Jowonews

Spirit Revolusi Kemerdekaan untuk Normal Order

Oleh: DR Ahwan Fanani, Pemerhati Politik, Sosial dan Budaya, Dosen Fisip UIN Walisongo Hari kemerdekaan 17 Agustus selalu menjadi momentum ingatan. Dalam bahasa Inggris, hari kemerdekaan memiliki padanan istilah Independence Day dan Liberation Day. Istilah Independence Day (hari berdiri sendiri) dipergunakan oleh Amerika Serikat untuk mengacu kepada lepasnya wilayah Amerika Serikat sebagai koloni Inggris Raya. Upaya untuk  independen itu berlangsung melalui serangkaian pertempuran yang dimenangkan oleh para pejuang kemerdekaan Amerika Serikat. Liberation Day (Hari Pembebasan) dipergunakan oleh negara Belanda. Liberation Day mengacu kepada pembebasan negeri Belanda dari penguasaan Jerman berkat bantuan negara-negara sekutu. Karena itu, perayaan Hari Pembebasan di negeri Belanda diwarnai dengan arak-arakan bendera Belanda bersama dengan bendera negara-negara sekutu. Kemerdekaan negara Republik Indonesia adalah hasil dari kebangkitan kesadaran nasional yang berkembang awal abad ke-20. Kesadaran kebangkitan itu melahirkan keinginan untuk melepaskan wilayah Hindia Belanda dari kekuasaan kolonial Negara Belanda. Upaya itu, diiringi dengan  usaha untuk bebas dari kekuasaan dan penguasaan negeri Belanda. Jadi, sulit untuk memisahkan kemerdekaan Republik Indonesia dari proses untuk independen (tidak subordinat di bawah negeri lain) dan proses untuk bebas dari kekuasaannya. Kemerdekaan adalah akumulasi dari rangkaian panjang. Revolusi, menurut Bung Karno, terbagi atas dua tahap. Tahap pertama adalah revolusi untuk merebut kemerdekaan. Sedangkam tahap kedua adalah revolusi untuk membangun negara. Revolusi tahap pertama telah usai, namun revolusi tahap kedua terus berlangsung untuk mewujudkan cita-cita proklamasi. Proses revolusi kemerdekaan berbeda dengan revolusi sains sebagaimana diterangkan oleh Thomas Kuhn, meskipun esensinya sama. Revolusi adalah perubahan dari kondisi normal sebelumnya menuju kondisi normal baru melalui situasi anomali atau hilangnya relevansi tatanan normal lama. Dalam revolusi fisik, terjadi proses untuk mengubah normal order (tatanan normal) lama, yaitu kekuasaan Belanda dan Jepang atas Nusantara, menuju normal order baru, yaitu bangsa Indonesia yang merdeka, mandiri, dan sejahtera. Anomali adalah turbulensi atau goncangan akibat proses revolusi itu. Huub de Jonge menggambarkan kondisi Indonesia pasca kemerdekaan sebagai orde zonder order (era tanpa ketertiban). Sebutan itu mewakili sebagian pandangan pasca-kemerdekaan bahwa era pra-kemerdekaan adalah “zaman normal” dengan ketertiban yang diciptakan oleh kekuasaan kolonial. Sebaliknya, awal era kemerdekaan ditandai dengan kegoncangan sosial. Bangsa-bangsa di Hindia Belanda yang dipandang oleh bangsa Belanda sebagai bangsa yang bodoh, jorok, malas, dan tidak cakap mengurus diri sendiri bangkit untuk mengambil alih pengelolaan tatanan negara. Dalam proses tersebut, terjadi peperangan dengan pendukung tatanan lama dan konflik di antara pendukung tatanan baru. Pergolakan untuk menata negara terjadi untuk mencapai konsensus di antara berbagai kekuatan revolusi yang berbeda orientasi. Anak-anak revolusi tidak jarang menjadi korban revolusi itu sendiri. Terlepas dari turbulensi itu, negara Republik Indonesia yang diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 masih berdiri. Goncangan-goncangan besar yang datang silih berganti tidak membuyarkan negara ini, meski lepasnya Timor Leste menjadi peringatan betapa rentan kesatuan yang telah dicapai. Normal Order Bangsa Indonesia selalu berusaha mencari Normal Order yang mampu mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Ada Normal Order masa Demokrasi Liberal 1945 – 1959, dengan eksperimen negara serikat dan negara kesatuan dengan sistem pemerintahan Parlementer. Ada Normal Order masa demokrasi terpimpin (Orde Lama) tahun 1959 – 1966, dengan eksperimen negara integralistik berbasis patron-klien antara presiden dan kekuatan sosial-politik. Ada Normal Order masa Demokrasi Pancasila (Orde Baru) tahun 1966 – 1998, dengan kebijakan massa mengambang dan kebijakan partai penguasa sebagai single majority.   Ada Normal Order era reformasi tahun 1998 – sekarang, dengan perubahan tata negara yang memberi peluang partisipasi luas masyarakat dalam proses politik. Semua itu adalah proses revolusi tatanan untuk membangun Indonesia. Peringatan Hari Kemerdekaan adalah momentum untuk mengulang kembali memori kolektif masa revolusi. Peringatan itu menyediakan kesempatan untuk menggali arkeologi kemerdekaan sehingga proses revolusi pembangunan selaras spirit proklamasi dan cita-cita kemerdekaan, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Tantangan yang dihadapi dalam revolusi pembangunan adalah sama, yaitu menghadapi tantangan global dan mengatasi masalah internal. Tantangan global saat ini adalah perebutan akses dan sumber daya ekonomi oleh  negara-negara besar. Kondisi itu menuntut kemandiran dan kemampuan “Berdiri di Kaki Sendiri (Berdikari) negara Indonesia agar tidak terjebak semata sebagai pelayan bagi bangsa-bangsa lain. Masalah internal yang mencuat adalah hubungan antar komponen bangsa dan tata kelola negara. Penyelesaian masalah internal menuntut stabilitas hubungan di antara elemen sosial yang pluralistik. John Rawls menyatakan bahwa stabilitas itu bisa dicapai melalui dua cara. Yaitu overlapping consensus (proses mencari area kesepakatan di antara berbagai pandangan yang berbeda) dan public use of reason (penggunaan bahasa yang bisa diakses umum untuk merepresentasikan  pandangan-pandangan yang khas). Kedua cara itu bertujuan untuk mengharmonikan comprehensive doctrine atau pandangan dunia yang dianut masing-masing kelompok sosial agar terwakili tanpa kontradiksi, dan sekaligus tidak dipaksakan kepada semua orang. Peringatan 17 Agustus kali ini diwarnai dengan keprihatinan akan kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Situasi pandemi menjadikan keprihatinan itu semakin mendalam sehingga peringatan 17 Agustus 2020 kali ini tidak semegah tahun-tahun sebelumnya. Namun makna dan urgensinya selalu sama. Ata mungkin lebih signifikan di tengah tantangan negara saat ini. Pertanyaannya, apakah kita sudah menjadi negara yang independen dan bebas dari penjajahan? Hal ini perlu untuk selalu direnungkan kembali.