Jowonews

Kasus Djoko Tjandra: Dua Jenderal Polisi Dipastikan Terima Suap

JAKARTA, Jowonews- Tiga tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan pencabutan red notice Djoko Tjandra mengaku menerima aliran dana dari Djoko. Dua diantaranya adalah jenderal polisi. Ketiga tersangka itu adalah Tommy Sumardi, Brigjen Prasetijo Utomo, dan Irjen Napoleon Bonaparte. “Kami pastikan memang mereka menerima aliran dana itu,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (25/8). Hal itu terungkap saat penyidik Bareskrim memeriksa ketiganya selama hampir 12 jam. Awi tidak bisa menyebutkan jumlah uang yang diberikan Djoko kepada ketiga tersangka untuk mengurus penghapusan red notice. “Nominalnya tentu sudah masuk ke materi penyidikan, saya tidak bisa sampaikan. Nanti akan dibuka semuanya di pengadilan,” kata dia sebagaimana dilansir Antara. Menurut dia, saat diperiksa Senin 24 Agustus Djoko juga mengaku telah menyerahkan sejumlah uang untuk ketiga tersangka. Awi menambahkan terkait uang yang diterima para tersangka ini akan dikonfrontasi dengan alat bukti lainnya. “Kalau itu berupa transfer atau cash and carry, tentunya nanti semuanya akan didalami oleh penyidik dan itu akan dibuka semuanya di pengadilan. Kami sudah lakukan pemeriksaan dan mereka telah mengakui menerima uang tersebut,” kata Awi. Bareskrim Polri telah menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan penghapusan red notice Djoko Tjandra. Penyidik juga menetapkan Tommy Sumardi, Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte sudah berstatus tersangka dalam kasus ini.

Terkait Surat Jalan Palsu, Brigjen Pol Prasetijo Utomo Ditahan

JAKARTA, Jowonews- Brigjen Pol Prasetijo Utomo akhirnya ditahan Bareskrim Polri terkait kasus penerbitan surat jalan palsu tersangka korupsi Djoko Soegiarto Tjandra. Penahanan ini dilakukan selang empat hari setelah penyidik menetapkan Prasetijo sebagai tersangka. “Iya (ditahan) per Jumat, 31 Juli 2020,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono di Jakarta, Jumat. Eks Karo Korwas PPNS Polri itu dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, Pasal 426 ayat (1) KUHP dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP. Prasetijo terancam hukuman enam tahun penjara karena dianggap bertanggung jawab dalam penerbitan surat untuk Djoko Tjandra. Akibat perbuatannya, ia pun telah dimutasikan sebagai Perwira Tinggi Pelayanan Markas Mabes Polri, lansir Antara. Kuasa Hukum Jadi Tersangka Selain Prasetijo, Bareskrim Polri juga telah menetapkan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking sebagai tersangka kasus surat jalan palsu. Anita merupakan salah satu kuasa hukum Djoko Tjandra. Anita Kolopaking disangkakan dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP dan Pasal 223 KUHP dengan ancaman hukuman 6 tahun kurungan. Tim Khusus Bareskrim juga mengajukan surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anita ke Kepala Kantor Imigrasi Kelas 1 Khusus Bandara Soekarno-Hatta pada 22 Juli 2020. Kemudian pada Kamis (30/7), Tim Khusus Bareskrim menangkap Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa keberhasilan upaya Polri dalam menangkap Djoko Tjandra merupakan bukti keseriusan Polri dalam menangani kasus itu. “Ini tentunya menjawab keraguan publik selama ini apa Polri bisa menangkap yang bersangkutan,” kata Komjen Sigit. Polri bekerja sama dengan Polisi Diraja Malaysia untuk menangkap Djoko.

Bareskrim Serahkan Tersangka Korupsi Djoko Tjandra ke Kejati

JAKARTA, Jowonews- Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri menyerahkan terpidana Djoko Tjandra kepada Kejaksaan Tinggi Jakarta dan Rumah Tahanan Salemba, Jumat malam. “Hari ini di Bareksrim Polri ada penyerahan terpidana kasus korupsi Bank Bali sesuai putusan peninjauan kembali (PK) Mahkamah Agung atas nama Djoko Tjandra,” ujar Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers di lobi Bareskrim Polri. Dalam agenda yang berlangsung pukul 21.00 WIB, dihadiri Kabareskrim dan Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta beserta Kepala Rutan Salemba. Sejumlah pimpinan lembaga tersebut menandatangani surat berita acara serah terima. “Malam ini juga secara administrasi penyerahan terpidana kasus saudara Djoko Tjandra yang nantinya Polri, Kejaksaan dan Kemenkum HAM malam ini hadir dan melihat prosesnya seperti apa,” katanya. Agenda tersebut disusul penandatanganan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Polri ke Kejaksaan dan Kepala Rutan.

MAKI: Berkas PK Tersangka Korupsi Djoko Tjandra Tak Boleh Dikirim Ke MA

SEMARANG, Jowonews. Memori PK Djoko Tjandra dinilai cacat hukum. Karena itu, berkas Peninjauan Kembali (PK) tersangka kasus korupsi Bank Bali tidak boleh dikirim ke Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut ditegaskan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, Rabu (29/7). “Berkas Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra tidak boleh dikirim ke Mahkamah Agung (MA). MAKI akan melaporkan ke Komisi Yudisial (KY) jika berkas nekat dikirim ke MA,” ujar Boyamin. Menurutnya, saat ini terdapat perbedaan pendapat apakah berkas PK Joko Tjandra dikirim ke MA atau cukup diarsip di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Kami tetap konsisten meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap berkas PK Djoko Tjandra tidak perlu dikirim ke MA karena Djoko Tjandra tidak pernah hadir dalam persidangan dan alasan sakit tidak cukup karena tidak ada bukti opname dirawat di sebuah Rumah Sakit,” ujarnya. Bahwa selain alasan tidak hadir sidang, terdapat alasan cacat formal pengajuan PK Djoko Tjandra. Berdasar bukti foto memori PK yang diajukan Djoko Tjandra tertulis pemberian kuasa kepada Penasehat Hukum tertanggal 5 Juni 2020. Hal ini bertentangan dengan keterangan Anita Kolopaking yang menyatakan Djoko Tjandra baru tanggal 6 Juni 2020 masuk Pontianak untuk berangkat ke Jakarta. “Artinya pada tanggal 5 Juni 2020 Djoko Tjandra belum masuk Jakarta, sehingga jika dalam memori PK surat kuasanya tertulis ditandatangani tanggal 5 Juni 2020 maka Memori Pengajuan PK adalah cacat dan menjadikan tidak sah,”paparnya. Cacat Hukum Disamping itu Dirjen Imigrasi menyatakan Djoko Tjandra secara de jure ( secara hukum ) tidak pernah masuk Indonesia karena tidak tercatat dalam perlintasan pos imigrasi Indonesia. Sehingga Djoko Tjandra secara hukum haruslah dinyatakan tidak pernah masuk ke Indonesia untuk mengajukan PK. “Selama persidangan Penasehat Hukum tidak pernah menunjukkan dan atau menyerahkan bukti paspor atas nama Djoko Tjandra yang terdapat bukti telah masuk ke Indonesia, sehingga dengan demikian haruslah dinyatakan Djoko Tjandra tidak pernah mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jika ada orang mengaku Djoko Tjandra datang ke PN Jaksel maka orang tersebut adalah hantu blau,”imbuhnya. Djoko Tjandra dalam mengajukan PK didahului dan disertai perbuatan-perbuatan melanggar hukum yaitu memasuki Indonesia secara menyelundup dan selama di Indonesia menggunakan surat jalan palsu dan surat bebas Covid-19 palsu. Sehingga proses hukum pengajuan PK haruslah diabaikan karena dilakukan dengan cara-cara melanggar dan tidak menghormati hukum. “Bahwa berdasar ketentuan Surat Edaran Mhkamah Agung ( SEMA ) Nomor 1 Tahun 2012 dan SEMA Nomor 4 tahun 2016 jelas ditegaskan jika Pemohon PK jika tidak hadir maka berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung dan cukup diarsipkan di Pengadilan Negeri, disamping juga terdapat cacat formal tersebut diatas,”paparnya. “Kami meminta Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk tidak mengirim ke Mahkamah Agung atas berkas perkara Pengajuan PK Djoko Tjandra dan jika memaksa tetap dikirim maka Kami pasti akan mengadukannya kepada Komisi Yudisial sebagai dugaan pelanggaran etik,”pungkas Boyamin.

Bertemu Buronan Djoko Tjandra, Oknum Jaksa Dilaporkan

JAKARTA , Jowonews– Integritas penegak hukum kembali diuji. Diduga, ada oknum jaksa yang bertemu dengan buronan kasus Cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. Temuan tersebut telah dilaporkan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman ke Komisi Kejaksaan, Jumat (24/7) kemarin. Apa yang dilakukan oknum jaksa tersebut, menurut Boyamin, diduga melanggar kode etik. Yaitu melakukan pertemuan dengan buronan Djoko S Tjandra dan tidak melaporkan kepada atasan. “Hari Jumat (24/7) , kami telah mendatangi Komisi Kejaksaan dan membuat pengaduan dan laporan dugaan keterkaitan seorang atau beberapa orang oknum jaksa yang diduga terkait atau terlibat terhadap sengkarut Djoko Tjandra. Setidak-tidaknya ada yang bertemu dengan Djoko Tjandra,” ujar Boyamin, Sabtu (25/7). Bukti Foto Boyamin mengaku, menemukan foto oknum jaksa yang diduga bertemu dan atau bersama buron perkara korupsi Cessie Bank Bali Djoko Tjandra dan pengacaranya Anita Kolopaking. Foto tersebut, kata dia, diduga dilakukan di luar negeri dan atau dalam negeri. “Bukti foto yang kami sampaikan baru bersifat temuan awal. Karena bisa saja asli atau bisa juga hasil editan. Untuk itu kami meminta kepada pihak Komisi Kejaksaan untuk menelusuri dan menyelidikinya,” tegas Boyamin. Dia menduga, oknum jaksa tersebut membantu mengurusi Peninjauan Kembali (PK) Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Jika (foto) ini benar nanti, otomatis kami memohon Komisi Kejaksaan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada jaksa agung. Terkait dengan treatment atau sanksi. Boleh yang ringan sampai mungkin yang terberat,” paparnya. Namun, dirinya juga belum mengungkapkan, siapa oknum jaksa yang diduga bertemu dengan Djoko Tjandra. Dia menyerahkan kasus tersebut kepada Komisi Kejaksaan. “Minimal, mestinya kalau ketemu itu tidak sengaja atau ketemu sekedar di tempat makan terus selfie misalnya begitu, ia mestinya melaporkan kepada atasannya. Melapor kepada Kejaksaan Agung. Atau melapor kepada tim eksekutor Kejaksaan Agung memberitahukan tentang pertemuan-pertemuan itu,” pungkas Boyamin. Djoko S Tjandra merupakan buronan tindak pidana korupsi dalam kasus pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie. Aksinya ini merugikan negara hingga Rp 940 miliar. Pada tahun 2009, Mahkamah Agung telah menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-masing dengan pidana penjara selama dua tahun. Namun, sebelum sempat dieksekusi, Djoko kabur ke Papua Nugini dan menjadi warga negara di sana.