Jowonews

Diselidiki, Kasus Korupsi JPS di Banyumas

PURWOKERTO, Jowonews- Kejaksaan Negeri Purwokerto menyelidiki kasus dugaan korupsi program Jaring Pengamanan Sosial (JPS) dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Republik Indonesia di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. “Hari ini (9/3), kami melakukan pengamanan atau penggeledahan untuk menemukan sebagian barang bukti. Dan dari rumah salah satu (saksi) yang kami periksa hari ini, berhasil kami sita uang sebesar Rp470 juta,” kata Kepala Kejari Purwokerto Sunarwan saat konferensi pers di Kantor Kejari Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa (9/3) malam. Selain itu, kata dia, pihaknya juga mengamankan 38 stempel kelompok dari total 48 kelompok, satu unit komputer, beberapa dokumen perjanjian kerja sama antara 48 kelompok dan Direktorat Pengembangan dan Perluasan Kerja pada Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Bina Penta dan PKK) Kemnaker RI. Menurut dia, total bantuan dari Ditjen Bina Penta dan PKK Kemnaker RI untuk 48 kelompok itu mencapai Rp1,920 miliar yang ditransfer ke rekening Bank Rakyat Indonesia (BRI) milik kelompok, masing-masing mendapatkan Rp40 juta. “Saat masing-masing perwakilan kelompok menarik uang tersebut, seseorang telah menunggu di luar kantor BRI. Dan ketika kelompok itu keluar dari bank, orang tersebut meminta seluruh uang itu, sehingga total ada Rp1,920 miliar,” katanya. Menurut dia, pencairan dana program JPS dari Kemnaker tersebut pada tanggal 1 Desember 2020. Ia mengatakan bantuan program JPS dari Kemnaker tersebut sebenarnya ditujukan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat akibat Covid-19, baik yang menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun menganggur. Dalam hal ini, kata dia, Ditjen Binapenta dan PKK Kemnaker memberikan bantuan kepada kelompok masyarakat di desa dan masing-masing kelompok beranggotakan 20 orang. “Tujuannya adalah memberdayakan kelompok tersebut. Biar kelompok di desa bisa berusaha, bisa mendirikan usaha yang mandiri. Tetapi ternyata dalam praktiknya, uang untuk 48 kelompok ini diambil oleh satu orang dan mungkin akan berkembang nantinya. Sisa uang itu yang bisa kami ketemukan di sini,” katanya sebagaimana dilansir Antara. Lebih lanjut, Sunarwan mengatakan dalam penyelidikan kasus dugaan korupsi program JPS Kemnaker tersebut, pihaknya belum menetapkan tersangka. Dalam hal ini, kata dia, pihaknya baru memeriksa sejumlah saksi, salah satunya berinisial AM (26), pekerja swasta, warga Desa Sokawera, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. “AM baru hari ini (9/3) kami periksa. Tadi kami periksa sebagai saksi, kemudian dari hasil keterangan yang bersangkutan, kami segera amankan semua yang kami sita hari ini,” katanya. Ia mengatakan 48 kelompok itu merupakan usaha mandiri baru yang dibentuk oleh AM. “Nama kelompok ini, kalau dapat saya katakan hanya digunakan untuk nama saja,” katanya. Menurut dia, pihaknya masih mendalami penggunaan uang yang sebenarnya merupakan hak kelompok tersebut. “Hari ini (9/3), kemi memeriksa saksi sebanyak tujuh orang. Dari tujuh orang itu, lima di antaranya adalah kelompok yang seharusnya menerima uang ini, sedangkan yang dua orang adalah AM dan MT (37) yang juga warga Desa Sokawera,” katanya. Lebih lanjut, Sunarwan mengatakan masing-masing kelompok sebenarnya sudah berupaya melakukan apa yang sudah mereka tandatangani dalam perjanjian yang dilakukan dengan Kemnaker. Selain itu, kata dia, kelompok-kelompok masyarakat tersebut sebenarnya menolak ketika seluruh uang program JPS tersebut diminta, namun akhirnya mereka tak kuasa menolaknya. “Sejak minggu kemarin, total kelompok yang sudah kami periksa ada 14 kelompok. Sore tadi hingga malam ini, kami lakukan penggeledahan di rumah AM untuk mengumpulkan barang buktinya dulu,” katanya. Menurut dia, pihaknya tidak menggeledah rumah MT, namun dari dalam tasnya ditemukan barang-barang yang diindiksikan terkait dengan kasus tersebut. Ia mengatakan penyelidikan dan pengumpulan informasi kasus dugaan korupsi program JPS Kemnaker tersebut sudah dilakukan Kejari Purwokerto dalam tiga pekan terakhir berdasarkan laporan masyarakat terutama dari kelompok. Oleh karena masih berstatus saksi, pihaknya belum melakukan penahanan terhadap AM dan MT. Menurut dia, pihaknya masih mendalami kasus tersebut termasuk kemungkinan adanya orang lain yang terlibat di dalamnya. “Setelah alat bukti cukup, kami akan ekspos untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus ini. Nantinya akan dijerat Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” katanya.

KPK Yakin Buronan Harun Masiku Masih di Indonesia

JAKARTA, Jowoews- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meyakini tersangka mantan caleg PDIP Harun Masiku (HAR) yang sudah berstatus daftar pencarian orang (DPO) sejak Januari 2020 masih berada di Indonesia. “Kami meyakini yang bersangkutan masih di dalam negeri, kalau sistemnya berjalan dengan baik. Pintu-pintu keluar yang resmi itu kan sudah ditutup,” ucap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/3). Harun merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait penetapan Anggota DPR RI terpilih Tahun 2019-2024. “Kecuali dia kemudian keluarnya lewat pintu-pintu yang tidak terdeteksi seperti perahu kan. Kalau lewat pintu resmi yang dijaga imigrasi tidak akan lolos,” kata Alex sebagaimana dilansir Antara. Selain itu, ia mengatakan KPK juga telah membentuk satuan tugas (satgas) khusus yang bertugas memburu Harun bersama enam tersangka lainnya yang telah masuk dalam DPO. “Kita sudah membentuk satgas khusus untuk pencarian DPO. Kami sudah bentuk dua satgas karena bukan hanya Harun Masiku yang kami cari tetapi ada yang lainnya. Kita tetap berusaha cari yang bersangkutan,” ujar dia. Selain itu, kata dia, KPK juga telah berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk memburu para DPO tersebut. “Bahkan sudah libatkan pihak Kepolisian. Kalau ada masyarakat yang tahu kami sudah buka kontak pelaporan di KPK. Silakan saja yang mengetahui, silakan melapor,” kata Alex. Dari 2017 sampai 2020, ada 10 tersangka yang berstatus DPO KPK dan khusus di tahun 2020 telah dilakukan penangkapan tiga tersangka yang berstatus DPO, yaitu mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Rezky Herbiyono selaku menantu Nurhadi, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Dengan demikian, KPK saat ini masih memiliki kewajiban untuk memburu tujuh tersangka berstatus DPO lainnya di mana lima tersangka adalah DPO dari 2017 sampai 2019 dan dua DPO pada 2020, yakni Harun Masiku dan Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan.

Pengadilan Tipikor Menghukum Lebih Berat Dirut PDAM Kudus

SEMARANG, Jowonews- Pengadilan Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari tuntutan jaksa terhadap Direktur Utama PDAM Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Ayatullah Humaini, dalam kasus dugaan pungutan dalam proses rekrutmen pegawai di badan usaha milik daerah tersebut. Hakim Ketua Arkanu dalam sidang di Pengadilan Tipikor Semarang, Selasa, menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara terhadap Ayatullah, lebih berat dari tuntutan jaksa selama empat tahun penjara. Selain hukuman badan, hakim juga menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp50 juta yang jika tidak dibayarkan maka akan diganti dengan kurungan dua bulan. “Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagaimana dakwaan kedua,” katanya sebagaimana dilansir Antara. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan terdakwa terbukti menerima Rp720 juta melalui dan bekerja sama dengan Sukma Oni, terdakwa dalam perkara itu yang disidangkan secara terpisah. Uang yang dipungut dari 15 pegawai PDAM yang akan diangkat itu, lanjut dia, merupakan pembayaran utang terdakwa kepada Sukma Oni. Selain itu, menurut dia, proses pengangkatan 15 calon pegawai PDAM tersebut hanya didasarkan atas kewenangan terdakwa sebagai direktur utama, bukan oleh hasil penilaian tim seleksi yang sudah dibentuk. Pertimbangan lain hakim dalam menjatuhkan putusan, terdakwa sebagai direksi BUMN tidak menjalankan tugasnya secara beritikad baik dan bertanggung jawab. “Terdakwa tidak mengakui kesalahannya,” ujarnya. Atas putusan tersebut, hakim memberi kesempatan kepada jaksa maupun terdakwa untuk melakukan upaya hukum lanjutan.

Muhammadiyah: Soal Penembakan FPI Jangan Tutupi Kasus Korupsi

JAKARTA, Jowonews- Pengurus Pusat (PP) Muhamadiyah mengingatkan masyarakat luas agar insiden tewasnya enam anggota Front Pembela Islam (FPI) tidak menutupi kasus-kasus korupsi yang sedang marak akhir-akhir ini. “Jangan sampai perkara ini menutup kesadaran kita bersama. Sebab, ada potensi terjadinya kejahatan dalam bentuk lain yaitu korupsi,” kata Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas saat jumpa pers secara virtual yang dipantau di Jakarta, Selasa (8/12). Busyro yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggantikan Antasari Azhar tersebut mengatakan saat ini kejahatan korupsi makin terstruktur, sistematis, dan masif. “Saat ini tidak hanya pandemi Covid-19 tetapi juga pandemi korupsi,” katanya. Empat menteri yang diproses hukum oleh KPK selama periode Presiden Jokowi menunjukkan korupsi makin tersistem. Artinya, terdapat problem besar yang mesti diselesaikan bersama. “Praktik korupsi adalah musuh bersama,” ujar dia sebagaimana dilanair Antara. Menurut sarjana hukum lulusan Universitas Islam Indonesia tersebut, persoalan atau penanganan korupsi tidak hanya pekerjaan polisi atau KPK saja. Namun, jauh dari itu melibatkan semua aspek masyarakat tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, ia mengingatkan jangan sampai kejadian tewasnya enam anggota FPI bisa melupakan atau membuat masyarakat lengah sehingga terjadi kejahatan korupsi. Ia mengatakan semakin hari, upaya mewanti-wanti atau mewaspadai praktik korupsi membutuhkan pencermatan lebih oleh semua elemen masyarakat. “Ini sebagai bentuk tanggung jawab demokrasi,” katanya. Terakhir, ia berharap pihak-pihak terkait mengusut tuntas dan secara terbuka menangani kasus kematian enam anggota FPI di Tol Jakarta-Cikampek KM 50.

Diduga Korupsi, Rektor UIN Jadi Tersangka

MEDAN, Jowonews- Dunia pendidikan kembali tercoreng. Seorang rektor perguruan tinggi negeri menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumut berinisial S serta dua orang lainnya berinisial SS dan JS menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan gedung kuliah terpadu pada tahun akademik 2018.  “Tersangka belum ditahan tetapi sudah ditetapkan sebagai tersangka,” kata Kasubbid Penmas Polda Sumut AKBP M.P. Nainggolan, Rabu (2/9).  Ia mengatakan bahwa penahanan terhadap para tersangka itu merupakan kewenangan penyidik. Namun, penyidikan kasus tersebut akan dilakukan sampai ke penuntut umum.  “Tentu tindak lanjut sudah ditetapkan tersangka, kami ambil BAP. Soal tahan atau tidak ditahan itu tergantung pada penyidiknya. Yang pasti penyidikan kasus ini akan dilanjutkan sampai ke penuntut umum,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara. Sementara itu, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sumut berinisial S yang dikonfirmasi belum memberikan keterangan apa pun terkait dengan kasus tersebut.  Sebelumnya, Reskrimsus Polda Sumut menetapkan S, pejabat pembuat komitmen UIN berinisial SS, dan Direktur PT Multi Karya Bisnis Perkasa berinisial JS sebagai tersangka dugaan korupsi pembangunan gedung kuliah terpadu pada tahun akademik 2018.  Penetapan ketiganya berdasarkan hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara BPKP Perwakilan Sumatera Utara Nomor Nomor: R-64/PW02/5.1/2020 tanggal 14 Agustus 2020 senilai lebih dari Rp10 miliar

Terkait Surat Jalan Palsu, Brigjen Pol Prasetijo Utomo Ditahan

JAKARTA, Jowonews- Brigjen Pol Prasetijo Utomo akhirnya ditahan Bareskrim Polri terkait kasus penerbitan surat jalan palsu tersangka korupsi Djoko Soegiarto Tjandra. Penahanan ini dilakukan selang empat hari setelah penyidik menetapkan Prasetijo sebagai tersangka. “Iya (ditahan) per Jumat, 31 Juli 2020,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divhumas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono di Jakarta, Jumat. Eks Karo Korwas PPNS Polri itu dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, Pasal 426 ayat (1) KUHP dan/atau Pasal 221 ayat (1) ke-2 KUHP. Prasetijo terancam hukuman enam tahun penjara karena dianggap bertanggung jawab dalam penerbitan surat untuk Djoko Tjandra. Akibat perbuatannya, ia pun telah dimutasikan sebagai Perwira Tinggi Pelayanan Markas Mabes Polri, lansir Antara. Kuasa Hukum Jadi Tersangka Selain Prasetijo, Bareskrim Polri juga telah menetapkan Anita Dewi Anggraeni Kolopaking sebagai tersangka kasus surat jalan palsu. Anita merupakan salah satu kuasa hukum Djoko Tjandra. Anita Kolopaking disangkakan dengan Pasal 263 ayat (2) KUHP dan Pasal 223 KUHP dengan ancaman hukuman 6 tahun kurungan. Tim Khusus Bareskrim juga mengajukan surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anita ke Kepala Kantor Imigrasi Kelas 1 Khusus Bandara Soekarno-Hatta pada 22 Juli 2020. Kemudian pada Kamis (30/7), Tim Khusus Bareskrim menangkap Djoko Tjandra di Kuala Lumpur, Malaysia. Kabareskrim Polri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa keberhasilan upaya Polri dalam menangkap Djoko Tjandra merupakan bukti keseriusan Polri dalam menangani kasus itu. “Ini tentunya menjawab keraguan publik selama ini apa Polri bisa menangkap yang bersangkutan,” kata Komjen Sigit. Polri bekerja sama dengan Polisi Diraja Malaysia untuk menangkap Djoko.