Jowonews

Gotong Royong, Falsafah Jawa Untuk Saling Peduli dan Membantu

Gotong Royong, Falsafah Jawa Untuk Saling Peduli dan Membantu

Gotong royong atau saling membantu satu sama lain merupakan ciri khas masyarakat Jawa yang tak bisa ditinggalkan. Bila kita bertandang ke pelosok-pelosok daerah suku Jawa, niscara sikap gotong royong akan selalu terlihat di dalam setiap sendi kehidupan mereka, baik itu suasana suka maupun duka. Pola kehidupan orang Jawa memang telah tertata sejak nenek moyang. Berbagai nilai luhur kehidupan adalah warisan nenek moyang yang adiluhung. Dan, semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Eksistensi orang Jawa terjaga dengan sangat kkuat. Sehingga, sampai detik ini, pola-pola tersebut tetap diterapkan dalam kehidupan. Pola hidup kerja sama ini dapat kita temukan pada kerja gotong royong yang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa sangat memegang teguh pepatah ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh kesadaran dan tanggung jawab. Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang Jawa memang sangat spesifik. Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan yang ada di dunia, orang Jawa mempunyai pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidup secara berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sangat dekat satu dengan yang lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan. Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Bahkan, dengan segala cara, mereka ikut membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi jika masih tergolong saudara atau teman. Referensi: Babad Tanah Jawi, Soedjipto Abimanyu | Foto: Tabloid Desa

Narimo Ing Pandum, Falsafah Jawa Untuk Ketentraman Hidup

Narimo Ing Pandum, Falsafah Jawa Untuk Ketentraman Hidup

Ciri khas narimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yang dianut oleh orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang Jawa memang meyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dan tidak dapat ditentang begitu saja. Setiap hal yang terjadi dalam kehidupan adalah sesuai dengan kehendak Sang Pengatur hidup. Kita tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan, nasib kehidupan adalah rahasia Tuhan, dan kita sebagai makhluk hidup tidak dapat mengelak. Orang Jawa sangat memahami kondisi tersebut. Sehingga, mereka yakin bahwa Tuhan telah mengatur segalanya. Selanjutnya, konsep hidup narimo ing pandum (ora ngoyo) mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi. Jalani saja segala yang harus dijalani. Tidak perlu terlalu ambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat dilakukan. Orang Jawa tidak menyarankan hal tersebut. Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridor. Kita boleh saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju itu jangan terlalu drastis. Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi kita atas kehidupan yang lebih baik daripada sebelumnya. Orang Jawa mengatakan dengan istilah jangan ngoyo. Biarkan hidup membawa kita sesuai dengan alirannya. Jangan membawa hidup dengan tenaga kita! Bagi orang Jawa, hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan, yang akan membawa kita pada tujuan yang pasti. Orang Jawa memposisikan diri sebagai penumpang. Kendaraan atau hiduplah yang membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan. Seperti air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi, ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar kita akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya kita akan sakit. Referensi: Babad Tanah Jawi, Soedjipto Abimanyu