Jowonews

Akademisi: Pancasila dan Islam Miliki Hubungan Yang Erat

PURWOKERTO, Jowonews.com – Akademisi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto Muridan, mengatakan Islam dan Pancasila memiliki hubungan erat yang saling menunjang dan mengokohkan. “Islam dan Pancasila, keduanya memiliki hubungan yang erat,” katanya di Purwokerto, Senin. Kepala Laboratorium Fakultas Dakwah IAIN Purwokerto itu menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. “Kendati Pancasila lebih fokus mengatur kehidupan dunia yakni kehidupan bangsa Indonesia agar aman, damai, sejahtera serta adil dan makmur, namun tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Keduanya saling membantu, menunjang dan mengokohkan,” katanya. Menurut dia, nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila, terkandung juga di dalam nilai-nilai Islam. Muridan mengatakan bukti adanya hubungan antara Pancasila dan Islam dapat dilihat dengan adanya ayat-ayat Alquran yang maknanya sejalan dengan sila-sila yang ada dalam Pancasila. “Misalkan, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini mengandung ajaran ketauhidan dan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sila pertama ini tercermin dalam surat Al-Baqarah ayat 163 yang artinya ‘Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang,” katanya. Dia kembali mencontohkan pada sila kedua yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab juga sejalan dengan surat Al Maidah. “Pada surat Al Maidah ayat 8. Islam selalu mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bersikap adil dalam segala hal, baik pada diri sendiri maupun kepada orang lain,” katanya. Sementara sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia, kata dia, Islam juga mengajarkan untuk selalu menjaga persatuan dan kesatuan. “Hal ini tercermin dalam surat Al-Imran ayat 103 yang artinya ‘Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. Selain itu sila keempat dan kelima juga sejalan dengan Alquran,” katanya. Dengan demikian, kata dia, sangat jelas bahwa Islam dan Pancasila memiliki hubungan yang erat. “Tidak perlu lagi ada yang dipertentangkan. karena dengan memahami Islam secara komprehensif maka akan dapat memahami hal tersebut,” katanya. (jwn5/ant)

Mantan Napi: Radikalisme Tidak Boleh Dialamatkan pada Agama Manapun Apalagi Islam

SOLO, Jowonews.com – Seorang mantan napiter penulis buku “Hijrah dari Radikal Kepada Moderat”, Haris Amir Falah menyebutkan radikalisme tidak boleh dialamatkan kepada agama manapun, termasuk pada agama Islam. “Kata radikalisme menurut pandangan saya yang aslinya bukan dari ajaran Islam,” kata Haris Amir Falah mantan Napiter dalam acara Bedah Bukunya berjudul “:Hijrah dari Radikal kepada Moderat:, di Auditorium Muhammad Djazman Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Selasa. Haris Amir Falah merupakan mantan napiter yang ditangkap oleh aparat keamanan saat latihan militer di Aceh pada 2010 , dan kemudian divonis 4,5 tahun dalam acara bedah bukunya berisi sebuah rekaman perbuatan pemikiran dan sikap penulis yang dituangkan dalam sebuah tulisan ringkas dengan segala keterbatasan. “Saya mencoba menulis perubahan pemikiran dan sikap saya tentang ajaran Islam, yakni dari paham yang ekstrem dan radikal menjadi moderat,” kata Haris. Menurut Haris judul buku Hijrah dari Radikal ke Moderat memang masih memancing kontroversi ada sebagian orang mengatakan kalimat radikal dan moderat ini, masih banyak diperdebatkan. “Sebenarnya dari buku yang ditulis berjudul dari radikal ke moderat ini, menceritakan tentang perjalanan hidup saya sepanjang mempelajari tentang Islam kemudian berinteraksi dengan berbagai organisasi gerakan yang ada di Indonesia,” katanya. Bahkan, kata dia, di dalam buku tersebut rekam jejak ditulis semenjak duduk di bangku SMA kelas 2 sekitar 1984 hingga sekarang ini. Dirinya menulis buku ini, sebenarnya jauh sebelum muncul kembali isu soal radikalisme, sehingga sebagai sebuah pengalaman pribadi yang dituangkan dalam tulisan. “Pada buku ini, yang saya pahami dengan radikalisme adalah paham keagamaan yang berideologi kekerasan, kemudian terlalu keras memahami agama, dan juga berlebih-lebihkan yang akhirnya melahirkan intoleransi di dalam beragama baik intoleransi sesama kaum Muslimin maupun terhadap orang-orang di luar Islam. Bahkan, kadang juga pada akhirnya akan melahirkan aksi-aksi teror,” katanya. Dia mengatakan tentang moderat yaitu sikap teguh memegang Islam, dan saat yang bersamaan menghormati segala perbedaan, serta akhirnya melahirkan sikap yang santun. Jadi menempatkan diri menjadi seorang moderat itu, tidak sama dirinya menggeser diri dari radikal kepada liberal. Moderat yang dimaksud antara antara radikal dan liberal. “Seorang yang moderat itu, bukan berarti saya mengatakan semua agama itu, sama atau semua agama itu, benar. Saya punya prinsip bahwa yang benar itu, adalah Islam, tetapi membangun toleransi memberikan hak hidup kepada agama yang lain, sesuai dengan keyakinan masing-masing,” katanya. Penulis Haris Amir Falah yang lahir di Jakarta pernah menjabat ketua Lajnah Perwakilan Jakarta, Majelis Mujahidin Indonesia 2001–2008, Amin Jamaah Ansharut Tahuhid (JAT) 2008-2010, Amin Jamaah Ansharut Syariah (JAS) Jakarta 2013-2016, Pembina Lembaga Dawah Thoriquna 2017 hingga sekarang Pendidik di SMP Darul Ma’arif Jakarta, SMA Negeri 46 Jakarta pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah Cirendeu Ciputat Tangerang. Narasumber lainnya, Dr. Amir Mahmud M.AG selakui pengamat Pergerakan Islam mengatakan radikal dinilai ada tiga kategori yakni dalam bentuk lisan atau ujaran kebencian. Hal ini, sangat berpotensi sangat radikal. Kedua radikal dalam bentuk fisik yakni mereka tidak suka kemudian melakukan kekerasan, dan ketiga bentuk ekstrim, yakni mereka yang ingin mengubah suatu tatanan nilai bangsa manapun itu radikalisme. “Radikalisme itu, bukan Islam. Islam bukan radikalisme. Namun, radikalisme itu, seseorang atau kelompok yang melakukan paham radikal,” kata Amir Mahmud. Pada acara bedah buku Hijrah dari Radikal Kepada Moderat, juga menghadirkan narasumber lain, antara lain Dr. Mu’inudinillah Basri MA (Ketua Dewan Syariah Kota Surakarta), dan Prof. Dr, Jamhari Makruf, MA (Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta). (jwn5/ant)