Tradisi Menjaga Makam Selama 40 Hari di Giriwoyo, Cegah Pencurian Mayat
Di Giriwoyo, Wonogiri, warga setempat melakukan tradisi menjaga makam selama 40 hari untuk mencegah pencurian mayat.
Di Giriwoyo, Wonogiri, warga setempat melakukan tradisi menjaga makam selama 40 hari untuk mencegah pencurian mayat.
WONOGIRI – Sebuah kebijakan baru telah diberlakukan di lingkungan anggota DPRD Wonogiri. Mulai tahun 2024, anggota DPRD tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk melakukan studi banding. Keputusan tegas ini berlaku secara menyeluruh bagi seluruh anggota DPRD Wonogiri. Ketua DPRD Wonogiri, Sriyono, dengan mantap menyampaikan hal ini kepada para wartawan pada Selasa (26/3/2024). Ketua DPRD Wonogiri, Sriyono, menekankan bahwa setiap anggota DPRD Wonogiri harus terlibat dalam semua agenda dari awal. Bagi yang tidak hadir pada tahap awal, mereka tidak diperkenankan untuk mengikuti agenda selanjutnya. Contohnya, jika seorang anggota dewan tidak hadir dalam diskusi kelompok yang membahas suatu topik, maka dia juga tidak diperbolehkan untuk mengikuti agenda berikutnya. “Jika tidak ikut dalam FGD, misalnya, tidak dapat mengikuti studi banding. Jadi, jika tidak mengikuti dari awal, jangan harap bisa ikut selanjutnya,” tegas Ketua DPRD Wonogiri, Sriyono. Menurut Sriyono, kebijakan ini merupakan inisiatif pribadi dan telah diumumkan kepada semua anggota DPRD Wonogiri. Sampai saat ini, tidak ada peraturan resmi yang mengatur hal tersebut, dan keputusan ini murni berasal dari dirinya. “Tidak bisa memilih-milih. Jika, misalnya, tidak mengikuti FGD lalu ingin ikut studi banding, saya tidak akan menandatangani nota tugasnya,” ungkap Sriyono. Kebijakan ini diumumkan oleh Ketua DPRD Wonogiri mulai tahun ini. Hingga saat ini, tidak ada yang berani melanggar aturan ini. Dengan kebijakan ini, diharapkan semua anggota DPRD dapat menjalankan tugas mereka dengan baik, sehingga anggaran kegiatan dewan juga dapat terserap secara efektif.
WONOGIRI – Di Desa Kepuhsari, Manyaran, Kabupaten Wonogiri, suasana kampung yang dipenuhi pesona wayang masih tetap hidup hingga saat ini. Dalam lingkungan ini, kita dapat menemukan sejumlah perajin wayang yang telah mengukir pengalaman dan keahlian mereka dalam seni perwayangan. Salah satu tokoh kunci dalam perwayangan Kepuhsari adalah Sutar (58 tahun), seorang perajin wayang yang telah menggeluti seni ini sejak kelas III SD pada tahun 1975. “Sudah sejak kelas III SD, saya bisa membuat wayang sendiri, bahkan saat kelas VI SD sudah bisa menghasilkan uang. Setiap pulang sekolah, saya terus belajar. Keluarga juga ikut serta dalam pembuatan wayang,” cerita Sutar dikutip dari detikJateng pada Selasa (7/11). Sutar belajar seni wayang dari kepala sekolahnya, Sukarhadi Prayitno. Pada saat kelas VI SD, Sutar berkesempatan memamerkan karyanya dalam pameran wayang di berbagai daerah, termasuk di PRPP Semarang. Menurut Sutar, Sukarhadi Prayitno memiliki peran besar dalam perkembangan perwayangan di Kepuhsari. Pada tahun 1980, wayang dari Kepuhsari mulai mendapat pengakuan di dunia. “Bahkan pada masa itu, Sukarhadi Prayitno menerima penghargaan Upakarti dari Pak Soeharto (Presiden saat itu) dan diundang ke istana karena berhasil mengembangkan seni wayang di sini. Hingga Menteri Penerangan Harmoko pun datang ke Kepuhsari,” ungkap Sutar. Sutar juga mengenang masa di mana anak-anak SD pulang sekolah untuk belajar membuat wayang di rumah Sukarhadi Prayitno, yang pada akhirnya menghasilkan perkembangan positif dalam seni wayang di kampung tersebut. “Namun, setelah beliau meninggal, seni wayang mengalami penurunan. Banyak yang beralih profesi. Kejayaan wayang di Kepuhsari terjadi sekitar tahun 1980-1995. Baru pada awal 2011, kehidupan seni wayang mulai bergeliat kembali dengan tercetusnya kampung wayang pada 2014,” ujar Sutar. Saat masa keemasan, rumah Sutar bahkan sering menjadi tempat beristirahat bagi wisatawan yang berkunjung ke Kepuhsari. “Dulu belum ada homestay. Mereka biasanya memesan wayang mini, agar bisa dimasukkan ke dalam tas. Saya pernah membuat satu set kotak wayang yang laris di luar negeri. Bahkan, wayang Gatotkaca pernah dibeli oleh duta besar Indonesia untuk Inggris dan dibawa ke sana,” jelas Sutar. Meskipun sebagai perajin wayang, Sutar mengakui bahwa pelanggan dan hasil yang diperolehnya tergolong normal. “Menjadi perajin wayang memang harus mengenal pewayangan, menghapal pakem wayang, dan tokoh-tokohnya,” tambahnya. Foto Dok. Detik Jateng
WONOGIRI – Komisi E DPRD Provinsi Jateng menyoroti soal pentingnya validasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Karena, data itu menjadi salah satu komponen untuk menyusun rencana pengentasan kemiskinan. Demikian disampaikan Anggota Komisi E DPRD Provinsi Jateng Endriyaningsih, saat berdiskusi bersama jajaran Dinas Sosial Kabupaten Wonogiri, baru-baru ini. Pada kesempatan itu, ia juga berharap, dengan validasi DTKS, tidak ada potensi selisih atau ada warga yang belum terdata. “Update, kriteria, verifikasi, sampai validasi menjadi penting. Oleh karenanya, kami ingin mendengar dari Kabupaten Wonogiri, muatan lokal seperti apa yang dilakukan terhadap DTKS. Data itu salah satu aset penting dan untuk mendapatkannya mahal tapi kalau datanya kacau jatuhnya lebih mahal lagi,” ungkap Endry, Wakil Rakyat dari Dapil Magelang dan Boyolali. Endry menggambarkan bagaimana penggunaan data untuk penentuan tindakan atas kemiskinan by name. Sehingga, program yang ada, atau yang dicarikan bisa tetap sasaran. “Kalau by name butuhnya jamban, ya dikasih jamban, butuhnya hanya jamban jangan kasih perbaikan RTLH (Rumah Tidak Layak Huni). Belum lagi kalau dicarikan CSR atau lembaga filantropi, jadi lebih akurat. Data ini penting untuk penentuan program pengentasan kedepan. Apalagi ini infonya Jateng juga akan membuat Data Terpadu Jateng, kita nantikan seperti apa,” ujarnya. Senada dengan Endry, Anggota Komisi E lainnya yakni Ida Nurul Farida juga mengatakan pentingnya data yang valid dan berkelompok. Menurut dia pengelompokan atau rincian singkat dari jenis kemiskinan yang ada akan sangat mempermudah pemerintah untuk membuat program dan mempermudah masyarakat juga untuk membantu mengawasinya. Ia menilai peran serta masyarakat langsung untuk pemenuhan DTKS sangatlah diperlukan. Hal itu bisa dimulai dari pengusulan, validasi, penyaluran program, hingga pengawasannya. “Data itu harus kita dorong, kita fasilitasi dengan prinsip peran aktif dari masyarakat. Karena, bagaimanapun itu kewajiban semua pihak agar program tepat sasaran dan kemiskinan terangkat dari daerah tersebut,” harap Ida. Ia juga mendorong adanya program yang sustainable berkelanjutan untuk meningkatkan pendapatan dari target program sehingga tidak menyisakan tugas lain dikemudian hari. Mengingat, ada beberapa program yang malah membuat warga masuk ke dalam lingkaran sistem kemiskinan. Menanggapinya, Kurnia Listiyarini selaku Kepala Dinas Sosial Kabupaten Wonogiri mengaku sependapat soal validasi data dan perlunya peran aktif masyarakat. Cita-cita adanya sistem satu data akan sangat membantu untuk program program yang ada. Mengenai peran aktif masyarakat, nantinya membuat data yang telah dikumpulkan selalu update. Karena, yang tahu seperti apa kondisi sesorang adalah tetangga dan perangkat di daerah/ desa itu sendiri. “Untuk mendapatkan data, memang membutuhkan banyak anggaran dan mahal. Terlebih, kalau datanya tidak jelas, mengumpulkannya asal-asalan atau apa adanya, maka itu akan jauh menghabiskan anggaran dan lebih Mahal lagi,” tandasnya. (Adv)
WONOGIRI – Persoalan menjamurnya branjang apung di perairan Waduk Gajah Mungkur (WGM) dibahas dalam rapat dengar pendapat antar OPD di DPRD Kabupaten Wonogiri. Dalam forum tersebut, disepakati akan dilakukan operasi untuk penindakan jaring yang mengambang tersebut. “Ada pelanggaran dalam penggunaan alat tangkap, khususnya keranjang apung. Masalah ini harus disikapi bersama. Hal itu untuk menjaga kelestarian ikan di WGM. Dengan cara ini, dalam jangka panjang, nelayan kita masih bisa menangkap ikan,” kata Kepala Dislapernak Wonogiri, Sutardi, Selasa (20/9//2022). Dia menjelaskan, langkah-langkah pasti akan diambil untuk mengatasi persoalan branjang apung ini. Langkah tegas yang ditempuh adalah melakukan operasi penindakan branjang apung dengan pihak terkait. Pihaknya juga akan berkonsultasi dengan Bupati Wonogiri Joko Sutopo terkait hal tersebut. Ia menjelaskan, pendekatan lain, seperti sosialisasi peraturan alat tangkap, sudah ada sejak lama. Namun, branjang apung masih ada di perairan WGM. “Branjang apung ini menyalahi aturan. Kami akan mengambil tindakan,” katanya. Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 71 mengatur bahwa penangkapan ikan berbasis budidaya dilakukan dengan memperhatikan umur pakan ikan dan kearifan lokal. Pasal tersebut juga mengatur bahwa penangkapan ikan harus memenuhi kriteria seperti tidak merusak lingkungan, tidak mencemari dan tidak mengganggu siklus reproduksi ikan. Kemudian, dalam Pasal 72 diatur bahwa penangkapan ikan berbasis pertanian dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Sedangkan penangkapan ikan dengan branjang apung akan merusak ekosistem. Sebab, ikan-ikan yang berukuran masih kecil juga ikut tertangkap di jaring branjang yang berukuran kecil. Selain itu, kata Sutardi, pihaknya juga sering melakukan penindakan keberadaan branjang apung di WGM. Timnya juga membuktikan bahwa benar-benar ada branjang apung di WGM. “Setiap kali kami beroperasi, meskipun tidak menemukan orang, alat tangkapnya ada di sana,” jelasnya. Ia mengungkapkan, sebelumnya pihaknya pernah menangkap orang yang memasang branjang. Ia menyerahkannya ke polisi karena masuk ke ranah hukum. Selama ini, pelepasan atau penebaran benih di WGM juga perlu dilakukan. Sutardi menjelaskan, pihaknya saat ini tidak menebar benih karena refocusing. Meski begitu, ada juga pendistribusian benih yang dilakukan oleh pihak lain seperti nelayan, Perum Jasa Tirta, dan lain-lain. “Menurut catatan Dislapernak Wonogiri, ada 1.412 nelayan yang menangkap ikan di WGM. Ribuan orang tergabung dalam puluhan kelompok nelayan,” tambahnya. Ketua DPRD Wonogiri, Sriyono mengatakan, pihaknya juga telah menerima laporan dan pengaduan masyarakat tentang keberadaan branjang apung di WGM. Keberadaan branjang apung dinilai berpotensi merusak ekosistem WGM dan melanggar aturan yang berlaku. “Kami mengadakan audiensi ini untuk mencari solusi atas masalah branjang apung di WGM. Kami menindak lanjuti pengaduan dari masyarakat,” katanya.