Jowonews

Saatnya Indonesia Bangun Media Sosial Lokal

JAKARTA, Jowonews- Pemerintah diminta mendorong lahirnya mediasosial lokal sehingga negara tidak tergantung dan tidak mudah ditekanoleh medsos asing. Bukan hanya mendorong, pemerintah mesti menyiapkan sumber daya gunamewujudkannya. “Hal ini penting dalam jangka panjang untuk kepentingannasional,” tegas pakar keamanan siber PratamaPersadha dalam keterangan persnya pada peringatan Hari Media Sosial Nasional hari ini, Kamis (10/6). Pratama juga menambahkan, seharusnya pemerintah bisa membuat regulasiagar negara segera membangun media sosial nasional, buatan dalam negeridan memang dibuat untuk masyarakat Indonesia. Dengan begini menurut Pratama, lebih mudahmelakukan pengawasan dan sekaligus menjadi aplikasi subtitusi bagi mediasosial populer. Tanpa memiliki aplikasi medsos subtitusi, sulit kiranyabagi negara untuk menarik pajak yang pantas bagi Facebook, Google dankawan-kawannya. “Pada kasus Google dan Facebook harusnya mudah menarik pajak olehpemerintah, karena Facebook Google sudah banyak menarik uang darimasyarakat Indonesia untuk digunakan dalam beriklan di platform tersebut,walaupun sekarang sudah dikenai pajak”, jelas Chairman lembaga keamanan siber CISSReC ini. Pratama lantas menyarankan saat ini yang terpenting ialah kita perlumandiri, supaya data masyarakat Indonesia tetap berada di Indonesia. Pemerintah harus berpihak pada pengembangan produk teknologi lokalseperti janji presiden dengan membangun 1.000 startup baru termasuksalah satunya membuat startup pada platform medsos dan aplikasiperpesanan. Ini akan memudahkan negara dalam urusan pajak maupun hukumkedepannya. Edukasi Pratama juga menyoroti minimnya edukasi internet sehat sejak dini baik dari negara, orangtua, sekolah dan lingkungan sekitar. Negara bisa mendorong edukasiberinternet yang sehat dan aman lewat kurikulum pendidikan, yang inisekarang masih belum ada. “Umumnya para orang tua, pengambil kebijakanmaupun tokoh masyarakat saat ini sebagian besar bukan native digital,jadi tidak mengenal lebih dalam dunia digital,” terangnya. Menurut Pratama, negara tidak bisa sendiri, masyarakat, kampus dan jugapegiat siber harus diajak untuk mengedukasi di berbagai lapisan. Inipenting, karena pendekatan peningkatan berinternet yang positif dansehat harus berjalan top down maupun bottom up.

Cegah Peretasan di Medsos, Aktifkan Verifikasi Dua Langkah

SEMARANG, Jowonews- Pengguna media sosial disarankan untuk melakukan verifikasi dua langkah dan mematikan layanan pihak ketiga pada akun medsos guna mencegah peretasan data pribadi. Hal tersebut disampaikan pakar keamanan siber dari CISSReC Doktor Pratama Persadha, Rabu (9/6), dalam rangka peringatan Hari Media Sosial di tengah pandemi Covid-19, yang jatuh pada tanggal 10 Juni 2021. “Perihal keamanan siber ini sama sekali belum ada edukasi ke bawah,” kata Pratama Persadha sebagaimana dilansir Antara. Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC ini mengemukakan bahwa wabah yang melanda tanah air sejak Maret 2020 telah mendorong masyarakat untuk melek teknologi. Namun, sayangnya masih minus edukasi tentang sisi keamanannya. Dalam memakai WhatsApp dan media sosial, misalnya, disarankan oleh Pratama agar pengguna medsos sebisa mungkin semua akun sudah ditambahkan verifikasi dua langkah agar tidak mudah diretas atau diambil pihak lain. Cara Aktivasi Ia lantas menjelaskan cara mengaktifkan fitur verifikasi dua langkah di WhatsApp, yakni pilih ikon tiga titik di pojok kanan atas aplikasi WA, kemudian pilih menu Settings, masuk ke pengaturan Account, pilih two step verification, bikin personal identification number (PIN) 6 digit angka, lalu masukkan juga alamat surel (email). Pratama yang pernah sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi BSSN mengutarakan bahwa tingkat keamanan memang bergantung pada dua pihak, pihak penyedia platform dan pihak user. Oleh karena itu, lanjut dia, dari sisi media sosial sebenarnya akan sangat aman bila sudah dilakukan verifikasi dua langkah. Namun, dari sisi platform video conference sempat banyak keluhan, seperti zoom yang mudah diretas. “Seiring dengan berjalannya waktu, beberapa kelemahan sudah berusaha ditutup,” kata Pratama yang juga dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).

Data Bocor, BPJS Perlu Lakukan Audit Forensik Data

SEMARANG, Jowonews- BPJS Kesehatan dipandang perlu segera melakukan audit forensik digital terkait dengan dugaan kebocoran 1.000.000 data pribadi masyarakat Indonesia. Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Dr. Pratama Persadha meminta badan hukum publik itu bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk melakukan audit forensik digital dan mengetahui lubang-lubang keamanan mana saja yang ada. “Langkah ini sangat perlu untuk menghindari pencurian data pada masa yang akan datang,” kata pakar keamanan siber dan komunikasi ini, Jumat (21/5). Doktor Pratama Persadha mengemukakan hal itu terkait dengan akun bernama Kotz memberikan akses download (unduh) secara gratis untuk file sebesar 240 megabit (Mb) yang berisi 1.000.000 data pribadi masyarakat Indonesia yang kemungkinan berasal dari BPJS Kesehatan diunggah (upload) di internet.  Pratama menegaskan bahwa Pemerintah juga wajib melakukan pengujian sistem atau penetration test (pentest) secara berkala terhadap seluruh sistem lembaga pemerintahan. “Ini sebagai langkah preventif sehingga dari awal dapat ditemukan kelemahan yang harus diperbaiki segera,” kata Pratama yang pernah sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi BSSN. Ditekankan pula bahwa penguatan sistem dan sumber daya manusia harus ditingkatkan. Begitu pula, adopsi teknologi utamanya untuk pengamanan data perlu dilakukan. Rawan Peretasan Indonesia sendiri masih dianggap rawan peretasan karena memang kesadaran keamanan siber masih rendah. Dalam hal ini, menurut Pratama, yang terpenting dibutuhkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang isinya tegas dan ketat seperti di Eropa. Ia menilai sangat berbahaya bila benar data ini bocor dari BPJS Kesehatan. Apalagi datanya valid dan bisa digunakan sebagai bahan baku kejahatan digital, terutama kejahatan perbankan. Dari data tersebut, lanjut Pratama, pelaku kejahatan bisa menggunakannya untuk membuat kartu tanda penduduk (KTP) palsu, kemudian menjebol rekening korban. Dalam file yang diunduh (download) tersebut, kata dia, terdapat data NOKA atau nomor kartu BPJS kesehatan. Pelaku mengklaim mempunyai data file sebanyak 272.788.202 jiwa penduduk. Pratama melihat hal ini aneh bila akun Kotz mengaku mempunyai lebih dari 270 juta data serupa, padahal anggota BPJS Kesehatan hingga akhir 2020 sebanyak 222 juta orang. Dari nomor BPJS Kesehatan yang ada di file, menurut dia, bila dicek online ternyata datanya benar sama dengan nama yang ada di file. “Jadi, kemungkinan besar data tersebut berasal dari BPJS Kesehatan,” katanya sebagaimana dilansir Antara. Bila dicek, data sample sebesar 240 megabit (Mb) berisi nomor identitas kependudukan (NIK), nomor handphone, alamat, alamat email, nomor pokok wajib pajak (NPWP), tempat tanggal lahir, jenis kelamin, jumlah tanggungan, dan data pribadi lainnya. Bahkan si penyebar data mengklaim ada 20 juta data yang berisi foto. Kendati demikian, Pratama meminta semua pihak untuk menunggu klarifikasi dari BPJS Kesehatan terkait dengan benar tidaknya kebocoran data tersebut.

GoTo Diminta Prioritaskan Pengamanan Data

SEMARANG, Jowonews- Dua raksasa teknologi online Indonesia, Gojek dan Tokopedia, yang telah resmi bergabung diminta untuk menjadikan pengamanan data sebagai prioritas. “Bergabungnya Gojek dan Tokopedia punya konsekuensi pada pengelolaan data, khususnya dari sisi keamanan data penggunanya, karena keduanya mengolah data dalam jumlah besar,” kata pakar keamanan siber dan komunikasi CISSReC Doktor Pratama, Kamis (20/5). Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC ini mengemukakan hal itu terkait dengan merger Gojek dan Tokopedia. Kemudian kedua perusahaan ini membentuk entitas baru yang katanya memiliki ekosistem dengan menyumbang 2 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara. Disebutkan pula bahwa GoTo Group, organisasi baru ini memiliki lebih dari 100 juta pengguna aktif bulanan, termasuk unit fintech, GoTo Financial. Namun, lanjut Pratama, patut dicermati juga bahwa keduanya punya pengalaman kurang baik pada sistem informasinya. Misalnya, Tokopedia di pertengahan 2020 digegerkan dengan kebocoran lebih dari 91 juta data pemakai, dan Gojek beberapa kali mengalami fraud (kecurangan) pada banyak pemakai GoPay. Karena makin besar sebuah platform, menurut dia, akan makin menarik perhatian pelaku kejahatan untuk mencoba menyerang. Bukan hanya peretas (hacker) lokal yang mengincar, melainkan hacker global yang akan mengincar karena startup baru dengan nama GoTo ini sudah masuk ke dalam level startup dengan valuasi terbesar di dunia. “Belum lagi adanya teknologi keuangan pada GoPay. Bukan hanya data pribadi yang berpotensi dicuri oleh penjahat siber, melainkan juga bisa uang customer-nya kalau pengamanannya tidak benar-benar kuat,” kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini pula. Terkait dengan pengamanan data ini, Pratama mengingatkan kembali bahwa hal itu harus menjadi perhatian serius, karena keduanya adalah aplikasi terbesar di Tanah Air saat ini. “Bergabungnya kedua aplikasi ini diharapkan tidak membuat risiko keamanan data masyarakat menjadi bertambah besar,” ujarnya sebagaimana dilansir Antara. Pratama memperkirakan timing Gojek dan Tokopedia merger mungkin saja mengejar sebelum Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) disahkan jadi undang-undang, atau sebelum ada aturan teknis macam-macam terkait dengan pengamanan data pribadi. “Kendati demikian, bila nanti RUU itu sudah menjadi UU PDP, mereka tetap harus melakukan penyesuaian,” kata Pratama yang pernah menjadi pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi BSSN. Karena itu, kata Pratama, pengamanan data harus menjadi fokus Tokopedia dan Gojek bila nanti aplikasi dan sistem benar-benar menyatu dalam satu satu wadah. Namun, di sisi lain, penggabungan dua aplikasi anak bangsa ini akan melahirkan pembacaan data baru yang sangat tinggi nilai ekonominya, sekaligus sangat signifikan bagi ketahanan dan keamanan nasional “Bagaimana tidak, keduanya akan menguasai jalur distribusi manusia, barang, dan makanan. Tentu negara juga harus melihat ini sebagai peluang besar sekaligus ancaman dari sudut pandang pengamanan data dan juga keamanan nasional,” katanya lagi. Menurut Pratama, sebaiknya pengamanan data harus mendapatkan prioritas oleh pengelola dan juga oleh negara. Hal ini berbeda dengan data kependudukan yang cenderung statis dan tidak menghasilkan data baru, sementara data dari GoJek dan Tokopedia ini dinamis karena ada data jual beli dan kebutuhan masyarakat secara nasional. “Yang pasti data tersebut tidak dimiliki oleh lembaga negara mana pun,” kata Pratama Persadha menegaskan.

Perusahaan Negara Perlu Lakukan Audit Forensik Digital

SEMARANG, Jowonews- Perusahaan negara dianjurkan selalu bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk melakukan audit forensik digital dan mengetahui lubang-lubang keamanan mana saja yang ada pada sistem. “Langkah ini sangat perlu guna menghindari pencurian data pada masa yang akan datang,” kata pakar keamanan siber dan komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha yang pernah sebagai pejabat Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang kini menjadi BSSN, Jumat (30/4) sore. Pratama mengemukakan hal itu terkait dengan kasus peretasan yang menimpa perusahaan pemasok perangkat Apple bernama Quant oleh sekelompok geng peretas bernama REvil. Geng hacker tersebut melalui skema ransomware berhasil mencuri cetak biru produk Apple. Akibatnya, lanjut Pratama, setiap hari blueprint produk Apple tersebut diunggah secara bertahap di forum peretas (dark web). REvil juga meminta tebusan 50 juta dolar Amerika Serikar (Rp726 miliar). Pratama sebagaimana dilansir Antara, menjelaskan bahwa serangan ransomware serupa bisa saja menimpa berbagai perusahaan swasta dan lembaga negara di Tanah Air. Dalam kasus ini, pihak peretas telah memberi Apple tenggat waktu hingga 1 Mei untuk membayar tebusan. Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Informatian System Security Research Center/CISSReC) ini menegaskan bahwa kasus tersebut adalah peringatan bagi perkembangan industri teknologi di Tanah Air yang terkoneksi dengan internet. Ransomware “Bisa dibayangkan bila perusahaan atau sektor strategis dan vital negara banyak yang terkena serangan malware dan ransomware. Blackout akan kembali mengancam kehidupan,” kata dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini. Menurut Pratama, sebaiknya di Tanah Air sedari dini pemerintah segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Data Pribadi dan RUU Ketahanan Keamanan Siber untuk melengkapi perundangan yang menaungi wilayah siber. Semua pihak, lanjut dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini, dituntut harus bisa meningkatkan keamanan pada sistem informasi-nya, meningkatkan perlindungan data, meningkatkan edukasi keamanan siber SDM, dan adopsi teknologi terkini. Disebutkan pula bahwa pada tahun 2020 juga banyak kasus serangan ransomware yang dialami perusahaan besar, seperti Garmin dan Honda. Hal ini menunjukkan tidak ada sistem yang 100 persen aman yang dapat menghalau semua serangan siber pada saat sekarang dan pada masa depan. Menurut Pratama, cara terbaik ke depan adalah melalui mitigasi risiko. Seluruh karyawan dan juga para pemain platform perlu diatur bahwa ada beberapa rules yang wajib diterapkan untuk memastikan keamanan siber yang lebih baik. Kasus tersebut, kata dia, sebenarnya menjadi sebuah pembelajaran bagi semua tim teknologi informasi di dunia atas keamanan dari file sensitif dan dalam melindungi data perusahaan. “Jika melihat dari perkembangan serangan yang makin besar selama pandemi, terutama karena work from home (WFH), perusahan-perusahaan besar terlihat meningkatkan anggaran belanja keamanan sibernya,” tutur pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.

Didukung, Revisi Pasal Karet UU ITE

SEMARANG, Jowonews- Revisi pasal karet dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), didukung berbagai kalangan. “Pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik,” kata Dr. Pratama Persadha yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC, Rabu (17/2). Sebelumnya, UU ITE ini pernah direvisi pada tahun 2016. Pada saat itu, kata Pratama, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja (2014—2019) Rudiantara didesak untuk ubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun. Revisi undang-undang tersebut, menurut dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini, terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun. Belakangan ini, lanjut dia, UU ITE makin mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan undang-undang ini, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28. Beberapa parpol mendesak agar pasal karet dalam UU ITE dihapus. Bahkan, Presiden Jokowi sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet tersebut. “UU ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak,” kata Pratama sebagaimana dilansir Antara. Hal itu, kata Pratama, membuat kepolisian mendapatkan tekanan dari masyarakat. Masalahnya, masing-masing pihak ingin laporannya segera ditindaklanjuti. Pratama mencontohkan sejumlah kasus hoaks, penyebar informasi bohong saja yang ditangkap, padahal mereka ini juga korban karena terhasut dan tidak tahu konten yang di-posting adalah hoaks. Oleh karena itu, dia memandang perlu merevisi UU ITE agar kelak mampu mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual. Di dalam sebuah konten hoaks, lanjut dia, memang ada tersangka yang menyebarkan informasi bohong itu. Namun, ini sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar. “Apalagi, edukasi antihoaks di tengah masyarakat ini hampir tidak ada. Jadi, masyarakat ini kesannya diancam tetapi tidak diberikan bekal,” katanya. Namun, bukan berarti Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28, misalnya dihapus atau direvisi, lalu hoaks bisa bebas tanpa hukuman. Menurut dia, ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di dalam KUHP yang bisa digunakan. Meski tindakannya sama, bedanya pelanggaran pasal UU ITE tersebut dilakukan di wilayah siber.

Kebocoran Data Terjadi Kembali, 2,9 Juta Data User Diperjualbelikan

SEMARANG, Jowonews- Pakar keamanan siber dan komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha mengungkapkan kembali kebocoran data. Kali ini dari cermati.com. Bahkan terjadi jual beli data di raidforums atau forum hacker (peretas) mencapai 2,9 juta user (pengguna). “Penjualnya dengan username Expertdata,” kata Pratama Persadha yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC (Communication and Information System Security Research Center) menjawab pertanyaan Antara di Semarang, Selasa (3/11), melalui percakapan WhatsApp. Disebutkan pula ada 2,9 data user yang diambil dari kegiatan 17 perusahaan. Sebagian besar kegiatan finansial. Mulai dari kartu tanda anggota (KTA), asuransi, sampai kartu kredit. Oleh karena itu, dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini memandang perlu melakukan penyelidikan mendalam lewat digital forensik untuk mengetahui lubang keamanan mana saja yang mengakibatkan breach data (data pelanggaran) terjadi. Menurut dia, peristiwa ini melengkapi sederet kasus kebocoran data di tanah air sejak awal tahun 2020. Bahkan, ini makin memperlihatkan bahwa ada potensi celah keamanan karena work from home (WFH). Ia menyebutkan setidaknya ada tiga penyebab terbesar breach data. Yaitu kesalahan manusia sebagai user, kesalahan sistem, dan serangan malware sekaligus peretas. “Faktor kesalahan manusia ini meningkat selama pandemi, salah satunya karena WFH,” kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini. Seharusnya, lanjut Pratama, WFH diikuti dengan memberikan sejumlah tools keamanan, seperti jaringan pribadi virtual atau virtual private network (VPN), terutama saat pegawai sedang mengakses sistem kantor. Selain itu, dengan pembatasan jam kerja, menurut Pratama, bukan berarti pengawasan terhadap sistem jadi berkurang. Bahkan, di luar negeri, menurut Microsoft, pengawasan dan anggaran belanja untuk keamanan siber malah naik selama pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, edukasi juga wajib dilakukan. Misalnya, pegawai dilarang mengakses sistem kantor dengan jaringan yang berisiko, seperti wifi publik, wifi kafe, dan sumber jaringan lain yang tidak jelas siapa adminnya. “Tanpa edukasi standar seperti ini, sistem kantor akan terekspos dengan mudah,” kata Pratama.

Pakar: Infrastruktur Belum Siap, E-Voting Belum Bisa untuk Pilkada 2020

SEMARANG, Jowonews- Pemilihan Kepala Daerah 2020 dinilai belum bisa dilaksanakan secara elektronik atau e-voting, meski Undang-Undang Pilkada sudah mengakomodasinya. “Terlalu berat menyiapkan infrastrukturnya karena semuanya full electronic. Apalagi masalah pengamanan datanya,” kata Pakar keamanan siber dan komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (23/9) . Pratama mengatakan bahwa pelaksanaan e-voting, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 85, mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah. “Intinya penyelenggaraan pemilu elektronik harus melihat kesiapan infrastruktur di setiap daerah,” kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC. Dengan adanya wacana pilkada diundur karena pandemi Covid-19. Kemudian muncul lagi ide tentang e-voting, menurut Pratama, sulit untuk direalisasikan saat ini. Secara prinsip, kata dia, e-voting bisa dilaksanakan di tanah air. Namun, tidak secara 100 persen karena masih ada wilayah yang sulit dijangkau sinyal internet. Kendati demikian, ada jalan tengah bagi wilayah yang sulit internet. Yakni pemilihan tetap manual. Namun, hasil penghitungan suara dikumpulkan di satu titik lokasi khusus yang tersambung dengan internet dan sistem e-voting. e-rekap Pratama mengatakan bahwa KPU pada Pilkada 2020 menerapkan e-rekap. Hal ini bisa menjadi satu percobaan apakah KPU siap dengan sistem yang lebih sederhana “Namun, e-rekap juga memiliki kendala sama karena tidak semua terjangkau internet,” kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014. Dikatakan pula harus ada satu titik lokasi, tempat hasil perhitungan suara dikumpulkan, lalu dikirim dari lokasi tersebut. Menurut Pratama, yang harus disiapkan sebenarnya bukan hanya masalah sistem serta infrastruktur internet, melainkan juga terkait dengan kesiapan sumber daya manusia (SDM) sebagai user utamanya. Selain itu, lanjut dia, faktor keamanan sistem menjadi sangat penting saat menggunakan model pemilu elektronik. Pasalnya, e-voting rawan mengundang kecurangan lewat peretasan. “Hasilnya bisa dengan mudah didelegitimasi bila ditemukan kecurangan maupun kesalahan sistem,” kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini. Jalan panjang menuju e-voting, katanya lagi, masyarakat harus disiapkan dengan edukasi jauh-jauh hari. Minimal pemilu elektronik juga masuk dalam edukasi berkehidupan siber di tanah air sehingga masyarakat tidak kaget nantinya. Di lain pihak, menurut dia, sistem bisa disinkronisasi dengan database milik dinas kependudukan dan pencatatan sipil (dukcapil) sehingga verifikasi menjadi lebih mudah.