Jenang Sabun Khas Kebumen, Kuliner Tradisional yang Semakin Susah Didapatkan
KEBUMEN – Dalam gemerlap kuliner Nusantara, ada satu nama yang mungkin mengundang tanda tanya: Jenang Sabun Kebumen. Dibalut dengan nama yang unik, tidak heran jika kebanyakan dari kita penasaran dengan kisah di balik sebutannya yang menarik. Namun, sayangnya, keberadaan lezatnya semakin sulit ditemui di pasaran. Meski dijuluki dengan embel-embel “sabun”, namun jenang ini tidaklah mengandung sabun dalam komposisinya. Begitu jenang itu jadi, aroma sabun juga tidak akan tercium sedikit pun. Namun, ada tebakan bahwa mungkin saja pemberian embel-embel “sabun” pada jenang ini disebabkan oleh bentuknya yang menyerupai sabun. “Saya sendiri penasaran dengan asal-usul nama ini. Sejak kecil, selalu dipanggil jenang sabun, tapi tak pernah ada yang tahu kenapa begitu,” ujar seorang penjual jenang sabun di Kebumen, Welas Asih, seperti dilansir oleh Jawapos pada hari Minggu. Jenang sabun ini terbuat dari campuran tepung beras dengan tambahan nira kelapa. Gabungan kedua bahan ini menghasilkan jenang yang kenyal, manis, dan tentu saja, lezat. Welas, sang penjual, mengakui bahwa dia membuat jenang sabun yang dijualnya sendiri. Alasannya, suaminya bekerja sebagai penderes nira kelapa, sehingga bahan baku tidak sulit didapat. “Proses pembuatannya pun tanpa bahan kimia sama sekali. Semuanya masih menggunakan alat tradisional, butuh kesabaran yang tinggi,” tambahnya. Memang benar, proses pembuatan jenang sabun memakan waktu yang tidak sebentar. Setelah adonan jenang selesai dibuat, kemudian dibentuk tipis seperti kulit lumpia dan dibiarkan mengering di atas daun pisang selama dua hari di bawah sinar matahari. Setelah kering, adonan digulung dan dikeringkan lagi sebelum siap dijual. Setiap harinya, Welas mampu membuat sekitar tiga kilogram bahan baku jenang, atau sekitar 200 biji. Jenang ini dijual dalam wadah kotak dengan isi 17 biji, dengan harga Rp10 ribu per kotak. Penjualannya juga sudah merambah dunia online dan cukup diminati. Perempuan berusia 54 tahun ini meneruskan usaha jenang sabun dari ibunya yang telah tiada sejak tahun 2002. Namun, dia menyebut bahwa jumlah pembuat jenang sabun sepertinya semakin berkurang. “Dulu banyak yang membuat, tapi sekarang sepertinya hanya saya yang masih bertahan. Wajar, proses pembuatannya memang rumit. Namun, ini adalah bagian dari kekayaan kuliner Kebumen, terutama di kawasan pesisir selatan,” ucapnya. Semoga jenang sabun terus bertahan dan semakin dikenal luas di pasar kuliner. Dengan demikian, semakin banyak orang yang tertarik untuk membuatnya, dan akhirnya, penganan ini tidak akan punah dari peredaran.