Jowonews

Jelang Hari Buruh, KSPI Suarakan Penolakan terhadap Omnibus Law

JAKARTA, Jowonews.com – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), jelang peringatan Hari Buruh 1 Mei 2020, mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tidak memasukkan kluster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja . “Harapannya ke depan pemerintah, DPR dan lembaga terkait lain melakukan upaya pencegahan corona (COVID-19) secara lebih terpadu dan tidak perlu lagi membahas Omnibus Law, stop saja,” kata Presiden KSPI Said Iqbal ketika dihubungi dari Jakarta pada Kamis. Menurut dia, perlu dibuatnya draf baru kluster ketenagakerjaan yang pembuatannya melibatkan semua pemangku kepentingan seperti serikat pekerja, organisasi pengusaha dan pihak pemerintah. Selain itu, serikat buruh juga mengharapkan agar pemerintah untuk membuat strategi nyata untuk darurat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sudah melanda ratusan ribu orang akibat dampak dari pandemi COVID-19 yang terjadi di Indonesia. Dia mendesak agar pemerintah untuk mengambil langkah yang lebih nyata untuk mencegah semakin banyak orang yang menjadi korban PHK di tengah pademi. KSPI secara khusus mendesak agar pemerintah memeriksa perusahaan yang melakukan PHK besar-besaran. “Perusahaan yang melakukan PHK harus diaudit oleh akuntan publik. Untuk melihat apakah benar-benar rugi atau menjadikan alasan pandemi untuk memecat buruh,” kata dia. Dia juga menyoroti masih terdapat beberapa perusahaan yang membuka pabriknya meski beberapa pekerjanya diduga sudah terpapar COVID-19. Oleh karena itu KSPI mendesak agar perusahaan segera meliburkan para buruh dengan tetap membayar upah dan THR demi menjaga daya beli buruh dan masyarakat. Selain itu, meskipun memuji langkah pemerintah untuk meluncurkan Kartu Prakerja untuk membantu buruh dan pekerja yang dirumahkan atau terkena PHK, sistemnya masih harus diperbaiki. Dia juga menekankan di saat banyak pekerja dan buruh yang kehilangan pekerjaan, pelatihan mungkin belum dibutuhkan saat ini dan pemerintah bisa lebih memprioritaskan kepada pemberian bantuan tunai dan sembako terutama untuk yang terkena PHK. “Saat ini yang dibutuhkan uang tunai atau sembako bukan pelatihan. Nanti kalau sudah normal, bisa dilakukan pelatihan,” kata dia. (jwn5/ant)

DPD Tegas Menolak dan Desak DPR Hentikan Pembahasan RUU Ciptaker

JAKARTA, Jowonews.com – Komite III DPD RI menolak dan meminta DPR agar menghentikan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja karena dinilai tidak sesuai dengan beberapa hal serta tanpa mempertimbangkan hak pekerja. “RUU Cipta Kerja bertentangan dengan asas otonomi daerah pasal 18 ayat 2 dan ayat 5 UUD 1945,” kata Wakil Ketua II Komite III DPD RI M Rahman melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu. Ia mengatakan pada asas otonomi tersebut mengakui keberadaan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten dan kota yang menganut asas otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan. RUU Cipta Kerja dinilai DPD melanggar hak asasi warga negara di antaranya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, jaminan kesehatan, dan pendidikan yang dijamin serta dilindungi oleh konstitusi serta melepaskan kewajiban negara untuk menyediakan hak-hak itu kepada swasta atau asing. Kemudian, RUU Cipta Kerja, kata Rahman akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Apabila terjadi pelanggaran, tidak jelas norma hukum mana yang diterapkan mengingat aturan tentang pelanggaran atau sanksi dalam undang-undang yang menjadi muatan RUU itu beberapa diantaranya tidak direvisi atau dicabut. Selain itu, berdasarkan hasil telaah DPD RI terdapat beberapa masalah di antaranya RUU Cipta Kerja menghapus semua kewenangan pemerintah daerah dalam hal pendaftaran serta perizinan usaha dan mengalihkannya menjadi kewenangan pemerintah pusat. “RUU ini hanya memberikan kewenangan pemerintah daerah melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan otonomi daerah selain pendaftaran dan perizinan berusaha,” katanya. Selanjutnya pasal 89 RUU Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Secara substansi, isi RUU tersebut bertentangan dengan pasal 27 ayat 2 dan pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 karena menghilangkan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. “Hal yang terdampak yaitu terkait upah, upah minimum, waktu kerja, pesangon, penggunaan tenaga alih daya, dan penempatan tenaga kerja asing,” katanya. Berdasarkan hal-hal tersebut, Komite III DPD RI menolak RUU Cipta Kerja dan meminta DPR RI untuk menghentikan pembahasan karena dinilai hanya dominan dalam peningkatan investasi tanpa mempertimbangkan hak-hak pekerja, asas desentralisasi, dan aspek lainnya. Tidak hanya itu, RUU Cipta kerja dinilai DPD cacat formil karena tidak melibatkan unsur partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya sebagaimana amanat Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, junto Undang-Undang nomor 15 tahun 2019. (jwn5/ant)

Ratusan Mahasiswa dan Buruh Demo Tolak RUU Omnibus Law di Temanggung

TEMANGGUNG, Jowonews.com – Ratusan mahasiswa dan buruh di Kabupaten Temanggung yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tolak Omnibus Law menggelar unjuk rasa menolak omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, di depan Gedung DPRD Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Senin. Sebelum melakukan orasi di depan DPRD Kabupaten Temanggung, mereka berjalan kaki dari Tugu Pancasila (Tugu Jam) yang berjarak sekitar 1 kilometer dari gedung DPRD. Selain berorasi, mereka menggelar sejumlah poster dan spanduk yang intinya menolak RUU Omnibus Law. Pada pendemo tersebut juga menggelar teatrikal yang menggambarkan ketidakberdayaan buruh melawan pengusaha dan penanam modal. Koordinator Aksi, Yudha mengatakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja bukanlah cipta kerja tetapi cipta sengsara, sebab merugikan tenaga kerja, buruh semakin terpuruk dan terancam masa depannya. “Kami berjuang untuk menolak RUU Omnibus Law, sebab akan merugikan keberlangsungan untuk peningkatan kesejahteraan buruh,” katanya. Ia mengemukakan ada sejumlah poin yang merugikan buruh, antara lain tanpa kepastian nilai pesangon buruh yang terkena PHK, hilangnya upah minimum kabupaten/kota, penggunaan tenaga kontrak yang masif, karyawan kontrak pada berbagai lini, hapusnya jaminan sosial, dan membanjirnya tenaga kerja asing. Selain itu, katanya tidak ada aturan yang jelas dalam pengaturan jam kerja, dihapusnya sanksi pada pengusaha yang tidak membayar upah buruh, dan kemudahan pengusaha melakukan PHK pada buruh. Dalam unjuk rasa tersebut mereka mendesak DPRD Kabupaten Temanggung untuk menyampaikan surat tuntutan ke DPR RI bahwa rakyat Temanggung menolak RUU Cipta Kerja. Mereka juga meminta negara melindungi dan memberikan apa yang menjadi hak-hak para pekerja, terutama buruh perempuan yang rentan terhadap pelecehan dan kekerasan. Ketua DPRD Kabupaten Temanggung Yunianto yang menemui demonstran mengatakan akan menyampaikan aspirasi dari mahasiswa dan buruh ke pemerintah pusat. “Kami akan kirim permintaan mahasiswa dan buruh ke pusat sesuai jalur,” katanya pula. (jwn5/ant)

Kiara: Omnibus Law Ciptaker Rugikan dan Meresahkan Nelayan Indonesia

SEMARANG, Jowonews.com – Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebut Rancangan Undang-Undang Omnibus Law merugikan dan menimbulkan keresahan di kalangan nelayan Indonesia. “Pada konteks perikanan, Omnibus Law tidak melibatkan masyarakat, tidak menjelaskan tentang kesejahteraan, kedaulatan, bahkan kemakmuran masyarakat sehingga apakah masih dibutuhkan untuk pekerja perikanan?” kata Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati pada Seminar Nasional Perlindungan Pekerja Perikanan dan Tantangannya Dalam Omnibus Law di Gedung V Universitas Semarang, Selasa. Menurut dia, RUU Omnibus Law hanya untuk kepentingan investasi dalam skala besar dan menjadi karpet merah bagi kapal asing untuk mengambil sumber daya perikanan di perairan Indonesia. “Mereka dipaksa untuk mengurus perizinan tangkap dimana para nelayan Indonesia 90 persen merupakan nelayan tradisional dan kecil yang selalu menggunakan alat ramah lingkungan. Mereka menyamaratakan antara nelayan kecil, tradisional, besar, dan para investor,” ujarnya. Dirinya menyayangkan Indonesia belum melakukan ratifikasi Konvensi ILO-188 yang dapat digunakan sebagai payung hukum untuk melindungi para nelayan. “Sudah dari dua tahun yang lalu hanya masih rencana saja, padahal Thailand sudah melakukan notifikasi, kita tidak membutuhkan Omnibus Law, bukan untuk investor yang besar-besaran, kita butuh negara untuk hadir,” katanya. Direktur Plan International Indonesia Nono Sumarsono yang juga hadir sebagai pembicara mengatakan bahwa nelayan merupakan profesi atau pekerjaan menangkap ikan yang berbahaya, dengan tingkat terjadinya insiden cedera dan kematian akibat kecelakaan kerja, cukup tinggi. Para awak kapal, kata dia, juga rentan terhadap eksploitasi kerja bahkan perdagangan manusia secara terus menerus, bahkan informasi pekerjaan pun tidak jelas sejak proses perekrutan. Sementara itu, Kepala Program Studi Magister Hukum Universitas Semarang Muhammad Junaidi menilai Omnibus Law memiliki sisi kelebihan dan kekurangan. “Kelebihannya adalah cocok diterapkan di negara yang memiliki regulasi tumpang tindih, hyper-regulasi, dan disharmoni serta menciptakan instrumen yang menguntungkan investor. Kekurangannya adalah peraturannya tidak dapat jalan di Indonesia yang menggunakan sistem hukum ‘civil law system’ dimana Omnibus Law lebih cocok di negara yang ‘common law’,” ujarnya. (jwn5/ant)

Sertifikasi Halal di Omnibus Law, DPR Klaim Tak Akan Persulit Ekonomi Rakyat

JAKARTA, Jowonews.com – Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Diah Pitaloka menilai sertifikasi halal yang akan diatur dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja bertujuan untuk tidak mempersulit ekonomi rakyat khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Kita itu berkaca dari pengalaman dan masukan dari masyarakat, ormas, maupun dunia usaha. Mereka semua sampaikan bahwa proses pengurusan sertifikat halal itu lama dan menguras energi maupun biaya,” kata Diah Pitaloka dalam keterangannya di Jakarta, Jumat. Dia menilai pemerintah ingin memangkas energi dan biaya dalam pengurusan sertifikat halal sehingga secara prinsip DPR akan mendukung. Diah juga menilai masalah mendasar adalah peraturan yang tidak mempersulit ekonomi rakyat khususnya UMKM sehingga prinsipnya birokrasi jangan berbelit, ringkas, cepat, dan bisa diakses semua masyarakat yang membutuhkan. “Jangan dimonopoli (proses sertifikasinya). Itulah kenapa kemarin kita buat UU Jaminan Produk Halal,” ujarnya. Menurut dia, DPR RI membuka diri bagi semua pihak untuk memberi masukan soal sertifikasi halal seperti ormas maupun para ahli. Dia menginginkan agar masyarakat urus sertifikasi halal itu senang karena jadi nilai tambah ekonomi, bukan takut karena beban biaya atau takut dengan aturan yang ribet. (jwn5/ant)

Kemnaker RI Sebut Omnibus Law Mampu Serap Tiga Juta Tenaga Kerja per Tahun

JAKARTA, Jowonews.com – Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI memperkirakan omnibus law Cipta Kerja mampu menyerap tenaga kerja hingga tiga juta jiwa per tahun. “Kalau sekarang ini kan per tahun kira-kira bisa menciptakan 2,5 juta. Kita berharap dengan omnibus law ini bisa menaikkan 2,7 juta hingga tiga juta tenaga kerja,” kata Menteri Tenaga Kerja RI Ida Fauziyah di Jakarta, Kamis. Terkait dengan sejumlah pasal yang dianggap kontroversi dan kemungkinan hak-hak buruh yang berpotensi dicuri dengan kehadiran omnibus law, pemerintah masih melakukan kajian mendalam. Ida menjelaskan Kemnaker telah berusaha karena yang masuk ke omnibus law tersebut tidak hanya Undang-Undang 13 Tahun 2013 tetapi ada juga Undang-Undang BPJS dan lainnya karena sebagai bentuk perlindungan. “Kami memang ingin memperluas lapangan kerja buat yang menganggur dan angkatan kerja baru,” katanya. Ia mengatakan setiap tahun tercatat 2,5 juta angkatan kerja baru yang membutuhkan lapangan pekerjaan. Kehadiran omnibus law Cipta Kerja diharapkan mampu mengatasi masalah itu sekaligus memberikan perlindungan kepada yang sedang eksis bekerja. Terkait dengan hitungan atau pengaturan upah yang akan diterima oleh pekerja, politikus PKB tersebut mengatakan hal itu diatur atau ditetapkan oleh gubernur di masing-masing daerah. “Jadi upah itu ada upah minum provinsi kemudian ada upah untuk usaha padat karya dan upah bagi usaha mikro kecil,” katanya. Pada kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan UU Cipta Kerja bakal mendongkrak pendapatan per kapita warga Indonesia yang saat ini Rp4,6 juta per bulan menjadi sekitar Rp7 juta per bulan. “Sekarang ini pendapatan Indonesia per kapita Rp4,6 juta per bulan. Diharapkan dengan diketoknya UU Cipta Kerja, maka ini akan memperbaiki simplifikasi, harmonisasi regulasi dan perizinan,” kata dia. (jwn5/ant)

Bima Arya Tak Setuju IMB Dihapus dalam Omnibus Law

JAKARTA, Jowonews.com – Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto tidak menyetujui jika izin mendirikan bangunan (IMB) dihapuskan seiring penyusunan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. “Saya tidak setuju IMB dihapus. Yang diperlukan adalah penyederhanaan rezim perizinan,” katanya usai diskusi “Evaluasi Publik dan Isu-Isu Nasional dalam 100 Hari Jokowi-Amin”, di Jakarta, Minggu. Menurut dia, selama ini perizinan memang sedemikian rumit, mulai IMB, ada izin lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), hingga Analisis dampak lalu lintas (Andalalin). Kewenangan perizinan tersebut juga berbeda-beda, kata dia, misalnya IMB di pemerintah kota, Andalalin ditangani oleh konsultan, sehingga proses perizinan bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan. “Kalau IMB ini kan wali kota, begitu wali kota lihat ini sudah lengkap semua, kita bisa terbitkan, tapi kalau Amdal dan lingkungan lalin bukan. Jadi, ini harus disederhanakan. Jadi, poinnya adalah penyederhanaan sistem atau rezim perizinan, bukan penghapusan IMB,” katanya. Bima juga menyoroti RUU Cipta Kerja yang di dalamnya mengatur mengenai penetapan upah minimum di tingkat provinsi oleh gubernur sehingga tidak lagi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). “Harus dikaji dululah, ya, karena karakteristik tiap kota kan bisa berbeda-beda. Boleh satu Provinsi Jawa barat, tapi antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor bisa berbeda. Jadi, harus hati-hati di situ,” ujarnya. Demikian pula mengenai poin bahwa wali kota atau bupati yang bisa dipecat oleh gubernur dalam RUU Cipta Kerja, Bima berpendapat pikiran untuk mengejar investasi dan pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan nilai-nilai demokrasi. Namun, Bima Arya masih belum yakin jika draf Omnibus Law yang beredar itu valid, termasuk soal adanya poin bahwa wali kota dan bupati bisa diberhentikan oleh gubernur. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengaku pernah sekilas mendapatkan klarifikasi dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang masih mengklarifikasi draf tersebut. “Tapi poinnya adalah proses Omnibus Law ini harus lebih transparan, inklusif, dan partisipan,” kata mantan Wakil Ketua Umum PAN itu. (jwn5/ant)

Tidak Sesuai Prinsip Ketenagakerjaan, KSPI Tolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja

JAKARTA, Jowonews.com – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dengan tegas menolak RUU Cipta Kerja karena tidak mengandung tiga prinsip ketenagakerjaan. “Dalam RUU Cipta Kerja sama sekali tidak tercermin adanya prinsip ketenagakerjaan yakni kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial, atau dengan kata lain tidak ada perlindungan bagi buruh. Bahkan menghilangkan kesejahteraan yang selama ini didapat buruh,” ujar Presiden KSPI, Said Iqbal, di Jakarta, Minggu. Dia menambahkan prinsip ketenagakerjaan harus mengandung prinsip kepastian pekerjaan, jaminan pendapatan, dan kepastian jaminan sosial. Tidak adanya kepastian kerja, lanjut dia, tercermin dari outsourcing dan kerja kontrak seumur hidup tanpa batas. PHK bisa dilakukan dengan mudah, dan tenaga kerja asing buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan berpotensi bebas masuk ke Indonesia. Kemudian tidak adanya kepastian pendapatan terlihat dari hilangnya upah minimum, tidak ada lagi sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum, dan hilangnya pesangon. Sementara itu, karena sistem alih daya dan kerja kontrak dibebaskan, maka buruh tidak lagi mendapatkan jaminan sosial, seperti jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan dan yang lainnya. Selain itu, terdapat sembilan alasan lainnya, KSPI menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yakni hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, sistem alih daya seumur hidup, karyawan kontrak seumur hidup, waktu kerja yang eksploitatif, tenaga kerja asing buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, hilangnya jaminan sosial dengan adanya sistem alih daya seumur hidup dan karyawan kontrak seumur hidup, PHK dipermudah, dan hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha. Iqbal menjelaskan jika RUU itu tetap dipaksakan disahkan, maka KSPI dan buruh akan menggelar aksi besar-besaran secara nasional dan di daerah terus-menerus. Aksi besar akan dimulai saat sidang paripurna DPR yang akan membahas Omnibus Law. Langkah hukum juga akan dilakukan, yaitu “judicial review” formil UU tersebut di Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan seluruh isi Omnibus Law Cipta Kerja, “judicial review” materiil di Mahkamah Konstitusi terhadap pasal yang merugikan buruh, dan gugatan warga negara “citizen law suit” di PN Jakarta Pusat. KSPI juga meminta DPR menghapus semua pasal kluster ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja dan kembali kepada UU No 13/2003. (jwn5/ant)