Jowonews

Putusan MA Batalkan Kenaikan Iuran BPJS, F-PKS: Penuhi Rasa Keadilan

JAKARTA, Jowonews.com – Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menyambut baik Putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dan putusan tersebut memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat. “Putusan ini memenuhi rasa keadilan dan keberpihakan pada rakyat yang juga secara tegas Fraksi PKS perjuangkan di DPR,” kata Jazuli dalam keterangannya di Jakarta, Selasa. Hal itu dikatakannya terkait Putusan MA yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dia mengatakan sejak awal FPKS tegas menolak kenaikan iuran BPJS yang tidak dihiraukan oleh BPJS dan Pemerintah. Menurut dia, Putusan MA yang membatalkan Perpres nomor 75 tahun 2019 membuktikan bahwa kebijakan itu tidak memenuhi rasa keadilan dan cacat hukum. “Atas Putusan MA itu, tidak ada alasan lagi bagi BPJS dan pemerintah kecuali melaksanakannya. Kembalikan iuran BPJS ke posisi tarif semula sesuai Putusan MA,” ujarnya. Sebelumnya, MA mengabulkan sebagian permohonan uji materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dikutip dari laman MA di Jakarta, Senin, uji materi yang diajukan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir diputus hakim agung Yosran, Yodi Martono Wahyunadi dan Supandi. Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal tersebut mengatur iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) menjadi sebesar Rp42 ribu per orang per bulan dengan manfaat pelayanan ruang perawatan kelas III, Rp110 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas II dan Rp 160 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas I. Besaran iuran tersebut mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) mengajukan uji materi Perpres Nomor 75 Tahun 2019 karena menilai kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen tidak disertai alasan logis. Menurut komunitas itu, Perpres 75 Tahun 2019 bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. (jwn5/ant)

Batalnya Kenaikan Iuran BPJS Jadi Momentum Perbaikan Sistem

SEMARANG, Jowonews.com – Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan bahwa pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan melalui keputusan Mahkamah Agung menjadi momentum yang tepat untuk memperbaiki sistem tata kelola sehingga menjadi lebih baik dalam melayani masyarakat. “Inilah kesempatan BPJS sebagai pengelola untuk melakukan perbaikan sistem, pasti rakyat senang dengan keputusan ini. Nah sekarang MA membatalkan kenaikan BPJS, perbaikan pelayanan itu harus terus digenjot. BPJS adalah semangatnya melayani, membuat kesehatan masyarakat lebih baik,” katanya di Semarang, Senin. Menurut Ganjar, hal yang mesti diutamakan dalam melakukan perbaikan pelayanan BPJS Kesehatan adalah pembenahan spirit bahwa BPJS merupakan bentuk pelayanan kesehatan masyarakat. Jadi, lanjut Ganjar, mempermudah dan membantu masyarakat yang berobat adalah sebuah keniscayaan, bukan justru mempersulit. “Permudah masyarakat dalam berobat, soal antrean bagaimana, dan jangan sampai masyarakat merasa ada diskriminasi antara yang pakai BPJS dan bayar sendiri karena yang pakai BPJS itukan juga bayar sendiri, mandiri,” ujarnya. Seperti diwartakan, Mahkamah Agung mengabulkan sebagian permohonan uji materi Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Dikutip dari laman MA, uji materi yang diajukan Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir diputus hakim agung Yosran, Yodi Martono Wahyunadi dan Supandi. Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal tersebut mengatur iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) menjadi sebesar Rp42 ribu per orang per bulan dengan manfaat pelayanan ruang perawatan kelas III, Rp110 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas II dan Rp160 ribu dengan manfaat ruang perawatan kelas I. Dengan keputusan MA tersebut, maka iuran BPJS Kesehatan kembali ke iuran semula yaitu Rp25.500 untuk kelas III, Rp51.000 untuk kelas II, dan iuran sebesar Rp80.000 untuk kelas I. (jwn5/ant)

Batal Naik, DPR: Pemerintah Wajib Kembalikan Iuran BPJS Kesehatan

Semarang, Jowonews.com – Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Dewi Aryani menyatakan pemerintah wajib mengembalikan iuran BPJS Kesehatan pascaputusan Mahkamah Agung yang mengabulkan judicial review Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. “Dengan dibatalkannya Perpres No. 75/2019 tentang Perubahan atas Perpres No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan harus kembali semula,” kata Dewi Aryani di Semarang, Senin malam, ketika merespons putusan MA tersebut. Sejak pemberlakuan Perpres No. 75/2019 per 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan peserta bukan pekerja (BP) sebesar Rp42 ribu per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III, sedangkan kelas II sebesar Rp110 ribu/orang/bulan dan kelas I sebesar Rp160 ribu/orang/bulan. Sebelumnya, kata Dewi Aryani, iuran bagi mereka sebesar Rp25.500,00 untuk kelas III, sebesar Rp51 ribu untuk kelas II, dan sebesar Rp80 ribu untuk kelas I. Karena perpres tersebut sudah dibatalkan MA, kata Dewi Aryani, iuran yang sudah terbayar mulai Januari hingga Maret 2020 wajib dikembalikan kepada peserta PBPU dan BP sesuai dengan kelasnya masing-masing. “Misalnya, untuk kelas III, pemerintah wajib mengembalikan sebesar Rp16.500‬,00, sedangkan untuk kelas II Rp59 ribu dan kelas I Rp80 ribu. Dengan demikian, total pengembalian sebesar iuran yang mereka bayarkan kali 3 bulan,” kata Wakil rakyat asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah IX (Kabupaten/Kota Tegal dan Kabupaten Brebes) ini. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan BPJS Kesehatan, lanjut Dewi Aryani, harus segera membahas teknis pengembalian iuran masyarakat yang sudah dibayarkan sejak Januari sampai Maret 2020. “Ini tidak mudah. Jadi, harus benar-benar membuat langkah yang paling tepat agar tidak membuat kegaduhan baru,” kata anggota Komisi IX (Bidang Kesehatan dan Ketenagakerjaan) DPR RI ini. Politikus PDI Perjuangan ini menekankan, “Pemerintah jangan memulai gaduh dengan urusan kenaikan, kemudian mengakhiri dengan gaduh pula.” Dewi Aryani berpesan agar pemerintah menyelesaikan semua urusan rakyat sebaik-baiknya. Apalagi, masalah kesehatan saat ini adalah kebutuhan mendasar rakyat dan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat hingga daerah untuk memastikan semua mendapat pelayanan kesehatan (Jaminan Kesehatan Nasional/BPJS Kesehatan) sesuai dengan kategorinya. Ia menegaskan bahwa mereka yang masuk kategori miskin harus dapat Kartu Indonesia Sehat (KIS) Penerima Bantuan Iuran (PBI). Agar tepat sasaran, lanjut Dewi Aryani, data diverifikasi dan validasi (verval) ulang secara berkala oleh Kementerian Sosial dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri. “Untuk BPJS mandiri dengan tidak adanya kenaikan iuran kelas III, diharapkan kesadaran masyarakat yang mampu membayar makin tinggi untuk segera mendaftarkan diri sebagai peserta mandiri,” kata anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dewi Aryani. (jwn5/ant)