Jowonews

Warga Jalawastu Brebes Gelar Ritual Ngasa Untuk Melestarikan Adat Sunda Wiwitan

Jalawastu

BREBES – Kampung Jalawastu, Desa Ciseureuh, Kecamatan Untung, Kabupaten Brebes memiliki tradisi unik yang masih dilestarikan hingga saat ini. Meski terletak di Jawa Tengah, desa ini memiliki adat budaya Sunda Wiwitan. Untuk menjaga kelestarian adat ini, masyarakat setempat tetap menjaga tradisi Ngasa. Ritual ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka, penganut Sunda Wiwitan. Prosesi ngasa ini berlangsung setiap hari Selasa Kliwon pada mangsa kesanga dalam bahasa jawa dan dilaksanakan setahun sekali. Ritual adat juga dipusatkan di hutan adat yang dikeramatkan, yakni Gedong Pesarean. Gedong Pesarean terletak di kawasan tanah putih (tanah suci) di atas kampung adat Jalawastu, kampung Ciseureuh, kecamatan Keuntungan. Ngasa tahun ini jatuh pada 28 Februari 2023. Prosesi dimulai pagi-pagi sekali. Masyarakat adat Jalawastu di dataran tinggi Gunung Sagara tampak sibuk mempersiapkan hari suci. Sebagai wilayah adat yang mayoritas penduduknya bergantung pada hasil alam, masyarakat membawa dan mengarak hasil tersebut. Berbagai hasil pertanian mulai dari beras, jagung, kelapa hingga sayur mayur disajikan di Ngasa ini. “Ritual Ngasa ini kami adakan setiap tahun dengan tujuan untuk melestarikan tradisi nenek moyang kami. Upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur warga Jalawastu asli atas hasil panennya,” kata Lurah Cisereuh, Darsono, disela-sela. oleh ritual Ngasa, Selasa (28/2/2023) dikutip dari Detik Jateng. Dalam ritual Ngasa, seorang tetua adat yang dikenal sebagai kakolot membacakan mantra Sunda ke Gedong Pesarean. Selanjutnya dilakukan pemanjatan doan sebagai wujud syukur atas hasil panen yang telah mereka terima. Usai berdoa, upacara diakhiri dengan makan bersama-sama dengan menu nasi, jagung, dan sayur mayur. Ritual Ngasa ini merupakan tradisi Jalawastu kuno untuk mempertahankan tradisi Sunda Wiwitan. Meski mayoritas masyarakat beragama Islam, namun tradisi leluhur mereka yang mengikuti Sunda Wiwitan masih dipertahankan. Sejarawan Pantura Wijanarto menjelaskan, pengaruh Sunda Wiwitan yang masih tersisa adalah penggunaan bahasa Sunda di desa ini. Masyarakat setempat masih bergantung pada alam dan mereka sangat peduli terhadap alam sebagai sumber penghidupan. Selain itu pantangan adat Sunda Wiwitan tetap ada dan tidak dilanggar. “Secara historis Sunda Wiwitan berasal dari Jalawastu. Setelah kedatangan Islam, warga yang menolak memilih bermukim di berbagai daerah, termasuk ke Baduy. Pengaruh Sunda Wiwitan terlihat dari penggunaan bahasa Sunda, ketaatan tentang menjaga alam dan tidak berani melanggar pantangan,” kata Wijanarto. Beberapa pantangan dipertahankan seperti tidak beternak kambing, domba, kerbau, tidak menanam bawang merah dan kacang-kacangan, serta tidak menggunakan semen atau batu di rumah-rumah penduduk. Mereka percaya, jika dilanggar akan membawa malapetaka. Julianus Limbeng yang hadir dalam upacara Ngasa Jalawastu mengatakan, pihaknya membantu penguatan lembaga adat dan upacara adat Ngasa Jalawastu. “Kami juga mendorong mereka untuk memiliki hak mengelola hutan yang kami sebut hutan rakyat dengan luas 64,9 hektare,” kata Julianus.  Foto dok. Detik Jateng