Kami masih Hidup
Oleh: Hari Tjahjono, Mentor Bisnis dan Teknologi Beberapa bulan yang lalu saya pernah bercerita tentang sebuah start up bidang pariwisata yang sedang berjuang mempertahankan hidupnya akibat pandemi Covid-19. Segala cara dilakukan untuk sekedar bisa bertahan hidup. Mereka berjuang antara hidup dan mati, karena sektor pariwisata adalah industri yang terdampak pandemi paling parah. Sebelum pandemi, mereka telah mendapatkan komitmen pendanaan dari sebuah venture capital senilai separuh dari total nilai investasi yang dibutuhkan untuk ekspansi usaha ke berbagai negara. Sebelum pandemi, start up ini sangat mencorong dan optimis menatap masa depan yang sangat cerah. Tapi apa boleh buat, pandemi mengubah segalanya. Boro-boro masa depan yang cerah, untuk sekedar bertahan hidup saja mereka sangat kesulitan. Untuk mendapatkan co-investor selama pandemi sulitnya bukan main, sehingga komitmen investasi dari venture capital sebelumnya sampai sekarang belum dapat dicairkan. Tapi mereka tidak menyerah. Life goes on. Mereka melakukan apa saja untuk sekedar bisa hidup. Mereka memanfaatkan setiap celah untuk mempetahankan hidupnya perusahaan. Celah itu bernama Turki, Lombok dan Labuan Bajo. Celah itu bernama generasi milenial yang lahir setelah tahun 1990. Turki adalah satu-satunya negara yang membuka negaranya untuk kunjungan wisatawan manca negara. Lombok dan Labuan Bajo adalah destinasi wisata dalam negeri yang menjadi bintang selama pandemi. Dan generasi yang lahir setelah tahun 1990 adalah penolong yang diturunkan Tuhan supaya industri wisata tetap berdenyut. Walaupun masih sangat lemah. Mereka sudah sangat bosan tinggal di rumah, dan ingin tetap menikmati hidupnya. Berkat para dewa penolong itu, setiap bulan ada saja rombongan wisatawan yang berangkat ke Turki, Lombok dan Labuan Bajo. Mereka tetap berekreasi meski dalam masa pandemi. Apakah mereka ignoran? Tidak, saudara-saudara. Mereka sama sekali tidak ignoran, tapi sadar bahwa kehidupan harus tetap berjalan mesti dalam masa pandemi. Mereka memilih hidup berdampingam dengan Covid, meski sangat merepotkan. Bayangkan, mereka rela melakukan PCR test 4 kali supaya bisa tetap berwisata ke Turki. Sebelum berangkat, mereka rela lubang hidungnya diobok-obok. Sesampai Turki, hidung mereka kembali diobok-obok. Begitu kembali ke tanah air, lagi-lagi hidungnya harus diobok-obok, karena hanya dengan cara itulah mereka bisa hidup berdampingam dengan Covid. Apakah sudah cukup? Ternyata belum saudara-saudara. Setelah isolasi selama 5 hari, mereka harus kembali melakukan PCR Test, dan lagi-lagi lubang hidungnya mesti dikorek-korek lagi. Bayangkan, betapa luar biasa perjuangan mereka. Menjadi konsumen pun kini harus mau berjuang keras, dan itu terjadi di industri pariwisata. Berbagai fenomena yang sangat epik itulah yang membuat industri pariwisata masih berdenyut sampai sekarang. Perusahaan start up itu terus berusaha mempertahankan hidupnya. Sambil berbisik, mereka berkata “Kami masih hidup…” Salam,