing-masing tanaman. Tinggal beberapa bulan lagi musim kemarau tiba. Nah, tanaman yang sesuai dengan musim kering ini, antara lain tomat, timun, terong, umbi-umbian, serta jenis kacang-kacangan, seperti buncis dan kacang panjang. Diingatkan pula bahwa umbi-umbian mudah busuk pada musim hujan. Situasi pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), kata Dian Armanda, memacu produksi lokal sayuran dan buah di seluruh dunia. Sayur dan buah meski tergolong perishable (tidak tahan lama), bernilai jual tinggi ketimbang bahan pangan pokok, seperti beras dan jagung. Selain golongan ini mudah dibudidayakan di kebun rumah-rumah penduduk, juga dibutuhkan untuk pemenuhan nutrisi manusia agar tetap sehat karena ada makro dan mikronutrien yang terkandung dalam sayuran dan buah. “Hal ni penting untuk mendukung imunitas tubuh dalam menghadapi ancaman infeksi virus corona,” kata kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini ketika dihubungi Antara, Kamis (4/3) malam. Beragam Jenis Sesuai dengan asal dan sifatnya, kata Dian Armanda, tanaman dapat dibagi menjadi beragam jenis, yakni ada jenis lokal dan tidak sedikit juga yang introduksi. Lokal berarti telah ada atau asli berasal dari Indonesia atau daerah khusus di Tanah Air yang dimiliki dan dibudi daya secara turun-temurun di tempat tersebut. Sebagian keragaman tanaman asli itu mungkin telah hilang karena jenis yang sekarang lebih banyak dibudi daya adalah hasil pemuliaan tanaman, yaitu upaya untuk memperbaiki atau memberi sifat yang lebih baik pada tanaman asli. Pemuliaan tanaman memungkinkan tanaman menjadi tahan hama, tahan kekeringan, meningkat nutrisinya, lebih lezat, berkhasiat obat, dan lain-lain. Adapun metode pemuliaan ada banyak sekali, antara lain penyerbukan, vegetatif, mutasi, poliploidisasi, in vitro, dan transgenik. Padi dahulu kala, misalnya, tidak mengenal wereng. Namun, seiring dengan manusia menggunakan pupuk dan pestisida kimia sintetis, lama-kelamaan padi menjadi lemah dan mudah terserang wereng, lalu manusia merekayasa padi agar menjadi tahan terhadap wereng. Akan tetapi, menurut peneliti biologi lingkungan dari UIN Walisongo Semarang, tetap beda dengan padi asli zaman dahulu. Dijelaskan pula bahwa jenis introduksi adalah jenis yang diperkenalkan masuk ke Tanah Air. Kopi, kakao, dan teh tergolong tanaman introduksi yang pertama atau bukan asli Indonesia. Dian pun lantas mengingatkan jenis introduksi bakal mendominasi, apalagi banyak macam, seperti daikon/lobak, bit (sayuran yang umbinya berwarna merah keunguan, daunnya bisa dibuat sayur, umbinya biasa digunakan sebagai bahan minuman kesehatan), zucchini (timun Jepang), edamame (sejenis kacang-kacangan dari Jepang), dan horenso (bayam Jepang). Jika tidak mau dikuasai oleh jenis introduksi, tiap rumah tangga mulai menggalakkan berkebun mumpung musim hujan.

Berkebun Tanaman Berkhasiat untuk Imunitas Tubuh

SEMARANG, Jowonews- – Peneliti urban farming dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda memandang perlu berkebun tanaman berkhasiat untuk imunitas tubuh di pekarangan rumah selama pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) karena sangat bermanfaat bagi keluarga. “Hal ini mengingat masa pandemi COVID-19 seolah mengharuskan masyarakat menjaga imunitas tubuh sebaik-baiknya,” kata dia di Semarang, Senin (22/2). Dian Armanda yang juga pendiri start up CitiGrower (inisiatif urban farming berbasis digital) itu, menyebutkan meniran yang terbukti klinis memelihara/memperbaiki imunitas tubuh. Selain tanaman yang berkhasiat untuk kekebalan tubuh, kata dia, perlu pula menanam tanaman obat keluarga (toga), seperti mengkudu sebagai obat peluruh kencing dan dapat menurunkan tekanan darah tinggi. Peneliti biologi lingkungan ini juga mengemukakan keunggulan toga organik, antara lain murah dan ramah lingkungan karena bebas input kimiawi buatan, sehat untuk manusia dan alam karena bebas residu kimiawi buatan. Menyinggung teknik tanam toga, Dian menyarankan agar mereka yang berkebun di rumah untuk memanfaatkan ruang, baik vertikal maupun horizontal, termasuk atap. Bisa pula dengan sistem tumpang sari, bercocok tanam dengan menanam dua jenis atau lebih tanaman pada satu bidang tanah. Teknik lainnya, lanjut dia, menggunakan sistem irigasi dan integrasi dengan sistem lain, misalnya akuaponik, yakni cara bercocok tanam dengan menggunakan perpaduan antara budi daya ikan dan hidroponik. Keunggulan toga organik lainnya, bisa langsung ditanam di tanah di halaman rumah. Bisa pula dalam wadah tanam, misalnya diletakkan di tepi jendela, di atas tanah, ubin, dan tepi tangga. Selain itu, bisa juga diletakkan di rak vertikal, digantung di balkon, para-para, tangga, pagar, dan ruang kosong dengan tali. Bahkan, tanaman toga ini bisa digantung terbalik, ditempelkan di tembok, tangga, dan pagar, ujarnya. “Ada beragam teknik penanaman toga. Namun, tidak ada cara khusus karena sama dengan penanaman tanaman pangan lainnya,” kata kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini.

Menanam Obat Alami di Rumah

SEMARANG, Jowonews- Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda dunia telah menuntut sejumlah negara untuk lebih mandiri pangan. Bahkan, di antara negara yang sedang menghadapi wabah ini menerapkan perubahan pola supply and demand (penawaran dan permintaan), di antaranya membatasi ekspor, terutama makanan pokok, kemudian mempermudah impor. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengeluarkan sejumlah regulasi guna menekan kasus Covid-19. Seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kemudian pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), lalu PPKM mikro yang memperketat kegiatan masyarakat skala rukun tetangga dan rukun warga (RT/RW) atau desa. Aturan di tengah wabah Covid-19 ini juga menuntut sejumlah karyawan berdiam di rumah karena ada aturan 25 persen dari total karyawan bekerja dari kantor (work from office), dan 75 persen bekerja dari rumah (work from home). Belakangan, sejak pemberlakuan PPKM mikro di Jawa dan Bali, 9—22 Februari 2021, pembatasan di perkantoran menjadi 50 persen WFO dan 50 persen WFH. Dengan demikian, pekerja kantoran mempunyai waktu luang di rumah selama pandemi Covid-19 Peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda lantas menyarankan agar mereka memanfaatkan waktu untuk berkebun di rumah. Apalagi, kata dosen UIN ini, lebih banyak negara yang memacu produksi mandiri pangannya, terutama untuk sayuran dan buah yang dianggap perishable (berumur pendek) dan bernilai tinggi. “Pandemi Covid-19 memacu produksi lokal sayuran dan buah di seluruh dunia,” kata kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini. Jika ingat kembali prinsip seorang ilmuwan Muslim terkemuka pada tahun 1000-an Masehi bernama Ibnu Sina, menanam pangan di rumah berarti menanam obat. Apa yang diutarakan ilmuwan yang juga filsuf dan dokter kelahiran Persia ini sekaligus sebagai motivasi bagi pemula yang akan berkebun di rumah. Sementara itu, bagi yang hobi berkebun di perkarangan rumahnya, akan menambah semangat dan lebih intens. Ditambah lagi, terdapat tanaman herbal untuk tingkatkan imun terhadap sejumlah penyakit, termasuk virus corona, bisa ditanam di perkarangan rumah. Hal ini mengingat masa pandemi seolah mengharuskan masyarakat menjaga imunitas tubuh sebaik-baiknya. Misalnya, meniran.Tumbuhan terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu) yang daunnya mirip daun asam, tangkainya bersegi-segi dan halus berwarna hijau, air perasan batang dan akarnya digunakan untuk mengobati sakit batuk dan melancarkan air kencing. Ekstrak meniran ini, menurut Dian Armanda, terbukti klinis memelihara/memperbaiki imunitas tubuh. Ibnu Sina pada abad ke-11 telah mengembangkan penelitian dan manuskrip mengenai diet dan makanan sebagai obat. Sang dokter lantas memasukkan resep makanan yang berkhasiat sebagai obat. “Ini merupakan bukti keterpaduan makanan dan obat,” kata Dian Armanda yang juga pendiri start up CitiGrower (inisiatif urban farming berbasis digital). Berdasarkan fakta ini, bisa menarik kesimpulan bahwa menanam makanan yang sehat di rumah masing-masing sebenarnya adalah menanam obat alami itu sendiri. Dengan demikian, makanan tidak hanya bermanfaat sebagai pengenyang tubuh, energi untuk menjalankan ibadah, tetapi juga menjadi obat bagi yang sakit.

Mengoptimalkan Tanah Sehat dalam Urban farming

SEMARANG, Jowonews- Ada sementara orang yang berpendapat tidak bakat dalam berkebun sebelum mencobanya. Salah satu alasan klasik, tidak pandai bertanam gegara tak bertangan dingin. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah tangan dingin ini adalah sifat selalu membawa hasil, terutama dalam usaha pertanian, pengobatan, dan sebagainya. Alasan lain, tidak memiliki lahan luas, tidak punya pekarangan, atau halamannya telanjur dipasang keramik sehingga tidak ada media untuk bercocok tanam. Namun, kata peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda, sebagaimana dikutip dari Antara, semua itu bergantung pada kemauan dan berani mencoba berkebun. Mereka bisa menerapkan sistem teraponik, yakni suatu sistem yang memanfaatkan lahan kecil menjadi lahan produktif untuk pertanian. Sistem ini menggunakan tanah namun umumnya di kontainer, bukan tanah terbuka di atas bumi. Sementara itu, bagi mereka yang telanjur halaman rumahnya dipasang keramik, misalnya, masih ada media tanam hidroponik sebagai salah satu alternatif. Cara bercocok tanam tanpa menggunakan tanah ini (hidroponik) biasanya dikerjakan dalam kamar kaca dengan menggunakan medium air yang berisi zat hara. Zat ini meliputi unsur fosfat, amonium, dan nitrat yang memengaruhi kesuburan perairan yang menentukan jenis tumbuhan yang hidup di dalamnya. Ciri-ciri ini umumnya dimiliki hidroponik. Oleh karena itu, pendiri start up CitiGrower (inisiatif urban farming berbasis digital) ini menyarankan kepada pemula untuk mengenal seputar tanah, media tanam, dan pupuk sebelum mengawali berkebun. Hal ini juga pernah Dian Armanda sampaikan dalam dalam Webinar Urban Farming Series III bertajuk “Optimalkan Tanah Sehat dan Pupuk Organik: Modal Urban Farming Alami”, Sabtu (30/1) malam. Ditegaskan oleh kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini bahwa tanah merupakan media tanam paling natural (organik). Tanah Sehat

Pandemi Ubah Pola suplai dan Akses Makanan

SEMARANG, Jowonews- Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) telah mengubah pola food supply (suplai makanan) dan food access (akses makanan) dunia, termasuk Indonesia. “Hal itu terkait dengan adanya pembatasan ekspor, permudah impor, serta memacu produksi lokal sayuran dan buah,” kata Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda di Semarang, Ahad (31/1). Sebelumnya, kandidat doktor dari Institute of Environmental Science, Leiden University, Belanda ini memaparkan peran tanah sehat dalam Webinar Urban Farming Series III bertajuk “Optimalkan Tanah Sehat dan Pupuk Organik: Modal Urban Farming Alami” di Semarang, Sabtu (30/1) malam. Dalam webinar yang diselenggarakan Citigrower, Dian menjelaskan bahwa tanah sehat menyediakan rumah ideal bagi mikrobia dan organisme lain di tanah. Selain itu, tanah subur mengandung mikrobia yang mampu menyerap karbon di atmosfer (di udara) penyebab global warming, mengembalikan karbon-karbon itu ke tanah. Ia menyebutkan tanah bisa menyimpan setidaknya (4.000 gigaton) lebih banyak karbon daripada atmosfer dan seluruh tanaman yang tumbuh di permukaan tanah (1.700 gigaton). Menyinggung Bumi makin panas, Dian mengatakan bahwa hal itu akibat gas rumah kaca hasil buangan berbagai kegiatan manusia, termasuk kegiatan pertanian dan kehutanan yang menyumbang 24 persen gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Seharusnya, menurut dia, menanam menghasilkan rumah bagi lebih banyak mikrobia. Namun, masih ada pertanian di Tanah Air sekarang ini serakah yang ingin menghasilkan panen sebanyak-banyaknya dan secepat mungkin. Ia mengungkap. sebagian dari petani lantas memakai metode-metode yang merusak tanah dan membunuh mikrobia tanah, misalnya membajak tanah, memakai pupuk, dan pestisida kimia sintetik. “Jadi, kalau berkebun caranya benar natural, mikrobia tidak mungkin rusak, malah membantu membalikkan global warming,” kata pendiri start up CitiGrower, inisiatif urban farming berbasis digital. Dalam webinar itu juga menampilkan Duta Petani Milenial Shofyan Adi Cahyono. Ketua Pusat Pelatihan Pertanian Perdesaan Swadaya (P4S) Citra Muda ini mengutarakan bahwa pertanian organik adalah sistem produksi yang menopang kesehatan tanah, ekosistem, dan manusia. Namun, lanjut dia, hal itu bergantung pada proses ekologis, keanekaragaman hayati, dan siklus yang disesuaikan dengan kondisi lokal daripada penggunaan input dengan efek buruk. Dijelaskan pula bahwa pertanian organik menggabungkan tradisi, inovasi, dan ilmu pengetahuan untuk menguntungkan lingkungan bersama dan mempromosikan hubungan yang adil dan kualitas hidup yang baik untuk semua yang terlibat.

Ayo Berkebun dengan Mudah dan Sembuhkan Bumi!

SEMARANG, Jowonews- Berkebun adalah salah satu teknologi tertua yang ditemukan nenek moyang bangsa Indonesia untuk bertahan hidup. Masyarakat bisa memulainya dengan cara sederhana. Tanamlah dengan tanah! Jangan membayangkan yang rumit ketika berkebun karena semua orang secara alami punya green thumb (tangan dingin). Tinggal dilatih untuk menanam dan langsung dipraktikkan di rumah. Teknologi urban farming atau berkebun urban, menurut peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda, sudah sangat berkembang, mulai dari yang populer, seperti hidroponik dengan media air, akuaponik, aeroponik, bahkan sampai indoor farming atau berkebun di ruang tertutup. Namun, bagi pemula, mulailah dengan cara yang paling sederhana. Menanam dengan tanah dan/atau di tanah dengan cara yang sehat serta natural. Mengapa memulai dengan tanah? Selain lebih simpel, kata Dian Armanda, menanam di tanah yang “kotor” itu juga sehat. Pada tanah subur, ada miliaran organisme, termasuk mikrobia yang tidak hanya menyehatkan tanah dan tanaman, tetapi juga membantu menghasilkan panen pangan yang sehat bagi manusia. Keragaman mikrobia pada tanah subur juga menyehatkan Bumi, membantu mengikat karbon dari atmosfer ke tanah, yang artinya membantu memulihkan dari global warming (pemanasan global). Dengan menjaga tanah sehat, membantu menghentikan global warming karena tidak membajak dan tanpa pupuk dan pestisida kimia sintetis. Peneliti urban farming (pertanian perkotaan) dan biologi lingkungan ini menjelaskan bahwa orang menanam berarti yang bersangkutan mengonservasi keanekaragaman biota tanah, baik organisme makro maupun mikroskopis. Bila keanekaragaman biota ini terjaga, mereka mampu membantu menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Sebagaimana diketahui bahwa karbon dioksida ini salah satu penyebab global warming. “Biota-biota ini menggunakan karbon untuk kehidupan mereka sehingga alih-alih terlepas di udara, karbon tersimpan di tanah,” kata pendiri bisnis rintisan CitiGrower ini, sepeeti dilansir Antara. Ia mengatakan sudah ada studi mengenai potensi serapan tanah subur pada karbon dioksida di udara. Dalam hal ini, tanah berpotensi mengikat karbon dari atmosfer hingga 4.000 gigaton, sedangkan total potensi serapan karbon oleh atmosfer sudah ditambah oleh tanaman sebesar 1.700 gigaton. Maka, potensi tanah subur untuk membalikkan pemanasan global ini sangat besar. Dengan demikian, menanam secara alami menyehatkan bagi Bumi dan manusia. Selanjutnya.. Jangan Dibuat Rumit

Wah, Berkebun Urban Organik Ternyata Bisa Sembuhkan Bumi Loh

SEMARANG, Jowonews- Berkebun urban organik selain murah, mudah, dan menyenangkan bagi pekebun, ternyata juga menyembuhkan bumi. Hal Karena kegiatan tersebut menjaga tanah sehat dan membantu menghentikan global warming (pemanasan global). “Bisa berkontribusi bila syarat dan ketentuannya dipenuhi. Misalnya menggunakan tanah, tidak pakai pupuk sintetik atau pestisida kimia sintetis, dan tidak membajak,” kata peneliti dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Dian Armanda, sebagaimana dilansir Antara, Senin (30/11). Dian yang juga staf pengajar dan peneliti Prodi Biologi di UIN Walisongo Semarang saat ini tengah menempuh program doktoral di Institute of Environmental Sciences Leiden University, Belanda. Menjawab seberapa besar persentase berkebun di rumah memberi kontribusi terhadap pengurangan pemanasan global, Dian mengutarakan bahwa seberapa angka persennya belum ada data jelas karena semua bergantung pada konteks atau kasus per kasus dan kebunnya seperti apa. Peneliti urban farming (pertanian perkotaan) dan biologi lingkungan ini lantas menjelaskan bahwa orang menanam berarti yang bersangkutan mengonservasi keanekaragaman biota tanah, baik organisme makro maupun mikroskopis. Bila keanekaragaman biota ini terjaga, lanjut Dian, mereka mampu berfungsi membantu menyerap karbon dioksida (CO2) dari atmosfer. Sebagaimana diketahui bahwa karbon dioksida ini salah satu penyebab global warming. “Biota-biota ini menggunakan karbon untuk kehidupan mereka sehingga alih-alih terlepas di udara, karbon tersimpan di tanah,” kata pendiri start up CitiGrower, inisiatif urban farming berbasis digital. Menurut Dian, sudah ada studi mengenai potensi serapan tanah subur pada karbon dioksida di udara ini. Dalam hal ini, tanah berpotensi mengikat karbon dari atmosfer hingga 4.000 gigaton, sedangkan total potensi serapan karbon oleh atmosfer sudah ditambah oleh tanaman sebesar 1.700 gigaton. “Maka, potensi tanah subur untuk membalikkan pemanasan global ini sangat-sangat besar,” kata alumnus Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Memulai Urban Farming: Menanamlah dengan Tanah

SEMARANG, Jowonews- Berkebun adalah salah satu teknologi tertua yang ditemukan nenek moyang kita untuk bertahan hidup. Kita bisa memulainya dengan cara sederhana: tanamlah dengan tanah. Hal tersebut disampaikan Dian Armanda, peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang, dalam Webinar Citigrower’s Urban Farming Series, Sabtu (29/11) malam. Webinar bertajuk “Berkebun Mudah, Murah, dan Menyenangkan; Mulai Darimana?” ini juga menampilkan praktisi urban farming, Sita Pujianto dari Jakarta. “Jangan membayangkan yang rumit soal berkebun. Karena semua orang secara alami punya green thumb (tangan dingin). Tinggal dilatih untuk menanam dan langsung dipraktikkan di rumah,” tegas Dian yang juga founder Citigrower, sebuah inisiatif urban farming berbasis digital. Teknologi urban farming atau berkebun urban sudah sangat berkembang, kata Dian. Mulai dari yang populer seperti hidroponik dengan media air, akuaponik, aeroponik, bahkan sampai indoor farming atau berkebun di ruang tertutup. Namun bagi pemula Dian menyarankan, mulailah dengan cara yang paling sederhana. Menanam dengan tanah dan atau di tanah dengan cara yang sehat serta natural. “Mengapa memulai dengan tanah? Selain lebih simpel, menanam di tanah yang ‘kotor’ itu juga sehat. Pada tanah subur, ada milyaran organisme termasuk mikrobia yang tidak hanya menyehatkan tanah dan tanaman, namun juga membantu menghasilkan panen pangan yang sehat bagi manusia. Keragaman mikrobia pada tanah subur juga menyehatkan bumi, membantu mengikat karbon dari atmosfer ke tanah, yang artinya membantu memulihkan pemanasan global.Menanam secara alami menyehatkan bagi bumi dan manusia,’ terang Dian. Bagi yang baru mulai menanam, Dian juga mengimbau agar jangan merumitkan diri dengan target menanam untuk dijual atau komersial.Mulailah menanam untuk kebutuhan dari diri sendiri dan keluarga. Kita produksi pangan secukupnya dan olah seperlunya, kata Dian. “Data dari Economist Intelligence Unit menunjukkan, food waste yang dihasilkan tiap orang Indonesia setiap tahun sudah mencapai 300 kg. Sungguh mubazir,” kata Dian prihatin. Bagaimana kita memulai untuk berkebun di rumah? Ada tiga langkah yang perlu dijalankan: menentukan tujuan, melakukan observasi serta desain, dan langsung praktik. Pertama, temukan alasan dan motivasi pribadi kita dalam berkebun. Misalnya untuk menghasilkan pangan yang cukup, memanfaatkan waktu dan barang yang tersedia di rumah, menghasilkan uang, atau mungkin sekadar iseng-iseng belajar. Kedua melakukan observasi dan desain kebun.Tujuannya untuk mengetahui dan mengenal potensi, tantangan, hambatan kita berkebun rumah, lalu membuat rencana tanam. Kita lakukan pengamatan dimana ruang kita bisa menanam. Bisa memanfaatkan halaman, teras, balkon, rooftop, di tembok, di tangga, menggantung, terbuka, atau bahkan tertutup. “Observasi juga terkait orientasi matahari dan angin, akses air, jenis dan kontur tanah, sampah, serta batas kebun dengan tetangga,” cetus Dian. Setelah observasi, tentukan desain kebun yang ingin dibangun. Jenis tanaman yang cocok, jadwal tanam, elemen kebun (mau ada ternak atau kolam misalnya), struktur kebun dan sebagainya. “Terakhir, dan yang terpenting. Just do it! Lakukan dan terus belajar!” ajaknya. Bahkan kesalahan adalah guru yang baik untuk membantu mengasah green thumb kita. “Kalau gagal, ingat kembali bahwa berkebun itu pada akhirnya menyenangkan, maka jangan berhenti,” tandas Dian.