Jowonews

Sekolah Daring Berpotensi Tingkatkan Kekerasan pada Anak

JAKARTA, Jowonews– Penerapan sistem pembelajaran jarak jauh atau sekolah daring berpotensi meningkatkan kekerasan fisik dan verbal pada anak-anak. Orang tua bebannya bertambah. Karena selain harus menyelesaikan pekerjaan sehari-hari juga harus mendampingi anak-anak belajar atau sekolah daring. Kondisi demikian bisa memicu terjadinya kekerasan fisik atau verbal pada anak. Hal tersebut disampaikan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan Fidiansjah dalam keterangan persnya melalui telekonfrensi di Jakarta, Rabu (5/8) “Yang tidak kita inginkan suasana pandemi di keluarga menimbulkan kekerasan. Karena dinamika perubahan yang dialami oleh anak dan orang tua tidak siap dengan perubahan ini,” kata Fidiansjah, sebagaimana dilansir Antara. Tekanan Psikososial Fidiansjah menekankan pentingnya orang tua, masyarakat, dan pemerintah memerhatikan kesehatan jiwa anak semasa pandemi. Temuan kementerian Kesehatan menunjukan, anak-anak dan pelajar mengalami tekanan psikososial yang meningkat di masa sulit ini. Mereka mengalami kebosanan dan peningkatan kekhawatiran selama pandemi. Kondisi ini memaksa anak-anak dan orang tua mereka lebih banyak beraktivitas di rumah. Menurut data Kementerian Kesehatan, selama pandemi 47 persen anak merasa bosan tinggal di rumah. 35 persen khawatir ketinggalan pelajaran. 15 persen merasa tidak aman. Sementara itu, sebanyak 34 persen merasa takut terserang Covid-19. 20 persen merindukan teman-temannya. Dan 10 persen dari mereka khawatir penghasilan orang tua mereka berkurang. Fidiansjah menjelaskan, anak-anak usia dini bisa terpengaruh kondisi orang tua yang stres. Karena orang tuanya pun menghadapi berbagai masalah. Seperti peningkatan kebutuhan ekonomi dan peningkatan beban.  Sementara itu, anak-anak yang masih harus mengikuti pembelajaran dari jarak jauh juga menghadapi kendala tambahan. lain. Yakni saat orang tua yang biasa mendampingi mereka belajar di rumah kembali bekerja. Sementara para pelajar yang sudah kembali belajar di sekolah menghadapi kekhawatiran tertular Covid-19. Kementerian Kesehatan sendiri menyediakan layanan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial bagi anak dan remaja. Warga bisa mengakses layanan konsultasi kesehatan jiwa gratis melalui telepon dengan menghubungi Call Center di nomor 119 ext 8.

Kasus Kekerasan Orang Tua ke Anak Membuat Kapolres Kudus Prihatin

KUDUS, Jowonews.com – Kapolres Kudus AKBP Catur Gatot Efendi mengaku prihatin dengan aksi kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya hingga mengakibatkan luka karena dapat mengganggu pertumbuhan psikologis dan karakter anak. “Kami memahami bahwa orang tuanya sibuk bekerja. Akan tetapi, mereka harus memiliki pakem dalam mendidik anak karena harus dibesarkan dengan semestinya agar memiliki masa depan yang lebih baik,” ujarnya di sela-sela mengunjungi SW, korban kekerasan ayah tirinya di indekos di Desa Jati Wetan, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, Jumat (28/2). Korban yang saat ini masih duduk di bangku kelas III Sekolah Dasar tidak hanya mendapatkan motivasi melainkan juga mendapatkan bantuan peralatan sekolah dan sejumlah kebutuhan pokok. Ia berharap, kedatangannya bisa menambah semangat SW meneruskan belajarnya, meskipun sebelumnya mengalami kekerasan dari orang tuanya. Pelaku kekerasan, katanya, sudah diamankan dan saat ini masih dalam proses hukum. “Mudah-mudahan, bisa menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan memberikan efek jera,” ujarnya. Terkait dengan alasan pelaku melakukan kekerasan, katanya, karena anaknya dianggap nakal, namun perilaku seorang yang masih anak-anak tentunya masih wajar dan butuh pengawasan. Hanya saja, lanjut dia, karena alasan jengkel sampai tega melakukan pemukulan hingga menyulut rokok serta perilaku lain sebagai hal yang kurang manusiawi. Ia berharap, orang tua tidak melakukan kekerasan terhadap anaknya, melainkan harus melindungi mereka dengan baik. Polres Kudus menahan NVS (40), warga Desa Ngetuk, Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara atas dugaan penganiayaan terhadap anak tirinya, SW, yang berusia sembilan tahun pada Rabu (26/2) malam. Atas tindakan kekerasan terhadap anak tersebut, pelaku dijerat dengan Pasal 80 UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Nomor 23/2003 pasal 44 dengan ancaman 10 tahun penjara. Oleh karena pelaku orang tuanya, sesuai pasal 80 ayat (4) UU Nomor 35/2014, hukuman pelaku ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat sebelumnya. (jwn5/ant)